Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HASIL visum Rumah Sakit Umum Daerah Dr Zainoel Abidin, Banda Aceh, menjadi petunjuk baru bagi polisi untuk mengungkap kasus penemuan mayat Mutia Andayani di tepi Pantai Ujung Kareung, Ladong, Mesjid Raya, Aceh Besar, Senin dua pekan lalu. Hasil pemeriksaan dokter forensik ini diterima polisi sehari setelah penemuan mayat perempuan asal Trienggadeng, Pidie Jaya, Aceh, itu.
Berdasarkan hasil visum, polisi mendapat informasi adanya tanda-tanda kekerasan di tubuh mayat perempuan 36 tahun tersebut. Tanda-tanda itu berupa lebam hampir di sekujur tubuh dan bekas luka menyerupai tusukan di bagian leher. Ada indikasi perempuan itu dibunuh.
Tapi polisi buru-buru menyatakan hasil visum itu belum cukup untuk membawa mereka pada kesimpulan penyebab kematian Mutia. "Kami belum menyimpulkan. Kasusnya masih diselidiki," ujar Ajun Komisaris Muhammad Taufiq, Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Banda Aceh, Kamis pekan lalu.
Mayat Mutia ditemukan Supardi, penjual kelapa muda di Pantai Ujung Kareung. Saat itu pria 25 tahun ini baru saja mengantarkan pesanan kelapa muda untuk pelanggannya. Ketika memandang ke arah laut, Supardi melihat seperti ada tubuh manusia tertelungkup di atas pasir pantai, sekitar 40 meter dari tempat ia berdiri. Supardi lantas berjalan mendekat ke arah tubuh yang tergeletak itu. "Ternyata mayat perempuan. Pakaiannya minim," katanya sembari bergidik.
Supardi bergegas melaporkan temuannya itu kepada kepala dusun setempat. Laporan Supardi ini diteruskan kepala dusun kepada aparat Kepolisian Sektor Mesjid Raya. Kabar penemuan mayat Mutia beredar cepat sehingga puluhan warga mendatangi lokasi kejadian yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari Banda Aceh itu. Mereka datang sebelum polisi tiba di lokasi.
Dari foto yang diperoleh Tempo, kondisi mayat Mutia tampak sangat mengenaskan dengan hanya tinggal bra yang menempel di badannya. Dengan kondisi telungkup, tampak rambut di sebelahnya sudah tidak ada seperti bekas dicukur. Wajah sampai kakinya dipenuhi luka lebam biru kehitaman. Sekujur tubuhnya juga dipenuhi luka memar merah. Di kaki kirinya melilit tali perban putih.
Setelah datang ke lokasi, polisi langsung membawa mayat Mutia ke Rumah Sakit Zainoel Abidin. Awalnya polisi tidak mengetahui identitas mayat karena tak ada satu pun barang milik korban. Warga sekitar juga tak mengenalnya. Sampai akhirnya foto dan berita penemuan mayat tanpa identitas itu ramai dimuat di media online lokal dan menyebar luas melalui media sosial.
Keesokan harinya, seorang kerabat Mutia bernama Sayed Muhammad Husen, yang mengaku mengetahui kabar itu dari media sosial, mendatangi rumah sakit. Setelah melihat mayat, Sayed yang datang bersama dua saudaranya memastikan perempuan yang tewas itu adalah Mutia. Ia mengenalinya dari tali perban yang masih menempel di kaki kiri dan bekas luka goresan di tumit. "Saya membawa dua sepupunya, yang juga memastikan mayat itu Mutia," ujar Sayed.
Sayed datang ke rumah sakit karena, sebelum muncul berita penemuan mayat itu, ia sudah dikontak beberapa kali oleh keluarga Mutia di Pidie Jaya. Kepada Sayed, mereka mengabarkan kehilangan Mutia sejak lima hari sebelumnya. Dari foto-foto penemuan mayat, Sayed merasa ciri-cirinya mirip dengan Mutia yang dikabarkan hilang.
Arahmawi, sepupu Mutia, sempat bertemu dengan saudaranya itu sehari sebelum menghilang. Dia sempat mengantarkan Mutia ke pusat kesehatan masyarakat terdekat untuk mengobati luka di tumitnya. Dua jam setelah dari puskesmas, Arahmawi kembali ke rumah Mutia. Tapi di sana ia tak menemukan Mutia.
Pria 30 tahun itu bersama beberapa kerabatnya mencari Mutia ke berbagai tempat. Mutia akhirnya ditemukan di sebuah rumah kosong di pinggiran pantai Desa Prade Redeup, tiga kilometer dari tempat tinggalnya. Dia kala itu mengenakan gamis motif bunga berwarna merah jambu, sarung kotak-kotak, dan kerudung bercorak krem. "Saat itu ia tak mau pulang. Saya akhirnya memaksanya pulang," ucap Arahmawi.
Pagi keesokan harinya, Arahmawi mendapat kabar dari seorang tetangganya bahwa Mutia tidak berada di rumah. Rafiah, tetangga itu, datang ke rumah Mutia untuk mengantar sebotol air mineral dingin. Di sana, ia menemukan rumah dalam keadaan kosong. Rafiah bergegas memberi kabar kepada keluarga Mutia yang lokasi rumahnya tak begitu berjauhan. "Saya khawatir. Sebab, setelah ibunya meninggal, dia tak pernah bersosialisasi dengan tetangga," kata perempuan 55 tahun itu.
Menurut Arahmawi, Mutia menjadi pendiam dan sering menyendiri sejak kedua orang tuanya meninggal. Perempuan tamatan sekolah menengah atas di Trienggadeng yang belum menikah ini juga semakin tertutup karena cita-citanya mengenyam pendidikan sampai perguruan tinggi kandas. "Sehari-hari di rumah dan rajin menulis," ujar Arahmawi.
Sejak Mutia tak ditemukan berada di rumah, keluarga menghubungi semua sanak famili, termasuk di Banda Aceh, yang jaraknya 150 kilometer dari kampung mereka. Namun yang dicari tak ada di sana. Keluarga meyakini Mutia pergi tanpa membawa uang sepeser pun karena saat itu kartu anjungan tunai mandirinya tak sengaja terbawa oleh saudaranya. "Kalau ke rumah saudara, ia biasanya tidak berlama-lama dan langsung pulang ke rumah," kata Mustafa Ismail, kakak kandung Mutia.
Karena Mutia tak kunjung pulang, keluarga mencarinya ke beberapa tempat, termasuk lokasi-lokasi yang sering dikunjunginya. Mereka juga menyebarkan foto Mutia kepada teman-teman dekatnya. Tapi tak ada yang tahu keberadaan Mutia. Keluarga bahkan meminta bantuan "orang pintar" untuk menerawang keberadaan Mutia. Tapi lagi-lagi mereka harus gigit jari.
Kepada polisi, seorang tetangga Mutia mengaku melihat perempuan itu pada hari ketika ia dinyatakan hilang. Tetangga ini melihat Mutia keluar dari rumah memakai baju yang sama seperti yang digunakan malam sebelumnya. Mutia ketika itu menuju arah pantai, yang berada tak jauh dari rumahnya. Dari pantai, ia kemudian menuju jalan lintas Sumatera.
Saksi ini melihat Mutia sempat mencoba menyetop angkutan umum, Mitsubishi L-300, tapi tak ada yang berhenti. Karena informasi ini, polisi menduga Mutia ke Banda Aceh menggunakan angkutan umum. "Tapi kami belum menemukan orang yang melihatnya naik mobil," ujar Muhammad Taufiq.
Selain memeriksa tiga saksi dari keluarga dan tetangga Mutia, polisi beberapa kali melakukan olah tempat kejadian untuk mencari petunjuk mengungkap kasus itu. Dari karakter medan, pantai itu dikelilingi tanggul batu setinggi tiga meter. Tak ada pintu yang bisa dilalui mobil atau sepeda motor menuju pinggir pantai. Di sekeliling tanggul, terdapat sebelas kios yang menjual beragam makanan dan minuman, termasuk milik Supardi, yang buka hampir 24 jam. "Tidak ada petunjuk baru di sekitar lokasi," kata Kepala Polsek Mesjid Raya Ajun Komisaris Agus Salim.
Supardi meyakini mayat Mutia terbawa ombak sampai akhirnya terdampar di pantai tak jauh dari kiosnya. "Kalau dibuang orang sepertinya tidak mungkin karena pasti akan terlihat. Di sini ramai," ujarnya.
Keluarga meyakini kematian Mutia tidak wajar karena kondisi mayatnya yang mengenaskan. Kalaupun terbawa ombak, menurut Mustafa Ismail, tidak mungkin baju kurung adiknya itu tanggal. Air laut, dia melanjutkan, tak mungkin bisa menggerus sebagian rambut Mutia. "Apalagi ada luka lebam di sekujur tubuhnya," ujarnya. Keyakinan keluarga semakin kuat setelah mereka menerima hasil visum.
Linda Trianita, Adi Warsidi (banda Aceh) | Imrande Djuli (pidie Jaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo