Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Teror Penyidik Perkara 07

Penyidik KPK yang menangani kasus suap Basuki Hariman menerima sejumlah ancaman dan teror. Dari pencurian barang pribadi sampai ancaman tabrak lari. Menyimpan bukti aliran dana ke sejumlah kalangan.

12 November 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Teror Penyidik Perkara 07

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH delapan bulan Surya Tarmiani melaporkan kasus pencurian tas miliknya ke Kepolisian Sektor Metro Setiabudi, Jakarta Selatan. Sampai pekan lalu, polisi masih berkutat di pemeriksaan saksi dan pelapor. Belum ada titik terang mengarah ke pelaku pencurian. "Masih kami selidiki," ujar Kepala Unit Reserse Kriminal Polsek Metro Setiabudi Komisaris Tri Suryawan, Rabu pekan lalu.

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi itu melaporkan kasus pencurian tasnya pada 5 April lalu. Dari salinan laporan polisi bernomor LP/131/K/IV/2017 yang diperoleh Tempo, Surya menyebutkan beberapa barang penting di dalam tas yang dicuri itu. Salah satunya komputer jinjing merek HP. Ada juga dompet yang berisi kartu identitas, paspor, kartu pengenalnya sebagai penyidik komisi antikorupsi, dan uang tunai sebesar Rp 1,5 juta.

Peristiwa pencurian itu terjadi pada malam hari sebelum laporan polisi tersebut dibuat. Lokasi kejadian tak jauh dari rumah kos Surya di Jalan Setiabudi Timur, Jakarta Selatan. Menumpang taksi dari Bandar Udara Soekarno-Hatta seorang diri, malam itu Surya baru pulang dinas dari Yogyakarta.

Kepada koleganya di KPK, Surya mengatakan terbang ke Yogya selama dua hari dalam rangka meminta keterangan ahli untuk penyidikan kasus dugaan suap pengaturan putusan uji materi Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan. Kasus ini melibatkan pengusaha daging sapi Basuki Hariman dan hakim konstitusi Patrialis Akbar.

Ahli yang diperiksa Surya di Yogya itu tak lain pengajar linguistik Universitas Negeri Yogyakarta, Pangesti Wiedarti. Perempuan 37 tahun itu meminta keterangan Pangesti bersama satu teman penyidiknya di KPK. Dihubungi Tempo pada Kamis pekan lalu, Pangesti membenarkan pernah dimintai keterangan oleh dua penyidik KPK. "Iya, benar saya diperiksa. Terus mau apa?" katanya.

Ketika pulang dari Yogya, dua penyidik KPK ini berpisah di Bandara Soekarno-Hatta. Surya langsung menuju rumah kosnya menggunakan taksi. Menurut salinan laporan polisi, waktu menunjukkan pukul 23.30 saat Surya tiba di persimpangan akses masuk ke tempat kosnya. Taksi yang mengantarnya harus berhenti di pertigaan jalan masuk menuju tempat kos yang sudah ditutup portal besi karena telah melewati pukul 23.00.

Seorang saksi mata mengatakan, setelah taksi berhenti, sang sopir tampak keluar dari mobilnya. Ia berjalan ke arah belakang menuju bagasi yang sudah terbuka. Belum sempat sopir sampai ke bibir bagasi, menurut saksi ini, tiba-tiba seorang pria memakai jaket warna gelap berjalan cepat mendekat ke bagasi. Dengan cepat pria itu langsung mengambil tas gendong di dalam bagasi taksi dan buru-buru melarikan diri. Melihat aksi pencurian itu, sopir taksi ini berteriak. "Ada yang mengambil tas penumpang saya," ucap sopir taksi seperti ditirukan saksi mata ini.

Teriakan sopir itu didengar sejumlah orang yang berada tak jauh dari lokasi kejadian pada malam tersebut. Termasuk para pengunjung Kafe Eunoia, yang berjarak 100 meter dari mulut Jalan Setiabudi Timur. Menurut salah satu dari mereka, setelah mendengar teriakan sopir itu, warga sekitar dan pengunjung kafe berusaha mengejar pencuri ransel yang berlari cepat ke arah barat menuju Jalan Setiabudi Selatan.

Rupanya, di persimpangan Jalan Setiabudi Selatan tak jauh dari tempat pembuangan sampah, pria itu sudah ditunggu lima temannya di atas tiga sepeda motor bebek. Pria pencuri tas itu langsung naik ke motor yang kosong. Segera setelah itu mereka kabur ke arah Jalan Setiabudi Raya Utara. "Mereka kemudian menghilang," kata saksi mata ini.

Menurut salinan laporan Surya ke polisi, taksi yang ditumpanginya ketika itu adalah taksi Blue Bird dengan nomor pintu GDD 3341. Dari penelusuran Tempo, taksi ini berkandang di salah satu pul di Kota Depok, Jawa Barat. Dari sejumlah sopir taksi di sana diperoleh informasi bahwa pemegang taksi yang ditumpangi Surya itu bernama Asep Saefuddin. Dari kolega Asep sesama sopir taksi, Tempo kemudian memperoleh nomor telepon seluler dan alamat rumah Asep di Depok.

Ketika dihubungi lewat nomor telepon selulernya, Asep membantah mengetahui peristiwa tersebut. Ia baru terbuka setelah didatangi ke rumahnya. Kepada Tempo, Asep membenarkan sebagai sopir taksi yang menyaksikan aksi pencurian tas milik Surya, penumpangnya. Tapi ia menolak menjelaskan lebih lanjut peristiwa itu. "Sudah saya ceritakan semua ke polisi," ujarnya.

Seorang anggota Forum Komunikasi Anak Betawi (Forkabi) setempat, Yanto, yang malam itu berada di lokasi kejadian, mengaku sempat dimintai keterangan oleh polisi. "Tapi saya tidak melihat peristiwa pencurian itu," katanya.

Selain diusut polisi, peristiwa pencurian ini diusut Pengawas Internal KPK. Di samping meminta keterangan saksi dan pelapor, petugas Pengawas Internal sudah memeriksa rekaman kamera pengintai (CCTV) di sekitar tempat kejadian perkara.

Juru bicara KPK, Febri Diansyah, mengatakan perkara hilangnya tas berikut laptop ini memang sudah dibahas di lingkup internal Komisi. "Dalam keadaan adanya kehilangan perlengkapan kerja tentu diklarifikasi secara internal," ujar Febri, Jumat pekan lalu.

l l l

KASUS pencurian tas Surya Tarmiani menjadi perbincangan hangat di kalangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi. Sumber perbincangannya lebih menjurus pada keberadaan laptop di tas yang dicuri tersebut.

Menurut seorang penegak hukum di KPK, isi laptop itu menyimpan bukti penting kasus Basuki Hariman. Bersama sebelas penyidik KPK yang lain, Surya memegang penyidikan perkara yang diawali dengan operasi tangkap tangan Patrialis Akbar dan Basuki beserta sejumlah pelaku lain. Ada tiga tim yang menangani perkara dengan surat perintah penyidikan bernomor 07/2017 itu.

Ketika menggeledah salah satu kantor Basuki di Sunter, Jakarta Utara, pada Januari lalu, penyidik menemukan dua buku bank bersampul merah dan hitam milik salah satu perusahaan Basuki, PT Impexindo Pratama. Menurut sumber itu, buku tersebut memuat catatan nama-nama yang disinyalir menerima uang dari perusahaan Basuki. Transaksi aliran dana itu dicatat rapi oleh Kumala Dewi, salah satu anggota staf keuangan perusahaan Basuki.

Tempo melihat catatan itu dan menemukan nama-nama panggilan pejabat terkenal, kode nama, dan banyak instansi negara. Catatan itu berupa uang masuk dan keluar dalam mata uang rupiah, dolar Amerika Serikat, dan dolar Singapura. Dalam empat lembar pertama saja, jumlah kolom "kredit" memuat setidaknya Rp 38 miliar pengeluaran sejak Desember 2015 hingga Oktober 2016. Nilai nominal per transaksi bervariasi, dari puluhan juta rupiah hingga yang terbesar Rp 3,7 miliar untuk setoran kepada satu nama.

Di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 3 Juli lalu, Kumala mengakui dialah yang membuat buku catatan itu atas perintah Basuki dan atasannya, Ng Fenny, yang menjabat general manager. "Saya mengerjakan sesuai dengan yang diperintahkan saja. Ada di buku bank," kata Kumala.

Dalam dokumen pengadilan terhadap Patrialis Akbar, penyidik mencoba mengorek penjelasan tentang buku itu kepada Ng Fenny. Ia mengakui perusahaannya memiliki buku bank berwarna merah dan hitam berisi catatan transaksi keuangan. Banyak nama dan transaksi lain yang juga ditanyakan kepada Fenny sesuai dengan dokumen pengadilan itu.

Nama-nama itu di antaranya disebutkan berada di Markas Besar Kepolisian RI, Kementerian Pertanian, Bea-Cukai, serta beberapa lembaga pemerintah lain. Menurut sejumlah pengusaha yang dekat dengan Basuki, uang tersebut disebar ke banyak lembaga dan instansi untuk memuluskan daging impornya masuk ke pasar dalam negeri.

Wakil Ketua KPK Saut Situmorang tak menampik kabar bahwa catatan keuangan itu berisi sejumlah informasi tentang aliran dana ke pejabat dan instansi lain. Menurut dia, Komisi harus berhati-hati mengembangkan perkara ini lantaran nama-nama yang disebut dalam buku bank itu belum tentu menerima fulus. "Itu disebut saja. Kalau enggak bisa dibuktikan, ya, enggak bisa," ucap Saut.

Frans Hendra Winarta, pengacara Ng Fenny dan Basuki Hariman, tidak bersedia mengomentari lagi catatan dalam buku bank tersebut. "Tanya saja langsung," ujarnya. Basuki, yang mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten, juga tak bersedia menjelaskannya. "Sudahlah, saya ingin hidup tenang. Saya terima vonis ini," kata terpidana tujuh tahun kasus suap kepada Patrialis Akbar ini.

Karena pentingnya bukti ini, menurut seorang pegawai KPK, Surya Tarmiani memindai setiap lembar halaman dua buku tersebut. Ia kemudian menyimpannya di laptop. Buku aslinya kemudian disimpan oleh anggota tim kasus Basuki yang lain. Setelah menyalin isi buku itu ke dalam laptopnya, menurut sumber ini, Surya mulai menghadapi teror. "Termasuk teror akan ditabrak lari di Yogya," ujarnya.

Tak lama setelah itu, laptop Surya yang berisi bukti penting aliran dana Basuki tersebut dicuri. Saat dihubungi lewat nomor telepon selulernya, Surya tak mau berkomentar tentang upayanya mengamankan barang bukti Basuki dan peristiwa kehilangan laptop tersebut. "Tanya saja ke pimpinan atau humas," katanya.

Setelah laptop Surya dicuri, beberapa penyidik kasus Basuki Hariman mencoba mengamankan dua buku asli itu. Tapi upaya itu terlambat. Tiga hari setelah kasus pencurian itu, dua penyidik kasus Basuki yang lain, Harun dan Roland Ronaldy, diduga menghapus barang bukti catatan pengeluaran yang ditengarai buat para pejabat polisi yang tercantum di dua buku tersebut. Mereka diduga menghilangkan 15 lembar catatan pengeluaran.

Selain Roland dan Harun, ada dua penyidik yang menyaksikan tindakan mereka di lantai 9 gedung KPK di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, itu. Aksi mereka ini tertuang dalam dokumen dugaan pelanggaran Roland dan Harun di Pengawas Internal KPK. Menurut dokumen ini, mereka diduga menghapus catatan itu dengan cara memberikan Tipp-Ex pada nama-nama penerima uang, lalu merobeknya hingga terpisah dari buku bank tersebut.

Selain itu, menurut dokumen ini, catatan keuangan yang diambil dari buku bank merah atas nama Serang Noor I.R. dengan nomor rekening 4281755*** di Bank BCA cabang Sunter Mall. Serang tak lain anak buah Basuki Hariman yang pernah diperiksa KPK untuk bersaksi atas tuduhan terhadap bosnya.

Ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan Direktorat Pengawas Internal KPK sudah memeriksa dua penyidik polisi itu. Menurut dia, KPK telah menyatakan Komisaris Harun dan Ajun Komisaris Besar Roland Ronaldy bersalah serta memberikan sanksi berat. "Pengembalian ke instansi awal adalah sanksi paling berat yang bisa diberikan terhadap pegawai dari kepolisian, kejaksaan, dan lembaga lain," ujarnya.

Adapun Harun dan Roland tak terlacak keberadaannya. Juru bicara Mabes Polri, Brigadir Jenderal Rikwanto, yang diminta meneruskan surat konfirmasi untuk keduanya, ketika ditanyai ulang mengatakan masih mengeceknya.

Belakangan, diketahui keduanya justru mendapat promosi di Kepolisian. Harun masih mengikuti Sekolah Staf dan Pimpinan Menengah di Lembang, Bandung. Namanya ada di urutan ke-110 dari 250 polisi yang mendapat promosi seperti termuat dalam telegram Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian pada 27 Oktober lalu. "Roland sudah mengikuti pendidikan tahun sebelumnya, sekarang sedang menunggu penempatan," kata Rikwanto.

Syailendra Persada, Anton Aprianto, Irsyan Hasyim (depok)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus