Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Belum Seperti Partai

29 Maret 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Moeslim Abdurrahman Doktor bidang antropologi Universitas Illinois, Amerika Serikat. GAMBAR partai-partai yang akan ikut pemilu sudah resmi diumumkan. Jumlahnya cukup besar, yaitu empat puluh delapan. Tampaknya berbeda-beda, tapi lambangnya banyak yang mirip. Calon pemilih tentu akan senang melihat lebih banyak pilihan gambar yang akan dicoblos dibandingkan dengan pemilu semasa Orde Baru. Namun, pertanyaannya adalah, adakah agenda politik yang jelas di balik gambar partai-partai itu buat rakyat? Rasanya, pendidikan politik yang ada selama ini memang tidak terlalu jelas membicarakan agenda politik itu. Anjuran rakyat untuk memilih partai?biasanya dalam musim kampanye?selalu diulang-ulang agar mereka tidak sampai keliru mencoblos gambar partai karena partai ini atau partai itu dipimpin oleh seorang tokoh ini dan tokoh itu. Karena itu, jangan heran jika gambar suatu partai sering kali?di benak rakyat?lebih identik dengan seorang tokoh, yang biasanya juga menjadi lambang sentimen primordial tertentu yang dijalin dalam hubungan tokoh pengikut, bukan dalam kepedulian yang sama karena kepentingan politik yang obyektif. Sesungguhnya, dengan kata lain, yang harus diragukan dengan konfigurasi gambar partai-partai sekarang ini ialah: apakah dalam era reformasi politik sekarang ini memang ada kartu-kartu politik baru yang diedarkan kepada rakyat sebagai indikasi bahwa pembaruan politik memang telah beranjak dari corak aliran yang selama ini menguasai wajah politik Indonesia? Jika jawaban terhadap keraguan yang bersifat esensial ini tetap saja semakin kabur?biarpun pemilu kali ini memang sangat penting dari segi pencarian legitimasi politik bagi suatu batas yang jelas antara Orde Baru dan orde reformasi?apa pun hasilnya nanti jika pengelompokan politik lewat partai masih saja didasarkan pada corak aliran, sudah tentu hasil pemilu yang akan datang tetap saja tidak mungkin dapat menjadi tonggak yang kuat bagi bangsa ini untuk melakukan transformasi budaya politik menuju masyarakat Indonesia yang demokratis. Hal ini terutama berkaitan dengan usaha memperjuangkan hak-hak warga negara yang sama di depan hukum, dan pentingnya masalah keadilan sosial. Jika partai-partai masih dominan diwarnai corak aliran?dan mereka sadar sentimen aliran itulah nanti yang akan efektif menjadi bahan kampanye untuk bersaing memperebutkan perolehan suara?sudah tentu sisa harapan munculnya pendidikan politik yang obyektif itu hanya bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga swadaya masyarakat nonpartisan melalui program-program mereka bagi pendidikan politik calon pemilih (voter education). Namun, apakah benar bahwa lembaga-lembaga swadaya masyarakat itu secara efektif bisa melakukan hal ini? Sebab, banyak hal yang juga menjadi kendala bagi lembaga swadaya masyarakat (LSM), baik secara internal maupun eksternal. Misalnya, soal waktu. Apakah dengan waktu sisa kurang dari tiga bulan ini?biarpun menggunakan modul pendidikan politik secanggih apa pun?LSM dapat memberikan perspektif banding bagi calon-calon pemilih, sehingga mereka kritis dalam menentukan pilihan tentang partai mana yang betul-betul memperjuangkan nasib mereka? Soal yang lain, jika LSM yang mengaku nonpartisan itu melakukan kampanye politik secara konsisten kepada para calon pemilih dan menganjurkan agar memilih partai yang memperjuangkan aspirasi kepentingan politik yang obyektif?sementara partai yang ada tidak mempunyai agenda politik?apakah hal ini tidak malah membingungkan para calon pemilih? Kalau kita melihat warna gambar partai-partai sekarang ini, bisa jadi sebenarnya yang harus menjadi obyek pendidikan politik?dan yang mestinya didahulukan?justru adalah kalangan partai itu sendiri, sebelum diberikan kepada rakyat. Apalagi, kalau mau sedikit jujur, sesungguhnya masalah politik dalam pemilu ini toh lebih banyak menyangkut persoalan politik kaum elite. Ini karena tidak ada kekuatan elite yang kuat setelah Soeharto turun, sehingga yang paling diharapkan dari hasil pemilu nanti adalah terjadinya power sharing baru. Hanya saja, agar tidak terjadi keguncangan politi baru, pemilu hendaknya dapat dilaksanakan dengan jujur dan adil. Namun, bayangkan, jika aliansi kekuasaan yang menang yang akan datang ini masih saja didasarkan pada sentimen aliran, sementara rakyat berharap munculnya pemerintahan baru yang kuat yang dapat menciptakan stabilitas baru dengan program-program ekonomi yang hasilnya langsung bisa dirasakan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari?tapi ternyata ini tidak muncul?rakyat yang sudah kritis mau tidak mau akan berhadapan dengan supremasi rezim yang baru, yang dengan retorika aliran itu (atas nama agama, nasionalisme, dan apa lagi) untuk kesekian kalinya kepada rakyat nanti akan dibilang: sudah jadi hasil pemilu kok masih saja tidak mau terima. Terlebih lagi, kabinet baru nanti bisa saja lemah bukan karena hasil pemilunya, tapi karena pemilu yang jurdil ternyata menghasilkan pemenang yang wawasan kebangsaannya lemah dan wawasan politiknya sempit, yang tidak mampu menangani masalah-masalah riil. Dengan memperhatikan corak politik yang cenderung mengedepankan pertimbangan aliran di balik gambar partai-partai yang akan ikut pemilu nanti, soalnya ialah mana yang lebih penting dalam waktu singkat ini. Tidakkah fokus pendidikan politik sebaiknya ditekankan untuk menjadikan agar partai-partai seperti partai beneran (look like a party), ataukah melakukan pemberdayaan politik rakyat yang sebenarnya, kalau konsisten, dalam banyak hal sama artinya dengan menganjurkan jangan memilih partai ini dan partai itu, bahkan mungkin lebih jelas bilang saja dalam pendidikan politik itu bahwa partai-partai sekarang ini semakin tidak jelas agenda politiknya? Kalau kita berpikir positif, undanglah partai-partai itu sebelum kampanye agar mereka bisa berkampanye dengan agenda politik yang jelas, bisa ditimbang-timbang oleh rakyat apakah agenda tersebut maton apa tidak. Dan, yang lebih penting, apakah agenda politik mereka memang betul-betul diangkat dari kepentingan politik aktual yang terjadi secara obyektif di sekitar rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus