Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Belenggu Ormas Penyebar Khilafah

Pemerintah tak usah repot-repot membubarkan organisasi kemasyarakatan hanya karena pandangannya berbeda dengan falsafah dan dasar negara kita. Celah hukum untuk membubarkan ormas memang ada, tapi tindakan yudisial ini, meski dilakukan secara akuntabel, hanya akan mencederai prinsip kebebasan berserikat dan berpendapat. Prinsip bagi setiap warga negara ini dijamin konstitusi.

8 Mei 2017 | 00.00 WIB

Belenggu Ormas Penyebar Khilafah
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pemerintah tak usah repot-repot membubarkan organisasi kemasyarakatan hanya karena pandangannya berbeda dengan falsafah dan dasar negara kita. Celah hukum untuk membubarkan ormas memang ada, tapi tindakan yudisial ini, meski dilakukan secara akuntabel, hanya akan mencederai prinsip kebebasan berserikat dan berpendapat. Prinsip bagi setiap warga negara ini dijamin konstitusi.

Rencana pembubaran terfokus pada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian menilai ormas Islam yang berbadan hukum perkumpulan ini mengganggu ketertiban sosial. HTI dianggap bisa memicu konflik horizontal sebagaimana tecermin dari sikap ormas lain yang menentang "ideologi"-nya, misalnya Gerakan Pemuda Ansor, anak organisasi Nahdlatul Ulama. Hizbut Tahrir dianggap mengancam ideologi negara lantaran mengumandangkan tegaknya kepemimpinan Islam sejagat, disebut khilafah, yang bertentangan dengan Pancasila.

Pembubaran bisa dipilih sebagai opsi tegas untuk menghalau pengaruh destruktif sebuah organisasi. Satu-satunya jalan memang melalui proses hukum berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pemerintah bisa mengawalinya dengan melayangkan teguran administratif, hingga mencabut status hukumnya melalui sidang pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Aturan hukum itu juga membolehkan pihak ormas menyatakan keberatan terhadap sanksi pembubaran melalui hukum negara ini. Eksekusi teknisnya dilakukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Namun menghukum ormas lantaran pandangannya dianggap berbahaya bukanlah langkah yang bisa menuntaskan persoalan. Urusannya bisa melelahkan, dapat terjadi saling gugat berkepanjangan. Setelah dibubarkan, toh mereka bisa saja menghidupkan organisasi dengan nama lain seraya mengobarkan semangat yang sama. Walhasil, peraturan ini, kalaupun belum bisa segera direvisi, percuma jika dipergunakan sebagai alasan pembenar untuk membelenggu ormas dengan pemikiran yang berseberangan. Hukum mungkin mampu menertibkan ormas, tapi bagaimana dengan ide yang bisa menyebar secara masif kendati tak punya kaki berupa organisasi?

Bukan berarti gagasan Hizbut Tahrir tak perlu diwaspadai. Meski jargonnya menolak kekerasan dan hanya berdemonstrasi dengan tertib, mereka sesungguhnya antidemokrasi. Mereka tak mengakui pemilihan umum dan tegaknya negara bangsa seperti saat ini. Kehadiran mereka cenderung eksklusif, tak mau mengakui pandangan yang berada di luar kelompok mereka, sehingga memicu pengotak-ngotakan di tengah masyarakat yang tak sehat.

Karena itu, pemerintah harus memilih langkah strategis. Dua ormas Islam terkemuka dengan pengikut dalam jumlah besar, NU dan Muhammadiyah, bisa digandeng untuk menegaskan bahwa bentuk negara bangsa ini sudah final. Keduanya bisa diminta berdiri di garda terdepan dalam mengkampanyekan gerakan demi kokohnya kebinekaan. Cita-cita luhur ini sudah digagas para pendiri bangsa dengan susah payah. Pemerintah juga harus memastikan tak boleh ada upaya memasukkan ideologi HTI di sekolah-sekolah, setelah mereka begitu aktif melakukan penetrasi di kampus-kampus hingga majelis taklim.

Kebebasan berpikir dan berpendapat yang dikumandangkan siapa pun atau senyeleneh apa pun dalam bernegara tak boleh diberangus. Negara sudah semestinya memfasilitasi semua hak dasar tersebut. Tentu saja kebebasan ini dibatasi kewajiban menjaga ketertiban umum. Kalaupun tindakan mereka anarkistis, cukuplah para tokohnya diproses secara hukum, bukan lantas organisasinya yang dibelenggu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus