KARTIKA Ratna, istri kedua almarhum H.A. Thahir, bekas Asisten
Umum Dir-Ut Pertamina semasa ibnu Sutowo. kembali disebut
namanya di bulan Ramadhan ini. Janda ini, yang berusia 45
tahun, yang bernafsu memperoleh harta karun yang disimpan
suaminya di Bank Sumitono cabang Singapura (sebesar Rp 22 milyar
lebih), kini mencoba berkelit dan menggebrak.
Itu nampak dalam pembelaannya tertanggal 7 Juli lalu, melalui
kantor pengacara Ire & Napier di Singapura--suatu jawaban atas
tuntutan Pertamina 12 Mei 1980. Sebagai tertuduh utama dalam
perkara Haji Thahir di pengadilan Singapura, Kartika kali ini
tidak saja menuding Ibnu Sutowo sebagai orang pertama yang
berdiri di belakang almarhum suaminya yang semasa hidupnya
terkenal amat dekat dengan bekas Dir-Ut Pertamina itu. Ia juga
menyebutkan sejumlah nama pejabat lain Pertamina, baik yang
masih aktif maupun yang sudah non-aktif atau diberhentikan. Juga
nama Liem Sioe Liong, pengusaha besar di Jakarta, dan Hasjim
Ning, kini Ketua Umum Kadiul Pusat, turut disebut-sebut dalam
dokumen pembelaan setebal 15 halaman itu.
Tak berhenti sampai di situ, Kartika mencoba menyeret lebih
jauh. Wanita yang sejak lama bermukim di Swiss itu juga menuduh
Presiden Soeharto menerima komisi dari pembelian senjata untuk
ABRI di tahun 1978. Masingmasing 7% dan 5%, dari Israel dan
Jerman Barat. Sedang Ny. Tien Soeharto oleh Kartika dituduh
telah menerima hadiah 2 cincin berlian dari almarhum Haji Thahir
seharga Rp 435 juta.
Tuduhan-tuduhan itu tak disertai bukti. Tak heran bila,
pemerintah Indonesia kali ini menanggapinya dengan lugas.
Setidaknya ini tercermin dari sikap Jaksa Agung Ali Said--seusai
bertemu dan menanyakan sendiri kepada Presiden -- yang memberi
keterangan pers pekan lalu. Dengan tenang dan diselingi humornya
yang terkenal, Ali Said menyatakan telah diperoleh jawahan dari
Presiden bahwa apa yang dinyatakan oleh Kartika itu "sedikit pun
tidak mengandung kebenaran." Maka sesuai dengan
perundang-undangan yan berlaku, Jaksa Agung menyatakan akan
meminta pertanggungjawaban hukum. Sebab pernyataan tersebut
merupakan "fitnah dan penghinaan terhadap Kepala Negara."
Keterangan Jaksa Agung yang singkat itu juga menyatakan akan
segera mengambil tindakan. Pertama, memanggil Kartika untuk
didengar keterangannya :mengenai pernyataan-pernyataannya.
Kedua, memanggil dan meminta keterangan pula dari beberapa
pejabat dan kalangan swasta Indonesia yang oleh Kartika dituduh
telah menerima uang dari kontraktor-kontraktor Pertamina.
Semua itu, demikian Jaksa Agung Ali Said, dilakukan "tanpa
keinginan dan niat untuk mempengaruhi, apalagi mencampuri proses
hukum yang sedang berjalan di The High Court of the Republic of
Singapore."
Pernyataan Kartika memang mudah dipatahkan -- dan bagi banyak
orang terasa seperti petai hampa. Terutama ketika Kartika dalam
pembelaannya mengaku mendengar dari Letjen Benny Moerdani,bahwa
Presiden menerima komisi dari pembelian senjata. Ini, kata
Kartika, didengarnya ketika perwira tinggi Bakin itu menemuinya
18 Juni 1978 di Swiss.
Memang, Presiden sejak tiga tahun ialu sudah menugasi Bakin
untuk mengusut perkara simpanan di Bank Sumitomo itu. Menurut
pemerintah, simpanan bersama atas nama H.A. Thahir dan istri
mudanya itu, telah diperoleh almarhum dari sejumlah uang sogok
dan komisi yang diberikan beberapa kontraktor dari Jerman Barat.
Seperti diketahui adalah perusahaan Siemens AG, Ferrostahl dan
Klockner Industrie-Anlagen G.m.b.H. yang terlibat dalam
pembangunan kompleks PT Krakatau Steel yang teramat mahal itu.
Dalam proses pengusutan itu, bisa saja Benny Moerdhani bertemu
dengan Kartika. Namun, kata sebuah sumber yang mengetahui, tak
masuk akal perwira tinggi itu berbicara tentang komisi hasil
pembelian senjata yang cenderung memburukkan nama Kepala Negara
dan memojokkan posisi pemerintah. Lebih-lebih, seperti dikatakan
sebuah sumber di Hankam, "belum pernah Indonesia membeli senjata
dari Israel."
Adapun tentang komisi, Albert Hasibuan, pengacara Pertamina yang
baru kembali dari Eropa, pekan lalu menerangkan kepada TEMPO "di
dalam hukum Indonesia itu ada dikenal constructive trust, yang
menyatakan suatu komisi itu merupakan hak majikan." Dan yang
dimaksud dengan "majikan ' belum tentu orang. Dalam hal
membelikan senjata, menurut sumber Hankamitu, "kalau pun ada
komisi, dengan sendirinya akan jatuh ke kas negara, dus bukan
perorangan."
Apa sebabnya Kartika sampai menuding ke sana-sini? Bukankah yang
ia inginkan adalah bisa mengantungi uang Rp 22 milyar lebih yang
dipersengketakan Albert Hasibuan dengan mudah menunjukkan
motifnya "Pembelaan Kartika yang begitu merupakan usaha
penekanan saja, supaya kita mau berdamai." Sebagai bukti,
pengacara Pertamina itu menunjuk pada pesan-pesan teleks dari
pengacara Kartika sebelum pembelaan Kartika dimajukan ke
pengadilan Singapura. Isinya: minta damai.
Ceritanya begini: mula-mula di London Kartika minta pembagian
separuh. Pemerintah Indonesia menolak. Kabarnva pada 4 Juli
lalu, tira hari sebelum pembelaan Kartika dimasukkan ke
pcngadilan, ia masih juga mencoba untuk diberi "uang damai".
Tapi pemerintah, atas instruksi Presiden sendiri, tak mau
mundur.
"Semua harus dikembalikan ke kas negara," kata sebuah sumber di
Pertamina. Hanya, demikian sumber tersebut, "pemerintah memang
merelakan memberikan kepada Kartika bunganya." Kabarnya bunga
deposito berjangka yang disimpan di Bank Sumitomo cabang
Singapura itu sudah mencapai sekitar Rp 1,6 milyar. Tapi sang
janda yang biasa hidup mewah itu rupanya merasa kurang. Dia
menolak," kara sumber tadi.
Sekedar Suruhan
Bersamaan dengan itu, hampir semua gugatan Pertamina
terhadapnya dia tolak juga. Kartika misalnya tidak mengakui
bahwa dialah yang bersama Haji Thahir melakukan
perundingan-perundingan dengan para kontraktor Jerman. Dia juga
menyatakan suaminya bukan "perunding utama", tapi sekedar
suruhan bekas Dir-Ut Ibnu Sutowo.
Mengaku sering diajak pesiar ke Eropa dan AS oleh Haji Thahir,
Kartika mengatakan dalam perundingan-perundingan itu suaminya
selalu didampingi oleh peiabat dan perwakilan setempat
Pertamina.
Kartika juga menyebutkan nama Soediono, dulu direktur muda
eksplorasi Pertamina. Kata Kartika, Soediono pernah mengajak
almarhum Thahir di akhir 1975 untuk menginvestasikan DM 30 juta
dari simpanannya itu ke dalam pabrik pipa baja, yang sedianya
akan dibangun oleh kontraktor Jerman Manncsman AG di Jakarta.
Ringkasnya, Kartika beranggapan. adalah suatu hal yang "biasa"
dan "tak melanggar hukum" (lawful) bagi para pejabat tinggi
Pertamina untuk mengganjal gaji mereka dengan pemberian yang
berasal dari para konraktor. Sclain Soediono, para pejabat yang
dise butnya biasa menerima komisi adalah Sukotjo, dulu kepala
divisi perkapalan. Judo Sumbono, sampai seliarang direktur
pemasaran BBM dalam negeri dan John Patiasina, dulu kepala
proyek di Dumai.
Tak lupa disebut bekas Dir-Ut PT Krakatau Steel Marjoeni
Warganegara, yang di tahun 1974 diberhentikan oleh pemerintah
gara-gara kemelut keuangan dalam proyek besi baja Cilegon itu.
Marjoeni yang kini menjadi Dir-UI dari sebuah kontraktor swasta,
menurut Kartika telah menerima banyak komisi dari para
kontraktor asing.
Di bagian lain dari pembelaan itu, Kartika telah menerangkan
adanya usaha patungan antara Thahir bersama Henry Kwee,
pengusaha terkenal di Singapura asal Indonesia dan Liem Sioe
Liong. Mereka mendirikan kontraktr First Realty International
Corporation of Singapore. Perusahaan real estate terebut antara
1973 dan 1975 menjadi pemborong dari proyek perumahan Pertamina
Village dan gedung Pertamiml Tower, keduanya di Jakarta. Kartika
menuduh usaha patungan itu adalah sepengetahuan Ibnu Sutowo dan
Presiden.
Mengapa? Alasan Kartika: Liem Sio Liong banyak tahu tentang
tindak-tanduk almarhum suaminya. Termasuk simpanan yang di Bank
Sumitomo itu. Dan dalam logika Kartika, apa yang diketahui Liem
dengan sendirinya diketahui pula oleh Presiden. Dugaan ini
emata-mata berdasarkan sangkaan, bahwa Liem Sioe Liong termasuk
penasihat pribadi Presiden. Sudah jelas bagi kalangan pemerintah
logika Kartika ini mentertawakan--rapuh sekali.
Tapi meskipun rapuh, ia cukup untuk dinilai "kurang ajar".
Maka Kartika Ratna, yang masa mudanya bernama Lien Kiem Giok,
kini ditunggu kedatangannya di Indonesia, untuk m
mpertanggungjawabkan semua tuduhannya itu. Terutama yang
menghina Kepala Negara RI.
Mudah diduga Nyonya janda yang sejak beberapa tahun lalu lebih
merasa aman tinggal di Swiss, enggan untuk ke Indonesia.
Sulitnya, kata Ali Said, Indonesia belum mempunyai perjanjian
ekstradisi dengan Swiss. Sehingga tak begitu mudah untuk
"mendatangkan" Kartika ke Indonesia, kalau dia menolak panggilan
Jaksa Agung. Perjanjian ekstradisi juga tidak dikenal antara
Indonesia dan Singapura, yang sesama ASEAN itu. Seperti
diketahui, selain di Swiss, Kartika pernah lama menetap di
Singapura.
Di tahun 1978 wanita itu--yang masih memegang paspor dan
kewarganegaraan Indonesia -- memang pernah diminta untuk kembali
saja ke Indonesia. Dengan jaminan keamanan bagi diri dan
keluarganya. Tapi waktu itu ia menjawab: "Berapa harus saya
bayar?" Komentar seorang perwira tinggi yang mengetahui "Jadi
bisa diperkirakan wanita seperti apa Kartika itu.
Ya, seperti apa? Ketika Haji Thahir meninggal pada 23 Juli 1976,
Kartika yang ketika itu berada di Swiss, tidak datang melayat
sang suami di Jakarta. Sebagai gantinya, saat itu juga dia
terbang ke Singapura. Dan sehari setelah sampai di sana, sang
janda berhasil mengurus rekening-rekening bersama antara dia dan
Haji Thahir yang tersimpan pada cabang-cabang Chase Manhattam
dan The Hongkong & Shanghai Banking Corporation di Singapura.
Hasilnya cukup besar, tentu. Tapi apa mau dikata kalau Kartika
Ratna tak merasa puas setelah mengantungi harta karun sebanyak
US$45 juta atau Rp 28,1 milyar lebih. Dia mencoba mengambil
yang tersisa di bank Sumitomo -- lalu kepergok Pertamina. Dan
itulah pangkal perkara, yang oleh pemerintah Indonesia akan
dirampungkan secara tuntas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini