H. Sujiwo Tejo
Seorang dalang dan mantan wartawan
Bolehkah Dalang Ki Manteb Sudarsono, Ki Enthus Susmono, dan Ki Slamet Gundono tampil di departemen yang dipimpin Adi Sasono? Pertanyaan itu serupa dengan apakah dalang yang sama, ataupun yang lainnya, boleh tampil di Cendana atau di Dalem Kalitan? Sama juga dengan pertanyaan: apakah mereka, termasuk seniman dari bidang yang lain seperti dangdut, Srimulat, Hetty Koes Endang, boleh tampil di rumah Wiranto, Amien Rais, Gus Dur, Megawati, dan sebagainya? Pekan lalu, di antara tiga dalang tadi, yang 1 April nanti tampil bersama atas prakarsa Departemen Koperasi dan Pembinaan Pengusaha Kecil, menelepon saya. Saya bilang, kenapa tidak?
Telepon itu bukan dari bawahan ke atasan, atau dari sesuatu yang mengesankan adanya garis komando untuk sebuah gerakan. Kami, termasuk tiga dalang tadi, hanya pernah bersepakat melalui memorandum tanggal 9 Februari di Tegal, yakni Memorandum Jaringan Dalang, untuk "kabar-kabaranlah" satu sama lain mengenai segala urusan yang menyangkut pedalangan. Kami bersepakat untuk, sebisa-bisanya, tidak menjadikan wayang sebagai propaganda, misalnya, bahwa mikul duwur mendem jero kemudian berarti melenceng sama sekali. Sedemikian disesatkannya sehingga kalau Habibie terkesan enggan mengadili Soeharto, orang bisa memujinya sebagai tokoh yang sedang melakoni mikul duwur mendem jero.
Atas nama propaganda, begitu banyak pesan moral dari wayang yang diselewengkan. Dikira kalau sudah mikul duwur mendem jero berarti tak pantas membawa orang yang diluhurkan ke depan hukum. Artinya, kalau secara pribadi seseorang punya utang budi, secara rasional dan profesional atas nama panggilan tugas pun orang tersebut tak bisa berkutik. Bersamaan dengan propaganda mikul duwur mendem jero dan hal-hal lain dari khazanah wayang, tidak juga dipropagandakan pengimbangnya sehingga pesan disampaikan utuh. Misalnya, bagaimana Pandawa, yang sebagai murid berutang budi pada Profesor Durna, kemudian menggempur sang Profesor habis-habisan. Anak-anak Pandu habis-habisan untuk secara rasional menerapkan hukum kesatria di medan Bharatayudha.
Mirip kelakuan para agamawan yang gemar mencuplik dan mereduksi satu ayat untuk kepentingan politik, demikianlah untuk kepentingan sepihak dan sesaat, pesan-pesan wayang tak disampaikan seimbang. Tolong, soal ini tidak terlalu dianggap remeh terutama oleh Anda yang terlalu sibuk dengan apa yang disebut forum-forum seni kontemporer seperti Art Summit.... Itu, lo, kesenian yang adanya bukan karena hidup di masyarakat, tetapi karena ditulis dan diramaikan media massa meski penontonnya cuma satu dua orang. Istana rupanya lebih jeli dan tidak mudah tertipu oleh media massa bahwa yang hidup di hati rakyat adalah seni kontemporer. Tidak. Mereka mengumpulkan dalang-dalang yang tercatat lebih dari 1.500 orang. Bukannya para seniman kontemporer. Dari aura istana itu antara lain para dalang pernah merumuskan lakon Semar Mbabar Jati Diri (1995) dan Rama Tambak (1998 ) lalu dipentaskan di 50 kota.
Stop semua itu. Kini, dengan tekad menyampaikan pesan seimbang, telah tiba waktu bagi para dalang dan seniman yang lain untuk mau ditanggap siapa saja. Pesan yang seimbang, termasuk salah satu contohnya adalah pesan mikul duwur mendem jero, disandingkan dengan kenyataan betapa Pandawa pun masih menggempur profesornya, bisa disederhanakan sebagai pesan kemanusiaan. Dengan pesan bahwa Cina itu problem, hari ini Anda bisa main di Departemen Koperasi, tapi besok Anda tidak bisa tampil di PKP-nya Edi Sudradjat. Dengan pesan bahwa Banteng harus menang, Anda bisa ditanggap Mbak Mega tapi tidak di Akbar Tandjung. Dengan pesan bahwa kemanusiaan penting, Anda bisa mendalang untuk Amien Rais, lalu seusai pentas, pamit bersama sinden dan nayaga akan mendalang lagi untuk Wiranto.
Namun soalnya juga bergantung pada orang-orang politik itu. Bisakah, misalnya, pada zaman ini mereka mengundang seniman hanya untuk mengumpulkan massa. Propaganda dan sejenisnya mereka lakukan setelah massa berkumpul. Sesudah itu berlangsunglah acara kesenian dengan pesan tunggal: kemanusiaan. Ini agak susah jika politisi masih berpikir bahwa semakin mencolok iklan semakinlah besar dampaknya. Jadi, usai pidato propaganda, wayangan atau pentas kesenian lain setelah itu harus melanjutkan dan menggarisbawahi propaganda tersebut. Tapi itu tidak susah, seperti telah dibuktikan produk-produk perusahaan raksasa. Jika politisi berpikir bahwa semakin tidak tendensius sebuah iklan, semakin simpatiklah dan berdampak. Jadi, gampang juga kan di Departemen Koperasi, pesan tunggal wayangan Manteb Enthus Gundono: kemanusiaan. Begitu juga pentas seniman lain di partai-partai yang lain.
Taruh kata cara berpikir politisi sudah berubah ke arah yang lebih sehat, soal masih kembali bergantung pada seniman-seniman. Mereka paling rajin berkasak-kusuk jika sejawatnya ditanggap oleh orang yang kebetulan kontroversial, apalagi yang sudah dihujat. Terlalu mengagungkan profesi keseniannya, sulit, misalnya, mengajak seniman memandang profesinya seperti dokter atau sopir taksi. Dokter harus mengobati semua orang, musuh sekalipun. Sopir taksi mengantar penumpang ke tujuan tanpa harus bertanya lebih dulu apakah penumpangnya Golkar atau ABRI. Kalau Manteb bisa membuat Adi Sasono menangis karena keharuan pesan kemanusiaan wayangnya, lantas esok malamnya Pak Harto juga dibuatnya menangis karena hal yang sama, dia baru dalang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini