Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Bentuk Bersaing

Terkadang kita diharuskan menetapkan pilihan manakala mesti menulis kata yang versinya berbeda-beda: praktik-praktek, zaman-jaman, hakikat-hakekat, frustrasi-frustasi, napas-nafas, subjek-subyek, objek-obyek, dan seterusnya.

12 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eko Endarmoko

Terkadang kita diharuskan menetapkan pilihan manakala mesti menulis kata yang versinya berbeda-beda: praktik-praktek, zaman-jaman, hakikat-hakekat, frustrasi-frustasi, napas-nafas, subjek-subyek, objek-obyek, dan seterusnya.

Fenomena seperti itulah yang biasa disebut "bentuk bersaing". Arti istilah ini kita lihat pada kemunculan dua kata atau lebih yang bersaingan dalam praktik berbahasa sehari-hari. Namun, seperti mengingkari arti yang terkandung dalam istilah itu, kamus bahasa Indonesia dalam banyak kasus malah mematahkan semangat bersaing lewat penetapan (1) bentuk "yang ejaannya dianggap baku" dan (2) bentuk "yang tidak disarankan pemakaiannya".

Bagi kebanyakan penutur bahasa Indonesia, pilihan itu tidak bisa dibilang gampang, justru manakala membuka kamus bahasa Indonesia. Bukan saja karena kamus itu mencantumkan sekaligus dua versi penulisan satu kata yang sama (bukan menyertakan rujuk silang yang menyarankan bentuk yang dipakai), seperti reak dan riak atau perai dan prei, tapi juga karena mencatat bentuk bersaing dengan pretensi mendapatkan bentuk baku (biasanya diisyaratkan dengan rujuk silang), namun banyak yang tampaknya memerlukan penjelasan lebih lanjut.

Pada contoh senarai pasangan bentuk bersaing di atas, yang dianggap baku terletak di kiri, sedangkan yang tidak disarankan pemakaiannya alias dianggap tidak baku terletak di sebelah kanan. Jadi apa susahnya menetapkan pilihan tadi? Tinggal buka kamus, selesai.

Tidak begitu ternyata. Persoalannya tak berhenti di situ. Penetapan satu bentuk yang tampaknya diarahkan menjadi bentuk baku barangkali bukan tanpa alasan dan bukan bermaksud mematahkan semangat bersaing. Ada alasan dan dengan kehendak atau semangat "meluruskan". Mengapa dipilih praktik, misalnya, padahal yang terasa lebih akrab, dan lebih hidup, adalah praktek? Hasan Alwi, dalam "Prakata Edisi Ketiga" KBBI menulis, "Pilihan atas praktik itu didasarkan pada adanya deret praktik, praktis, praktikum, dan praktisi."

Sekarang, kenapa zaman, bukan jaman? Kenapa hakikat, bukan hakekat? Kita lihatlah, zaman diserap dari bahasa Arab, zamaan, sedangkan hakikat bermula dari hakiki (bukan hakeki), satu bentuk yang juga diserap dari bahasa Arab, haqiqi. Akan halnya frustrasi, kata ini diserap dari bahasa Inggris frustration. Maka cukup alasan mengapa frustasi sebaiknya kita pinggirkan, sebab bentuk itu tidak bersesuaian dengan bentuk asalinya- kendati boleh dipersoalkan apakah "berbeda dari aslinya" bisa dinyatakan "salah".

Agak membuat sangsi, atau bingung, adalah pilihan atas napas, bukan nafas. Dulu, kita ingat, pernah hidup bentuk faham dan fikir, tapi kemudian diganti menjadi paham dan pikir. Dua bentuk paham dan pikir ini cukup lama diterima khalayak daripada masing-masing variannya, sampai hari ini. Apalagi keduanya lebih ramah dan nyaman bagi penutur bahasa Indonesia manakala mendapat imbuhan. Mudah ditebak, orang banyak akan memilih memahami, pemahaman, memikirkan, pemikiran daripada memfahami, pemfahaman, memfikirkan, pemfikiran, bukan?

Pun sedikit bikin bingung adalah penetapan napas, bukan nafas. Padahal, di sisi itu, dipilih nafsu, bukan napsu.

Dua pasangan bentuk bersaing lain yang juga masih terus bertarung cukup liat adalah subjek-subyek, objek-obyek. Sekadar catatan kaki, saya pilih subyek dan obyek, bukan subjek dan objek, sebab sudah ada beberapa pendahulunya: proyek dan trayek, yang tidak dieja projek dan trajek. Sejauh ini, kita belum mendapat penjelasan masuk akal kenapa yang dianggap baku adalah subjek dan objek.

Tadi saya katakan, bentuk baku adalah frustrasi, bukan frustasi. Pertimbangannya: kata ini diserap dari bahasa Inggris, frustration. Namun dengan catatan, boleh dipersoalkan apakah "berbeda dari aslinya" bisa dengan tegas kita nyatakan "salah". Kasus serupa, umpamanya, kita lihat pada bentuk seronok. Di rumah asalnya, bumi Melayu, dan di tanah Sumatera, kata ini bermuatan nilai positif, membawa pengertian "menyenangkan, mengasyikkan". Tapi tengoklah penggunaannya yang luas di media massa. Boleh dibilang semua merujuk pada arti erotis, merangsang, jorok. Siapa yang punya kuasa memutuskan mana arti yang paling "benar"- sepanjang tak dilupakan bahwa hukum bahasa itu tak lain dari abstraksi yang ditarik dari gejala kebahasaan yang hidup di tengah para penuturnya?

Memilih kata, sudah kita tahu, tidak bisa dibilang gampang kadang justru karena membuka kamus bahasa Indonesia. Penting buat kita saya kira adalah menyadari bahwa persaingan antara bentuk yang berkeras jadi baku dan bentuk (varian) yang dipilih pengguna bersifat abadi. Tarik-menarik itu adalah sebuah keniscayaan. Biarlah penyelidikan tentang argumen di balik penetapan baku-tidaknya sebuah kata menjadi porsi para linguis, ahli bahasa (Indonesia).

Catatan ini bukanlah semacam ajakan berbahasa semau-maunya. Paling kurang, tersirat sudah saya nyatakan memilih kata, misalnya subjek atau objek, tanpa mengerti alasannya adalah sebuah sikap naif. l

Penyusun Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia Edisi Kedua

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus