Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iman membuat yang muskil, yang keras, yang suci, juga yang kejam, dijalani: di ketinggian yang sulit dijangkau di Lembah Pineios, Yunani, berdiri Metéora.
“Metéora” berarti “tergantung di udara”. Di sanalah, di pucuk bukit karang yang menjulang 400 meter seperti tiang raksasa, terletak enam biara Gereja Kristen Ortodoks. Ketika dibangun di abad ke-15, semua—bahan bangunan, peralatan, juga tubuh manusia—naik dengan tangga darurat atau diangkut jaring. Bertahun-tahun.
Hanya keyakinan yang mampu menggerakkan itu. Orang-orang saleh ingin mengabdikan hidup mereka dalam doa dengan menjauhi hasrat badani dan duniawi. Biara itu bagian sistem pertahanan dari nafsu dan petaka. Di zaman lalu Metéora melindungi para rahib dari dosa dan perang. Di abad ke-20, dalam film For Your Eyes Only tempat di dekat langit itu dipakai untuk bersembunyi oleh bajingan Kristatos dari kejaran James Bond.
Biara adalah benteng; fungsi defensifnya luas. Selama 1.000 tahun, 20 tempat rahib di Pegunungan Athos di Yunani Utara melarang perempuan menginjak wilayah seluas 335 kilometer persegi itu—juga hewan betina. Di sini keseimbangan gender hanya berlaku pada kucing. Biara ini mencerminkan fobia laki-laki yang berkecamuk bersama keguyahannya sendiri. Agama, dalam hal ini, adalah rasa waswas.
Dalam novelnya yang terkenal, Il nome della rosa, Umberto Eco bahkan menjadikan biara sebagai alegori bagi agama yang menegakkan “moralitas tertutup”.
Istilah morale close saya pinjam dari Bergson: agama dengan moralitas tertutup adalah iman yang menampik yang-lain, mengkafirkan “mereka”, membenci yang “bukan-kami”. Agama dengan sifat ini dipeluk orang-orang yang merasa diri identik dengan tuhan—homo homini deus. Tapi bila berbicara tentang “mereka”, masyarakat adalah arena di mana manusia mirip serigala yang saling mencakar, homo hominis lupus. Benci dan paranoia membentuk keyakinan.
Seorang tokoh Il nome della rosa adalah Jorge, biarawan buta penjaga perpustakaan. Rohaniwan tua ini dengan tegar menegakkan satu tiang iman: “rasa takut”. Tanpa rasa takut, kata Jorge, tak akan ada iman. “Apa jadinya kita, makhluk yang berdosa ini, tanpa rasa takut?” Baginya, rasa takut adalah “anugerah Tuhan yang paling berpandangan jauh...”.
Dengan itu Tuhan diletakkan sebagai amarah dan teror dan kecurigaan. Jorge mengharamkan gambar dan karya visual, terutama jika melukiskan makhluk dan adegan yang ganjil, kocak, dan menarik. Ia takut, ia berjaga-jaga, bila orang merasa lebih senang “mengagumi karya manusia ketimbang merenungkan hukum Tuhan”.
Jorge waswas: imajinasi, nalar, bahasa, dan tubuh bisa bergerak liar.
Sebagai konsekuensinya, semua itu harus dikendalikan. Yang dikehendaki Yesus dari manusia adalah “ya” atau “tidak”—itu saja, kata Jorge. Jika bergeser, Iblis akan menyeret kita ke jalannya.
Bahasa kiasan pun diharamkan. Makna kata harus transparan, pasti, dan harfiah. “Untuk mengatakan ‘ikan’ cukup dengan menyebut ‘ikan’,” katanya, “tanpa menyembunyikan makna di bawah bunyi kata itu.”
Ekstrem, tentu. Jorge tak mau tahu, metafora dan perumpamaan justru dekat dengan iman yang dalam, yang tak terungkapkan secara memadai dengan bahasa yang merupakan produk kesepakatan sosial. Jorge mengabaikan kata Yesus: “Mulutku akan mengucapkan perumpamaan. Aku akan menyatakan hal-hal yang tersembunyi sejak permulaan.”
Perumpamaan, parabel, dan alegori yang tak sepenuhnya transparan—dengan kata lain: bahasa puitik—ada dalam kitab-kitab suci: Quran, Bhagawat Gita, Tripitaka. Bahasa puitik selalu tak bisa selesai ditafsirkan. Maka tak mati-mati, sebagaimana karya penyair piawai.
Seorang penyair bahkan “gagap”. Seperti kata Deleuze, cara sang penyair mengungkapkan adalah “suatu kegagapan yang kreatif”, un prodigieux bégaiement. Kata-kata muncul, tak jarang begitu saja, hendak mengemukakan sesuatu yang paling dalam dan paling awal—dan tak 100 persen berhasil. Kata-kata seakan-akan hanya bayang-bayang sebuah makna yang separuhnya tertelan.
Dalam biara Jorge, kegagapan akan dianggap guyahnya iman. Di sini agama adalah pengukuhan kebenaran mutlak. Mencapai itu tiap gangguan, tiap godaan, harus disingkirkan: humor, puisi, dan pertanyaan tak bisa dibiarkan.
Menghadapi Jorge, seorang bruder dari Inggris, William Baskerville, berdiri tegak. Bahkan ia berbalik mendakwa. “Kamu Iblis,” ia mencerca sang biarawan. Iblis adalah “keangkuhan jiwa”, l’arroganza dello spirito, “iman yang tanpa senyum, kebenaran yang tak pernah dijangkiti ragu”.
Eco pun melengkapkan perumpamaannya tentang agama yang tertutup dengan adegan dramatis di akhir novelnya: biara itu terbakar. Juga perpustakaannya, yang dahulu dijaga Jorge dengan angker. Yang tersisa, yang tersebar, adalah serpih-an halaman buku.
Kebenaran, juga tentang Tuhan, akhirnya punya arti bukan karena dibela sebuah biara tinggi yang tertutup. Kebenaran itu bertebaran, dan tak henti-hentinya ditemukan, tak henti-hentinya dijalin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo