Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEMATIAN 27 orang di lubang-lubang bekas tambang batu bara Kalimantan Timur selama 2011-2016 seharusnya tak terjadi. Para pengusaha tambang itu semestinya menunaikan kewajiban reklamasi dan revegetasi atau pengurukan dan penghijauan kembali setelah eksplorasi.
Faktanya, lubang-lubang itu dibiarkan menganga. Air hujan menggenanginya, maka jadilah "danau" berhektare-hektare, penuh endapan logam dan sisa batu bara. Citra satelit Dinas Pertambangan menemukan sedikitnya 632 lubang tambang--dua kali dari yang dilaporkan pengusaha. Kabupaten Kutai Kartanegara memecahkan rekor dengan 264 lubang, disusul Samarinda, Kutai Timur, Paser, Kutai Barat, Berau, dan Penajam Paser Utara. Di berbagai wilayah ini kita bisa menemukan aneka jejak pelanggaran. Keluarga Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari turut "menyumbang" lubang tak terurus lewat PT Swara Perkasa dan PT Beringin Jaya Abadi.
Kewajiban sederhana, seperti memagari wilayah bekas tambang untuk mencegah penduduk terperosok, pun tidak dibuat. Padahal para pengusaha batu bara di Kalimantan Timur itu bukan orang sembarangan. Ada menteri, kepala daerah, dan pengusaha nasional. Antara lain Reza Pribadi, anak pengusaha nasional Henry Pribadi, yang membiarkan lubang bekas tambangnya menganga sejak 2012.
Tatkala seorang remaja tewas di area ini pada Desember 2015, mereka segera memasang papan larangan dan pagar baru. Itu hanya sehari setelah Gubernur Kalimantan Timur Awang Faroek Ishak membekukan operasi 11 perusahaan tambang batu bara. Pertanyaannya: kok, memasang pagar perlu tiga tahun, perlu ada yang mati segala, dan pembekuan usaha dari Gubernur?
Undang-Undang Mineral dan Batu Bara serta Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi dan Pascatambang menyatakan kewajiban pemulihan wilayah bekas tambang. Pelaksanaannya boleh saja belakangan, tapi rincian tahapan rencana dan analisis dampak lingkungan yang akurat harus beres sebelum eksplorasi dimulai. Reklamasi paling lambat 30 hari setelah tak ada lagi kegiatan penambangan.
Fakta bahwa kewajiban ini diabaikan selama bertahun-tahun hingga menelan korban nyawa perlu perhatian serius pemerintah daerah dan pusat melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Lingkungan Hidup. Dinas Pertambangan Kalimantan Timur kudu giat mengejar kewajiban perusahaan melunasi dana reklamasi tambang sejak awal. Koordinasi amat diperlukan untuk menutup setiap celah pengusaha yang "tinggal glanggang colong playu" dengan rupa-rupa modus.
Pengalihan fungsi lubang tentu bukan mustahil, misalnya dengan dalih "masyarakat perlu sumber air untuk kolam dan pertanian". Tapi harus disertai pengecekan sumber air serta upaya reklamasi dan revegetasi. Tanpa itu, air danau akan menumpas ikan-ikan dan pertanian, alih-alih menghidupkannya. Uji independen Tempo atas air dari area Multi Harapan menunjukkan tingkat pH atau kadar keasamannya 3,6, padahal pH minimal layak minum adalah 6,8.
Semua pelanggaran di atas tak lepas dari kelalaian pemerintah pusat dan daerah, terutama dalam hal pengawasan. Segeralah memperbaiki koordinasi, dan jangan saling "melempar handuk". Rumuskan sanksi administratif yang patut dan tegakkan sanksi pidana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo