Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Hyperion

Hyperion, pohon paling tinggi di muka bumi, tak sendiri. Keangkuhan adalah buah khayalan.

18 September 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POHON redwood itu kini mungkin berumur 800 tahun—tak kenal apa arti “tua”. Juga tak peduli apa itu “tinggi”. Ia diberi nama “Hyperion”, menjulang hampir 116 meter, jauh melebihi puncak Statue of Liberty. Terlindung di wilayah hutan pantai California ia tak tersaingi: ia pokok Sequoia sempervirens paling jangkung di muka bumi. Orang dilarang mendekat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Pohon—wujud vertikal yang paling angkuh di alam yang hidup,” tulis Emmanuel Levinas dalam Carnets de captivité.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa saja bisa keliru, juga Emmanuel Levinas, filosof Prancis ternama itu, tentang pohon-pohon. Dan tentang Hyperion. Mungkin karena Levinas merenungkannya dari selnya yang keras di rumah tahanan militer Stalag XI-B di dekat Bergen-Belsten, Jerman, ketika ia, sebagai tentara Prancis, tertangkap di tengah Perang Dunia II.

Kalimat di atas ditemukan di antara corat-coret dari tahun 1937 sampai 1950, di buku catatannya yang diterbitkan orang setelah ia meninggal.

Saya tak tahu apakah Levinas tak suka pepohonan. Yang saya tahu ia—penganjur sikap ethis yang memuliakan liyan—tak menyukai manusia yang hanya merawat “aku-dan-aku-dan-aku…”.

Bagi saya, filsafatnya menggugah, tapi kiasannya meleset. Ia melihat analogi pohon dengan manusia, atau individu, yang egosentris. Dalam sebuah tulisan ia pernah bertanya: “Apa sebenarnya seorang individu, seorang individu yang bersendiri, kalau bukan sebatang pohon yang tumbuh, tanpa memandang semua yang ditekan dan dipatahkannya, [seraya] merebut semua makanan, udara dan matahari…?”

Levinas merumuskannya lebih tajam: “Apa arti seorang individu kalau bukan perampas? Qu’est-ce qu’un individu sinon un usurpateur?”

Tapi pohon, juga Hyperion yang tinggi dan tua, tak merampas. Ia memang butuh energi dari matahari, carbon dioxide, dan nutrisi dari tanah. Ia butuh air dari bumi di bawah bongkotnya, yang dihirup akarnya ke atas—melawan gravitasi—merasuki dan melalui batang.

Memang, ilmu tumbuh-tumbuhan mengenal interaksi antartanaman yang disebut “alelopati”. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, allilon- (αλλήλων) dan pathy (πάθη)—“saling melukai”, “saling menderita”—istilah yang pertama kali diperkenalkan pada 1937 buat menggambarkan interaksi biokimiawi yang mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan tanaman lain.

Seorang botanolog menunjukkan kepada saya, juga di zaman dahulu, di Tiongkok, di awal tarikh Masehi, ada sebuah buku, Shennong Ben Cao Jing, yang menggambarkan 267 tumbuh-tumbuhan yang berdaya pestisida, termasuk yang punya dampak alelopatis.

Mereka mengeluarkan senyawa yang disebut “alelokimia”. Saya pernah ikut membantu ramai-ramai mengubah sebuah hutan di sekitar Gunung Gede agar lebih bisa ditumbuhi tanaman yang beragam—dengan hasil kopi Sarongge yang nikmat—setelah bertahun-tahun jadi hutan industri yang dipadati pohon-pohon ekaliptus, sejenis tetumbuhan alelopati yang akhirnya seakan-akan memonopoli lahan. 

Tapi tak semua tanaman bersifat alelopatis. Di dunia, monopoli pada akhirnya sebuah kuasa yang tak lengkap. Ia semacam pemaksaan, ia kekerasan yang akan mengucilkan diri sendiri. Izinkan saya mengutip Levinas lagi: “Kekerasan adalah sebuah kedaulatan (une souveraineté) tapi juga kesendirian.”

Dalam pengalaman, terutama pengalaman dengan hutan tropis, pohon-pohon hidup dalam gerombolan. Juga Hyperion. Ia bukan wujud vertikal yang angkuh, bukan kejangkungan yang tumbuh dengan menekan dan mematahkan. Ia tak cocok untuk jadi perumpamaan Levinas, yang digubahnya di sebuah sel penjara di masa perang di negeri dingin. Hyperion tak hidup dalam sebuah lingkungan tempat makhluk hanya ada karena saling mengalahkan. Sejarahnya yang tua bukan mengurung atau dikurung orang lain.

Orang lain: kapitalisme yang melembagakan rasa iri dan melecut jorjoran, demikian juga politik identitas yang meramaikan paranoia, telah membuat pengertian “orang lain” bukan lagi liyan, melainkan obyek yang akan ditangkap dan ditaklukkan subyek. Padahal liyan dalam bahasa Jawa berarti “yang bukan-aku” tetapi ia bagaimanapun juga “sesama”, bagian dari “kami” dan “kita”.

Seorang theoritikus fisika kuantum yang terkenal, Carlo Rovelli, mengemukakan sesuatu yang selama ini dilupakan, ketika orang berdebat apakah dalam ilmu fisika baru itu benar ada “realitas” yang obyektif di luar kita. Padahal “realitas”, kata Rovelli, “bukanlah satu koleksi benda dan hal ihwal, melainkan satu jaringan proses”.

Misalkan sebuah cangkir teh warna biru. “Biru” bukanlah milik asal si cangkir. Warna—biru atau merah—terjadi dalam otak kita sebagai akibat struktur penerima di retina mata kita dan sebagai hasil interaksi antara cahaya siang dan permukaan cangkir itu. Bahkan atom-atom yang membentuk cangkir itu bukan elemen yang saling terlepas dan mandiri. 

Theori kuantum menunjukkan, kata Rovelli, atom-atom itu didefinisikan oleh interaksi fisik mereka dengan isi dunia selebihnya. Kita memahami realitas secara lebih baik, kata Rovelli pula, dalam pengertian sebagai interaksi, bukan sebagai individu-individu.

Artinya, Hyperion, pohon paling tinggi di muka bumi, tak sendiri. Keangkuhan adalah buah khayalan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus