Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Benturan dan Bubaran Konstituante

Kita pernah mengalami babak debat parlementer yang terbuka. Seandainya tradisi ini tak dibunuh, mungkin kita tidak harus mengalami benturan-benturan berdarah di tingkat massa.

3 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANGUNAN megah di kota sejuk Bandung itu dulunya bernama Sociteit deConcordia, perkumpulan "keserasian warga" (maksudnya: warga Hindia-Belanda golongan Europeanen). Di zaman republik, gedung itu menjadi tempat berkumpulnya pemimpin Asia-Afrika (1955) yang memufakati gerakan nonblok. Dari gedung itu pula wakil-wakil rakyat Indonesia di Konstituante bubaran, meninggalkan percekcokan tentang ideologi dasar negara. Sebelum dibubarkan oleh Presiden Sukarno, Konstituante sebenarnya telah menyelesaikan 90 persen agenda tugasnya. Tinggal lagi menetapkan pilihan atas dua anutan ideologi dasar: Pancasila atau Islam. Lima persyaratan telah disepakati: berkepribadian Indonesia, dijiwai semangat revolusi 17 Agustus 1945, musyawarah sebagai dasar penyelesaian segala persoalan negara, terjaminnya kebebasan beragama, serta jaminan sendi-sendi peri kemanusiaan, kebangsaan yang luas, dan keadilan sosial. Di luar soal dasar negara, para perumus konstitusi itu juga telah menelurkan puluhan rancangan yang kelak akan dijadikan pasal-pasal UUD yang baru. Di antaranya tentang wilayah nasional, hak-hak asasi manusia, hak dan kewajiban warga negara, ekonomi nasional, serta hukum dan badan peradilan. Tapi, dari semuanya itu, yang masih sering diingat adalah benturan yang panas tentang ideologi. Benturan tajam dan kemuskilan kompromi membuat Presiden dan pemerintah kehabisan kesabaran. Negara sedang dilanda krisis ekonomi, Presiden dilempari granat, dan beberapa daerah bergolak. Konstituante diminta menentukan tenggat untuk menyelesaikan pekerjaannya (26 Maret 1960). Anehnya, Konstituante kemudian mau pula menari mengikuti gendang yang ditalu Sukarno yang mengajak untuk "dengan lekas, dengan lekas, dengan lekas" kembali ke UUD 1945. Agenda Konstituante yang telah dirancang sebelumnya untuk memutuskan bentuk negara dan sistem pemerintahan, mukadimah UUD, dan asas negara dikesampingkan. Kompromi yang tinggal 10 persen tak diupayakan lagi. Tujuh Kata Bagaimanapun, cara gampang yang di-tawarkan Presiden dalam pidatonya "Respublica, Sekali Lagi Respublica" di depan Konstituante itu tak meredakan benturan. Kecaman yang mencuat adalah tentang demokrasi terpimpin yang membuka peluang kediktatoran. Perdebatan kembali memanas tatkala fraksi-fraksi Islam bersedia kembali ke UUD 1945 tapi dengan amandemen. Amandemen yang dikehendaki fraksi-fraksi Islam adalah masuknya tujuh kata di pembukaan dan di pasal 29. Tujuh kata dimaksud, "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya," tercantum dalam Piagam Jakarta yang dicetuskan pada 22 Juni 1945 di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Tadinya, tujuh kata itu akan dijadikan pembukaan (preambule) UUD Indonesia. Kata-kata ini dicabut ketika Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan UUD 1945 pada 18 Agustus. Blok Pancasila yang terdiri atas fraksi-fraksi nasionalis, partai-partai agama non-Islam, sosialis, komunis, serta golongan dan perorangan nonpartai segera saja merapatkan barisan untuk menerima UUD 1945 tanpa perubahan apa pun. Musyawarah untuk mufakat tak tercapai. Dilakukanlah voting. Voting pertama (Jumat, 29 Mei 1959) adalah untuk "setuju" atau "tidak" terhadap UUD 1945 dengan amandemen yang diusulkan oleh blok Islam. Hasilnya, dari 470 anggota yang hadir, 201 setuju dan 265 tidak (empat anggota abstain). Suara pro-amandemen bukan saja jauh dari yang dipersyaratkan untuk diterima (2/3 suara dari yang hadir), tapi jelas kalah suara. Usulan amandemen pun batal. Nasib serupa dialami oleh pendukung UUD 1945 tanpa perubahan. Tiga hari untuk tiga kali pemungutan suara, hasilnya tak cukup memenuhi kuorum 2/3 suara. Sabtu, 30 Mei, hasil voting 269 setuju lawan 199 tidak setuju; Senin, 1 Juni, 264 setuju dan 204 menolak; Selasa, 2 Juni, 263 setuju dan 203 menolak. Suara yang diperlukan untuk memenangi tiga kali voting itu adalah 316, 313, dan 312. Rapat yang menentukan nasib UUD 1945 itu ditutup pada 2 Juni 1959 pukul 12.21. Itulah menit terakhir dari napas Konstituante yang telah berupaya keras selama dua tahun enam bulan dua hari untuk menyelaraskan pandangan bangsa ini tentang dasar negaranya—dan sia-sia. Pada 5 Juli 1959, Presiden selaku Penguasa Perang Tertinggi dengan kekuasaan darurat yang ada di tangannya memberlakukan UUD 1945. Konstituante dibubarkan selagi reses. "Piagam Bandung" yang sudah dipatut-patutkan pemerintah bersama Konstituante untuk mengakui "Piagam Jakarta" sebagai "menjiwai penyusunan Pembukaan UUD 1945 yang menjadi bagian daripada konstitusi proklamasi tersebut" terbang bersama angin. Sementara Terus-menerus Kenyataannya, dari 1945 sampai 1999, benturan tentang ideologi negara tak kunjung terselesaikan. Dasar yang dipakai pada Pembukaan UUD 1945 adalah konsensus di antara para pemimpin bangsa. Presiden Sukarno, yang menggiring kompromi saat itu, mengatakan UUD 1945 itu adalah kilat, revolutiegrondwet, dan bersifat sementara. UUD yang lebih lengkap dan sempurna akan dibuat oleh MPR hasil pemilihan umum. Pemilu hanya pernah sekali diadakan di zaman Sukarno. Dan Konstituante pilihan rakyat ternyata tidak berhasil menyelesaikan tugasnya karena distop di tengah jalan. Rangkaian debat di Konstituante berlangsung blakblakan dan kerap kali panas karena dibumbui kata-kata pedas yang menyerang pribadi dan apa yang kini diistilahkan sebagai SARA—suku, agama, ras, dan antargolongan. Pernah, di konstituante, Perdana Menteri Juanda menolak memberikan jawaban karena menganggap pertanyaan anggota Konstituante bersifat persoonlijk dan provokatif. Anggota Asmara Hadi dari fraksi Gerakan Pembela Pancasila (GPPS) berkata, "Dari golongan Islam sudah keluar kata-kata 'kami tak takut.' Juga dari golongan pendukung Pancasila ada keluar kata-kata 'kami tak takut.' Kalau kita terus-menerus begini saling panas, saling ejek, saling lempari dengan lumpur, ke mana kita sampai? Kita di sini bisa berdebat berpanas-panasan, kita tidak akan berkelahi, sebab kita berpikiran panjang dan sesudah berdebat kita akan bersama-sama minum kopi di restoran. Tapi bagaimana kalau rakyat di luar gedung Konstituante ini karena terseret akan kata-kata yang kita ucapkan di sini ikut memperdebatkan pula apa yang kita perdebatkan di sini? Rakyat yang kurang panjang pikirannya? Kalau mereka karena panas hati lalu mencabut golok, maka kalau ada darah yang tertumpah, kitalah yang bertanggung jawab, kitalah yang bersalah." Semua rapat pleno Konstituante memang terbuka untuk umum. Dan beberapa anggota mengusulkan agar disediakan pengeras suara di luar karena banyak pengunjung yang tidak kebagian tempat di dalam. Tapi loudspeaker tak kunjung dipasang. Meski begitu, masyarakat yang bisa mengikuti langsung perdebatan tak pernah terpancing untuk menjadi reaktif dan melancarkan demonstrasi. Tidak pula ada pengerahan massa untuk menekan (mana mungkin dalam keadaan darurat perang begitu?). Satu kali pengerahan massa yang terjadi justru bikinan pemerintah, yakni 22 April 1959, saat Sukarno berpidato di Konstituante mengajak kembali ke UUD 1945. Segerombolan orang bersorak riuh di depan gedung dan membentangkan slogan, "Jagalah jangan sampai negara dan rakyat menunggu-nunggu terlalu lama, sehingga rakyat nanti terpaksa bertindak sendiri, sebagaimana kita saksikan pada permulaan revolusi nasional kita." Khusus hari itu dipasang pengeras suara di luar. Suara massa bergemuruh menyambut retorika presidennya. Apa yang dikhawatirkan tentang kediktatoran dalam demokrasi terpimpin terjadi. Empat tahun setelah matinya Konstituante, di gedung yang sama, MPRS menetapkan Sukarno sebagai presiden seumur hidup. Pekerjaan lembaga tertinggi (sementara) negara itu cuma menetapkan semua pidato Presiden (1959 sampai April 1965) menjadi Ketetapan MPRS tentang GBHN atau ketetapan pedoman-pedoman pelaksanaan GBHN. Sejak 1959, pintu demokrasi ditutup rapat. Tak ada lagi tempat bagi tuan-tuan terhormat untuk berbicara langsung berhadapan, buka kartu, adu argumen secara blakblakan. Meski perselisihan ideologis mereka sering amat sengit, tak ada baku bacok di luar gedung. Kini, sesudah 40 tahun kemandekan, pelajaran pertama tentang kebangsaan kita adalah perang antar-suku dan agama, rangkaian pembunuhan, dan berseraknya 1,3 juta anak bangsa sebagai pengungsi. Daud Sinjal (dari Risalah-Risalah Perundingan Konstituante, Masa Baru Bandung, tanpa tahun)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus