Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
EGO Syahrial tidak menyangka berjumpa dengan Sumanggar Milton Pakpahan di Cilangkap, Jakarta Timur, akhir Oktober lalu. Datang bersama bosnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi itu meresmikan beroperasinya stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) pertama Vivo.
Ego terakhir kali berjumpa dengan Milton pada 2014 ketika politikus Partai Demokrat itu masih menjadi anggota Komisi Energi Dewan Perwakilan Rakyat. "Kami bekas mitra," kata Ego di kantornya, di Jakarta, Rabu pekan lalu. Sejak meladeni perizinan Vivo sepanjang September-Oktober lalu, Ego tidak menemukan nama Milton di dokumen perusahaan.
Usut punya usut, menurut Ego, seorang kerabat Milton kabarnya merupakan pemilik SPBU Vivo di Cilangkap itu. Bekas Presiden Direktur Nusantara Energy Plant Indonesia (NEPI), Junaidi Elvis, membenarkan bahwa Milton bersama dia ikut menggagas bisnis Vivo di Indonesia. Tapi keduanya mengatakan sudah tak terlibat. "Saya sudah tidak ikut campur," ujar Milton. Ia membantah ada kerabatnya di Vivo Energy SPBU Indonesia.
Kehadiran SPBU Vivo menjadi pembicaraan hangat. SPBU anyar ini berani menjual bensin dengan kadar research octane number (RON) 89 seharga Rp 6.100 per liter. Harga itu lebih murah ketimbang Premium, bensin keluaran PT Pertamina (Persero) beroktan lebih rendah (RON 88), yang dilego Rp 6.450 per liter. Vivo kian menimbulkan sawala karena Menteri ESDM Ignasius Jonan yang menggunting pita peresmian.
Corporate Communication PT Vivo Energy Indonesia Maldi Al Jufrie tidak menyangka peluncuran SPBU baru itu malah merepotkannya. Ia harus meladeni banyak pertanyaan seputar pemilik asli Vivo. "Ada yang mengaitkan Vivo dengan Prabowo Subianto," kata Maldi di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis pekan lalu. "Padahal kami tidak ada hubungannya."
Dugaan pertalian itu dipicu laporan International Consortium of Investigative Journalist (ICIJ) pada Senin pekan lalu. ICIJ mempublikasikan Paradise Paper. Prabowo termasuk 120 politikus yang mempunyai perusahaan cangkang di negara surga pajak. Ia tercatat sebagai Direktur Nusantara Energy Resources. Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Fadli Zon mengatakan Prabowo Subianto tidak lagi memiliki kaitan dengan Nusantara Energy Resources. "Sejak didirikan, tidak pernah ada aktivitas apa pun di perusahaan," ujarnya.
Perusahaan cangkang yang berbasis di Bermuda ini namanya sama persis dengan Nusantara Energy Resources Group Singapura. Perusahaan di negeri jiran itu memiliki anak usaha bernama PT Nusantara Energy Plant Indonesia (NEPI). Perusahaan inilah yang mengantongi izin usaha niaga umum (IUNU) Vivo.
Belakangan, perusahaan yang berbasis di Singapura ini diakuisisi Vitol Asia Pte Ltd, anak usaha Vitol Group yang berpusat di Jenewa, Swiss. Vitol tak lain pedagang minyak terbesar dunia dengan volume perdagangan 7 juta barel per hari. Vitol juga tercatat sebagai salah satu pemasok minyak Pertamina.
RENCANA Vivo mengedarkan bahan bakar minyak mencuat sejak awal tahun ini. Presiden Direktur NEPI saat itu, Junaedi Elvis, menyebutkan perusahaannya akan menjual BBM ke masyarakat mulai 2017. Mengusung nama SPBU Nusantara, NEPI berencana menjual BBM beroktan 92 dan 95.
Rencana itu berubah. Maldi Al Jufrie membenarkan bahwa Elvis yang memiliki ide mengusung nama SPBU Nusantara. Tapi Vitol- yang telah mengakuisisi NER Group- menginginkan nama Vivo sebagai merek bensin yang dijual di Indonesia. Vivo Energy tak lain merek Vitol yang menjadi ujung tombak usaha hilir mereka di 16 negara Afrika. Di Turki, Vitol mengusung merek Petrol Ofisi, dengan menguasai 23 persen pangsa pasar BBM negeri itu. Perusahaan ini terus berekspansi di bisnis hilir minyak dan gas dunia.
NEPI mengantongi izin usaha niaga umum (IUNU) sejak Januari tahun ini. Berdasarkan data Kementerian ESDM, ada 155 perusahaan yang mengantongi IUNU. Tapi hanya sedikit yang masuk ke bisnis retail SPBU. Mereka antara lain PT Pertamina (Persero), PT Shell Indonesia, PT Total Oil Indonesia, dan belakangan Vivo. Banyak perusahaan- di antaranya PT AKR Corporindo dan PT Pertamina Patra Niaga- memilih menjual bensin untuk pelaku industri.
Salah satu faktor banyaknya pedagang BBM industri adalah investasi di sektor ini relatif kecil. Pelaku usaha cukup mencari tangki penampungan BBM dan menyiapkan jaringan distribusi. Artinya, tidak perlu menyiapkan infrastruktur SPBU. "Bisa menjual empat kiloliter BBM per hari saja sudah senang mereka," kata Ego Syahrial. Sebanyak 75 persen pasar BBM industri masih dikuasai Pertamina.
Sambil menunggu kesiapan bisnis SPBU, Vivo mulai menjual bahan bakar minyak ke industri sejak Mei lalu. Hasil penjualan itu relatif bagus. Menurut Maldi, dari 250 ribu kubik meter kapasitas tangki penyimpanan BBM PT Jakarta Tank Terminal- tangki penyimpanan yang juga digunakan Total dan Shell- 60 persen digunakan Vitol. Selain menjual sendiri, Vivo telah menunjuk PT Macan Mengaum Indonesia sebagai penyalur. "Macan berencana mendirikan SPBU juga," kata Maldi. Vivo pun berencana segera membangun tangki dan kilang sendiri.
Keluarnya IUNU untuk NEPI tidak lepas dari peran tiga sekawan: Junaedi Elvis, Sumanggar Milton Pakpahan, dan Priyadi. Ketiganya berkawan sejak di Pertamina pada 1990-an. Milton lima tahun bekerja di kilang Pertamina Balikpapan, Kalimantan Timur. Sedangkan Elvis kini tercatat sebagai politikus Golkar. Ia sempat mengenyam satu pendidikan dengan Milton sebagai calon pegawai Pertamina. Ia memilih berkarier di Halliburton Energy Services Inc, yang juga bergerak di sektor minyak dan gas.
Elvis dan Milton mengakui perannya menggagas bisnis SPBU Vivo di Indonesia. "Tapi saya sudah keluar sejak awal tahun ini," ucap Elvis di Pacific Place, Jakarta, Selasa pekan lalu. Adapun Milton menyebutkan, bisnis Nusantara Energy sudah diambil alih semua oleh Vivo. Keduanya pernah memiliki saham Nusantara Energi Plant Indonesia dan Nusantara Power Plant Indonesia, dua lini usaha NER Group. Saham mereka kini terdelusi oleh Vitol.
Akuisisi saham NEPI oleh Vitol itulah yang sempat menunda beroperasinya SPBU Vivo. Pada pertengahan September, Vivo sebetulnya sudah sempat melakukan uji coba operasi SPBU di Cilangkap tersebut. Tapi Kementerian ESDM menyetopnya. Penyebabnya, Vivo belum menunjuk badan usaha penyalur bensin. Saat itu, nama Vivo terpampang di SPBU meski yang mengantongi izin adalah NEPI. Hal ini menjadi perkara karena nama badan usaha yang dipampang harus sesuai dengan nama badan usaha pemegang izin.
Setelah 95 persen sahamnya dikuasai Vitol Asia Pte Ltd lewat NER Group, Vitol kemudian mengganti nama NEPI menjadi PT Vivo Energy Indonesia. Setelah disahkan Kementerian ESDM, mereka mengajukan PT Vivo Energy Indonesia sebagai penyalur bahan bakar minyak Vivo, affiliated company dari Vivo Energy Indonesia. Berdasarkan catatan Kementerian ESDM, PT Vivo Energy SPBU Indonesia itulah yang menjadi operator SPBU di Cilangkap. Menurut Ego Syahrial, SPBU Cilangkap dijalankan dengan skema dealer owner, dealer operated (DODO).
Agar bisnisnya lancar, Vivo Energy Indonesia selanjutnya menggandeng dua perusahaan lokal. Mereka adalah PT Artaria Graha Jaya dan PT Ganesha Binakarya. Artaria bertugas menggarap infrastruktur SPBU Vivo. Ganesha mengelola sumber daya manusia SPBU lewat skema outsourcing.
KEHADIRAN Vivo menjadi kabar baik buat Kementerian ESDM. Menurut Ego Syahrial, Vivo menambah daftar badan usaha swasta yang bisa menawarkan pilihan produk buat masyarakat. Ego menyebutkan, selain Vivo, ExxonMobil berencana membuka bisnis SPBU.
Selain memberikan banyak pilihan buat masyarakat, Ego berharap Vivo bisa menjadi salah satu solusi program BBM satu harga. Sampai akhir tahun ini, baru 27 titik yang tersentuh program BBM satu harga. Pada 2019, ada 159 titik yang harus diisi. "Kalau dipikul Pertamina sendiri, berat sekali," ucap Ego.
Saat memberikan izin Vivo menjual BBM RON 89, Ego mengajukan syarat perusahaan itu harus mau membantu pemerintah pada program BBM satu harga. Vivo setuju. Mereka akan membangun satu unit SPBU di Pulau Seram, Maluku, pada tahun ini. "Vivo sudah membuat surat pernyataan kesanggupan," kata Ego. "Bangun dulu di Seram, setelah itu bisa bangun lagi di mana-mana."
Setelah Vivo membangun di Seram, pemerintah akan memaksa pedagang BBM swasta lain- seperti Shell dan Total- melakukan hal serupa. "Masak, Vivo yang baru bangun satu SPBU bisa, sedangkan Shell dan Total tidak sanggup?" Menurut Ego, kewajiban membangun SPBU di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar itu merupakan wujud keadilan buat Pertamina.
Saat ini Vivo bisa lebih efisien karena tidak harus menyediakan bahan bakar minyak di semua wilayah di negeri ini. Sebaliknya, Pertamina mesti membangun jaringan distribusi. Itu sebabnya, biaya distribusi Pertamina dikompensasi ke harga jual bensin. "Kalau cuma jual di Jakarta, pasarnya besar dan distribusinya gampang," kata juru bicara Pertamina, Adiatma Sarjito, akhir Oktober lalu.
Khairul Anam
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo