Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Kartika, Ia Berkelit

Pembelaan kartika thahir di pengadilan singapura, a.l: menyebut bahwa sejumlah pejabat dan presiden soeharto juga menerima komisi. merasa ditolak terus, kartika jadi penasaran.

26 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KARTIKA Ratna, istri kedua almarhum H.A. Thahir, bekas Asisten Umum Dir-Ut Pertamina semasa ibnu Sutowo. kembali disebut namanya di bulan Ramadhan ini. Janda ini, yang berusia 45 tahun, yang bernafsu memperoleh harta karun yang disimpan suaminya di Bank Sumitono cabang Singapura (sebesar Rp 22 milyar lebih), kini mencoba berkelit dan menggebrak. Itu nampak dalam pembelaannya tertanggal 7 Juli lalu, melalui kantor pengacara Ire & Napier di Singapura--suatu jawaban atas tuntutan Pertamina 12 Mei 1980. Sebagai tertuduh utama dalam perkara Haji Thahir di pengadilan Singapura, Kartika kali ini tidak saja menuding Ibnu Sutowo sebagai orang pertama yang berdiri di belakang almarhum suaminya yang semasa hidupnya terkenal amat dekat dengan bekas Dir-Ut Pertamina itu. Ia juga menyebutkan sejumlah nama pejabat lain Pertamina, baik yang masih aktif maupun yang sudah non-aktif atau diberhentikan. Juga nama Liem Sioe Liong, pengusaha besar di Jakarta, dan Hasjim Ning, kini Ketua Umum Kadiul Pusat, turut disebut-sebut dalam dokumen pembelaan setebal 15 halaman itu. Tak berhenti sampai di situ, Kartika mencoba menyeret lebih jauh. Wanita yang sejak lama bermukim di Swiss itu juga menuduh Presiden Soeharto menerima komisi dari pembelian senjata untuk ABRI di tahun 1978. Masingmasing 7% dan 5%, dari Israel dan Jerman Barat. Sedang Ny. Tien Soeharto oleh Kartika dituduh telah menerima hadiah 2 cincin berlian dari almarhum Haji Thahir seharga Rp 435 juta. Tuduhan-tuduhan itu tak disertai bukti. Tak heran bila, pemerintah Indonesia kali ini menanggapinya dengan lugas. Setidaknya ini tercermin dari sikap Jaksa Agung Ali Said--seusai bertemu dan menanyakan sendiri kepada Presiden -- yang memberi keterangan pers pekan lalu. Dengan tenang dan diselingi humornya yang terkenal, Ali Said menyatakan telah diperoleh jawahan dari Presiden bahwa apa yang dinyatakan oleh Kartika itu "sedikit pun tidak mengandung kebenaran." Maka sesuai dengan perundang-undangan yan berlaku, Jaksa Agung menyatakan akan meminta pertanggungjawaban hukum. Sebab pernyataan tersebut merupakan "fitnah dan penghinaan terhadap Kepala Negara." Keterangan Jaksa Agung yang singkat itu juga menyatakan akan segera mengambil tindakan. Pertama, memanggil Kartika untuk didengar keterangannya :mengenai pernyataan-pernyataannya. Kedua, memanggil dan meminta keterangan pula dari beberapa pejabat dan kalangan swasta Indonesia yang oleh Kartika dituduh telah menerima uang dari kontraktor-kontraktor Pertamina. Semua itu, demikian Jaksa Agung Ali Said, dilakukan "tanpa keinginan dan niat untuk mempengaruhi, apalagi mencampuri proses hukum yang sedang berjalan di The High Court of the Republic of Singapore." Pernyataan Kartika memang mudah dipatahkan -- dan bagi banyak orang terasa seperti petai hampa. Terutama ketika Kartika dalam pembelaannya mengaku mendengar dari Letjen Benny Moerdani,bahwa Presiden menerima komisi dari pembelian senjata. Ini, kata Kartika, didengarnya ketika perwira tinggi Bakin itu menemuinya 18 Juni 1978 di Swiss. Memang, Presiden sejak tiga tahun ialu sudah menugasi Bakin untuk mengusut perkara simpanan di Bank Sumitomo itu. Menurut pemerintah, simpanan bersama atas nama H.A. Thahir dan istri mudanya itu, telah diperoleh almarhum dari sejumlah uang sogok dan komisi yang diberikan beberapa kontraktor dari Jerman Barat. Seperti diketahui adalah perusahaan Siemens AG, Ferrostahl dan Klockner Industrie-Anlagen G.m.b.H. yang terlibat dalam pembangunan kompleks PT Krakatau Steel yang teramat mahal itu. Dalam proses pengusutan itu, bisa saja Benny Moerdhani bertemu dengan Kartika. Namun, kata sebuah sumber yang mengetahui, tak masuk akal perwira tinggi itu berbicara tentang komisi hasil pembelian senjata yang cenderung memburukkan nama Kepala Negara dan memojokkan posisi pemerintah. Lebih-lebih, seperti dikatakan sebuah sumber di Hankam, "belum pernah Indonesia membeli senjata dari Israel." Adapun tentang komisi, Albert Hasibuan, pengacara Pertamina yang baru kembali dari Eropa, pekan lalu menerangkan kepada TEMPO "di dalam hukum Indonesia itu ada dikenal constructive trust, yang menyatakan suatu komisi itu merupakan hak majikan." Dan yang dimaksud dengan "majikan ' belum tentu orang. Dalam hal membelikan senjata, menurut sumber Hankamitu, "kalau pun ada komisi, dengan sendirinya akan jatuh ke kas negara, dus bukan perorangan." Apa sebabnya Kartika sampai menuding ke sana-sini? Bukankah yang ia inginkan adalah bisa mengantungi uang Rp 22 milyar lebih yang dipersengketakan Albert Hasibuan dengan mudah menunjukkan motifnya "Pembelaan Kartika yang begitu merupakan usaha penekanan saja, supaya kita mau berdamai." Sebagai bukti, pengacara Pertamina itu menunjuk pada pesan-pesan teleks dari pengacara Kartika sebelum pembelaan Kartika dimajukan ke pengadilan Singapura. Isinya: minta damai. Ceritanya begini: mula-mula di London Kartika minta pembagian separuh. Pemerintah Indonesia menolak. Kabarnva pada 4 Juli lalu, tira hari sebelum pembelaan Kartika dimasukkan ke pcngadilan, ia masih juga mencoba untuk diberi "uang damai". Tapi pemerintah, atas instruksi Presiden sendiri, tak mau mundur. "Semua harus dikembalikan ke kas negara," kata sebuah sumber di Pertamina. Hanya, demikian sumber tersebut, "pemerintah memang merelakan memberikan kepada Kartika bunganya." Kabarnya bunga deposito berjangka yang disimpan di Bank Sumitomo cabang Singapura itu sudah mencapai sekitar Rp 1,6 milyar. Tapi sang janda yang biasa hidup mewah itu rupanya merasa kurang. Dia menolak," kara sumber tadi. Sekedar Suruhan Bersamaan dengan itu, hampir semua gugatan Pertamina terhadapnya dia tolak juga. Kartika misalnya tidak mengakui bahwa dialah yang bersama Haji Thahir melakukan perundingan-perundingan dengan para kontraktor Jerman. Dia juga menyatakan suaminya bukan "perunding utama", tapi sekedar suruhan bekas Dir-Ut Ibnu Sutowo. Mengaku sering diajak pesiar ke Eropa dan AS oleh Haji Thahir, Kartika mengatakan dalam perundingan-perundingan itu suaminya selalu didampingi oleh peiabat dan perwakilan setempat Pertamina. Kartika juga menyebutkan nama Soediono, dulu direktur muda eksplorasi Pertamina. Kata Kartika, Soediono pernah mengajak almarhum Thahir di akhir 1975 untuk menginvestasikan DM 30 juta dari simpanannya itu ke dalam pabrik pipa baja, yang sedianya akan dibangun oleh kontraktor Jerman Manncsman AG di Jakarta. Ringkasnya, Kartika beranggapan. adalah suatu hal yang "biasa" dan "tak melanggar hukum" (lawful) bagi para pejabat tinggi Pertamina untuk mengganjal gaji mereka dengan pemberian yang berasal dari para konraktor. Sclain Soediono, para pejabat yang dise butnya biasa menerima komisi adalah Sukotjo, dulu kepala divisi perkapalan. Judo Sumbono, sampai seliarang direktur pemasaran BBM dalam negeri dan John Patiasina, dulu kepala proyek di Dumai. Tak lupa disebut bekas Dir-Ut PT Krakatau Steel Marjoeni Warganegara, yang di tahun 1974 diberhentikan oleh pemerintah gara-gara kemelut keuangan dalam proyek besi baja Cilegon itu. Marjoeni yang kini menjadi Dir-UI dari sebuah kontraktor swasta, menurut Kartika telah menerima banyak komisi dari para kontraktor asing. Di bagian lain dari pembelaan itu, Kartika telah menerangkan adanya usaha patungan antara Thahir bersama Henry Kwee, pengusaha terkenal di Singapura asal Indonesia dan Liem Sioe Liong. Mereka mendirikan kontraktr First Realty International Corporation of Singapore. Perusahaan real estate terebut antara 1973 dan 1975 menjadi pemborong dari proyek perumahan Pertamina Village dan gedung Pertamiml Tower, keduanya di Jakarta. Kartika menuduh usaha patungan itu adalah sepengetahuan Ibnu Sutowo dan Presiden. Mengapa? Alasan Kartika: Liem Sio Liong banyak tahu tentang tindak-tanduk almarhum suaminya. Termasuk simpanan yang di Bank Sumitomo itu. Dan dalam logika Kartika, apa yang diketahui Liem dengan sendirinya diketahui pula oleh Presiden. Dugaan ini emata-mata berdasarkan sangkaan, bahwa Liem Sioe Liong termasuk penasihat pribadi Presiden. Sudah jelas bagi kalangan pemerintah logika Kartika ini mentertawakan--rapuh sekali. Tapi meskipun rapuh, ia cukup untuk dinilai "kurang ajar". Maka Kartika Ratna, yang masa mudanya bernama Lien Kiem Giok, kini ditunggu kedatangannya di Indonesia, untuk m mpertanggungjawabkan semua tuduhannya itu. Terutama yang menghina Kepala Negara RI. Mudah diduga Nyonya janda yang sejak beberapa tahun lalu lebih merasa aman tinggal di Swiss, enggan untuk ke Indonesia. Sulitnya, kata Ali Said, Indonesia belum mempunyai perjanjian ekstradisi dengan Swiss. Sehingga tak begitu mudah untuk "mendatangkan" Kartika ke Indonesia, kalau dia menolak panggilan Jaksa Agung. Perjanjian ekstradisi juga tidak dikenal antara Indonesia dan Singapura, yang sesama ASEAN itu. Seperti diketahui, selain di Swiss, Kartika pernah lama menetap di Singapura. Di tahun 1978 wanita itu--yang masih memegang paspor dan kewarganegaraan Indonesia -- memang pernah diminta untuk kembali saja ke Indonesia. Dengan jaminan keamanan bagi diri dan keluarganya. Tapi waktu itu ia menjawab: "Berapa harus saya bayar?" Komentar seorang perwira tinggi yang mengetahui "Jadi bisa diperkirakan wanita seperti apa Kartika itu. Ya, seperti apa? Ketika Haji Thahir meninggal pada 23 Juli 1976, Kartika yang ketika itu berada di Swiss, tidak datang melayat sang suami di Jakarta. Sebagai gantinya, saat itu juga dia terbang ke Singapura. Dan sehari setelah sampai di sana, sang janda berhasil mengurus rekening-rekening bersama antara dia dan Haji Thahir yang tersimpan pada cabang-cabang Chase Manhattam dan The Hongkong & Shanghai Banking Corporation di Singapura. Hasilnya cukup besar, tentu. Tapi apa mau dikata kalau Kartika Ratna tak merasa puas setelah mengantungi harta karun sebanyak US$45 juta atau Rp 28,1 milyar lebih. Dia mencoba mengambil yang tersisa di bank Sumitomo -- lalu kepergok Pertamina. Dan itulah pangkal perkara, yang oleh pemerintah Indonesia akan dirampungkan secara tuntas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus