Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Dewan Perwakilan Rakyat menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi merupakan laku lajak atau mengada-ada. Hak angket, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, adalah hak Dewan untuk menyelidiki pelaksanaan suatu undang-undang atau kebijakan pemerintah ataupun lembaga negara nonpemerintah yang penting, strategis, dan berdampak luas di masyarakat. Alih-alih menyelidiki dengan motif memperbaiki kinerja KPK, penggunaan hak angket ini lebih terasa sebagai upaya membekap lembaga antikorupsi itu.
Pada awalnya adalah rapat dengar pendapat antara Komisi Hukum DPR dan KPK pada pertengahan April lalu. Ketika itu, beberapa legislator meminta pimpinan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam S. Haryani, politikus Partai Hanura yang terseret kasus korupsi proyek pengadaan kartu tanda penduduk berbasis elektronik (e-KTP). Dalam pemeriksaan itu, Miryam mengaku diancam oleh lima anggota Dewan agar tidak mengakui adanya pembagian uang korupsi di DPR. Karena itulah Miryam mencabut berita acara pemeriksaannya saat di pengadilan.
Lima anggota DPR yang disebut menekan Miryam adalah Bambang Soesatyo dari Partai Golkar, Desmond Junaidi Mahesa dari Gerindra, Sarifuddin Sudding dari Hanura, Azis Syamsuddin dari Golkar, dan Masinton Pasaribu dari PDI Perjuangan. Kenyataannya, mereka berlimalah yang paling gencar mendesak pimpinan KPK membuka rekaman pemeriksaan Miryam.
KPK bergeming. Komisi menolak membukanya karena rekaman itu merupakan bagian dari materi pemeriksaan yang hanya bisa diungkap di pengadilan. Gara-gara penolakan itulah para legislator meradang dan mengancam akan menggulirkan hak angket--langkah yang belakangan benar-benar terwujud. Tak sulit memahami mengapa Dewan "bersemangat" menghantam KPK: sejumlah anggota legislatif kuat diduga terlibat dalam perkara megakorupsi tersebut.
Permintaan membuka rekaman pemeriksaan itu jelas merupakan penyalahgunaan kekuasaan. Siasat Dewan ini terang-terangan ingin menghalang-halangi atau setidaknya campur tangan dalam kasus e-KTP, yang sidangnya sedang berjalan.
Keputusan pimpinan DPR menyetujui hak angket ini juga tidak sah. Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah, pemimpin sidang paripurna DPR soal hak angket, buru-buru mengetuk palu persetujuan ketika masih ada interupsi dari peserta sidang. Ini melanggar tata tertib DPR karena, bila keputusan tidak bisa diambil dengan aklamasi lantaran masih ada interupsi atau ada yang menolak, jalan yang ditempuh seharusnya adalah pemungutan suara.
Pimpinan sidang juga mengabaikan syarat sah persetujuan hak angket, yakni sidang harus dihadiri setidaknya separuh anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari separuh anggota DPR yang hadir. Kenyataannya, Fahri tidak menghitung dan mengumumkan jumlah anggota Dewan yang hadir. Akibatnya, tidak jelas apakah penggunaan hak angket sudah memenuhi syarat atau belum.
Bila dibiarkan, hak angket dapat menggelinding ke mana-mana. Yang mengkhawatirkan adalah kemungkinan hak angket ini mengarah ke revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi dengan tujuan melemahkan KPK. Bukan sekali ini saja DPR ingin membongkar aturan itu, meskipun berkali-kali ditolak masyarakat. Bila hak angket ini bermuara ke sana, jelaslah sudah bahwa Dewan sebetulnya memang ingin melumpuhkan lembaga antikorupsi itu.
KPK, yang tengah didera problem internal--di antaranya konflik antar-penyidik--seperti tertimpa tangga setelah jatuh. Alih-alih membenahi kekompakan anak buah, pimpinan KPK mengeluh kepada legislator Senayan. Problem kepemimpinan yang tidak selekasnya diatasi kemudian menjadi peluru DPR untuk menghantam Komisi.
Dengan segala cacat dalam proses persetujuannya, hak angket ini harus dibatalkan. DPR mesti menggelar sidang paripurna lagi untuk mencabut hak angket ini. Para pemimpin partai dan fraksi harus bersikap tegas dengan mendisiplinkan anggotanya yang sudah keblinger dan penuh kepentingan pribadi ini. Terlalu mahal harga yang harus dibayar untuk sebuah hak angket demi memuaskan kepentingan segelintir politikus busuk itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo