Presiden George Bush bertopi koboi, berdiri di depan dua orang tua berjubah, beserban, berjenggot. Tangan kanan Bush mengambang di atas sarung pistol, tangan kiri me-nuding. Ia pun menghardik: "Don't cross me, Iran!" Tapi segera dia berpikir ("Tunggu dulu…! Ada dua Iran…! Yang satu kuno dan garis keras. Satu lagi reformis dan demokratis. Ini perlu pendekatan yang lebih canggih…."). Lalu, ia berteriak: "Don't double cross me, Iran!"
Karikatur di majalah The Economist (9 Februari 2001) itu agaknya tidak hanya menggambarkan pendekatan Amerika Serikat terhadap Iran, tapi juga terhadap Islam, setelah 11 September. Sikap Bush mencerminkan makin dominannya pandangan kubu "konfrontasionalis". Kubu ini tak membedakan "Islam moderat" dengan "Islam radikal atau mili-tan atau fundamentalis". Bagi kubu ini, semua muslim niscaya fundamentalis, dan dengan sendirinya tak sejalan dengan demokrasi.
Tapi ada catatan penting. Terhadap klien-klien tradisional AS seperti Arab Saudi dan sejumlah negeri Teluk Persia—negara-negara Islam—Bush tampaknya merasa tak perlu menghardik. Upaya demokratisasi di negeri-negeri itu pun tak perlu didorong-dorong. Justru eksperimen demokrasi di negara-negara itu bisa mengancam AS, yang memang punya kepentingan di kawasan itu.
Kubu konfrontasionalis, yang memilih garis keras—dan pilihan itu membulat sejak krisis sandera pasca-revolusi Iran di akhir 1970-an—seperti mendapatkan pembenaran dengan peristiwa 11 September, yang meruntuhkan dua menara WTC New York itu. Bila kemudian kubu konfrontasionalis mendominasai kebijakan Gedung Putih, itu karena banyak elite perumus kebijakan di Departemen Luar Negeri, selain di Pentagon, Dewan Keamanan Nasional (NSC), dan tentu saja di Kongres, yang menganut garis mereka.
Sebelum peristiwa 11 September, kubu konfrontasionalis hanya berhasil mempengaruhi kebijakan AS terhadap negara per negara. Sesudah New York diguncang teror, pengaruh itu mengkristal: Washington memandang Islam sebagai satu blok monolit (tapi tetap dengan catatan tersebut). Ini segera mengingatkan kita pada hipotesis Samuel Huntington yang masyhur—karena banyak didukung dan sekaligus banyak diragukan—yang disebut sebagai clash of civilizations. Sebenarnya, istilah itu sudah lebih dulu digunakan oleh orientalis ternama, Bernard Lewis.
Menurut teori yang dirilis Huntington di tahun 1993 itu, konflik-konflik internasional pasca-Perang Dingin bukan lagi mengikuti garis ideologi, melainkan lebih luas: berdasarkan identitas peradaban. Setelah gemuruh hancurnya dua menara di New York itu, para pendukung teori ini seolah mendapat pembenaran yang makin meyakinkan: memang benturan peradabanlah yang sedang terjadi.
Apalagi kelompok-kelompok Islam pun, dengan cara mereka sendiri, secara implisit membenarkan hal ini. Orang dengan mudah menunjukkan bukti melalui retorika-retorika Usamah bin Ladin, yang tak henti menuding "mereka" (Amerika-Barat) karena telah "membunuh anak-anak kita" (muslim) dan "mencemari wilayah kita" (kehadiran militer AS di negeri tempat suci Islam, Arab Saudi).
Mengapa Belum Ditangkap?
Apa boleh buat, "benturan peradaban" itu meluap ke Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia. Dinas imigrasi memperketat, kalaupun bukan menutup pintu, kedatangan warga Timur Tengah. Sebaliknya, arus warga Indonesia ke Amerika pun merosot.
Lalu, rekening organisasi-organisasi Islam tertentu diawasi, dicurigai menampung kucuran dana dari Al-Qaidah atau kelompok sejenis. Badan Intelijen Negara pun melempar isu, ditemukan lokasi latihan terorisme internasional di Sulawesi Tengah—meski kemudian sumber yang sama membantahnya. Bom meledak di banyak tempat. Banyak kasus peledakan itu yang tetap tinggal tak terungkapkan, dan dari sedikit yang terungkapkan sebenarnya belum satu pun yang terbukti pelakunya terkait dengan jaringan internasional. Kemudian, seorang kiai tua diboyong dari Solo ke Jakarta untuk menjelaskan adakah kaitan dirinya dengan jaringan internasional, terutama setelah pemuda asal Madiun—bekas santrinya—ditangkap di Filipina.
Semua itu diawali oleh demonstrasi se-ribuan orang di depan Kedutaan AS di Jakarta, juga sweeping terhadap warga Amerika oleh beberapa kelompok Islam, begitu AS menggempur Afganistan. Aksi-aksi atas nama Islam itu disiarkan intensif oleh media internasional sehingga begitu menggentarkan turis dan ekspatriat asal Amerika (bahkan Barat umumnya).
Fakta bahwa ancaman sweeping itu dikecam sangat keras oleh Ketua PP Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif, rupanya tak cukup membuat orang Amerika mengoreksi pandangan mereka tentang Islam. Bagi mereka, Islam adalah "bahaya hijau" (green peril) atau "ancaman global baru" (a new global threat) atau "musuh berikutnya" (the next enemy, setelah komunisme)—istilah-istilah yang menggema makin keras dalam sepuluhan tahun terakhir.
Dan apa kata politisi dan pers Amerika? Setelah semua aksi itu, para politisi dan pers Amerika heran mengapa belum juga ada yang ditangkap sehubungan dengan koneksi teroris internasional. Bekas Dubes AS, Robert Gelbard, bahkan menerobos batas tata krama diplomasi. Ia mendatangi sendiri Kantor Kepolisian Daerah Jakarta. Ketika para wartawan Amerika tiba-tiba mem-banjiri Jakarta, yang pertama-tama mereka tanyakan kepada para pengamat Indonesia adalah: mengapa belum juga ada orang yang ditangkap? Padahal, di Filipina, Singapura, dan Malaysia penangkapan segera dilakukan. "Keheranan" serupa juga diungkapkan oleh mantan orang kuat Singapura, Lee Kuan Yew: tokoh teroris masih berkeliaran bebas di Indonesia.
Beberapa media Amerika menjuluki Indonesia sebagai "mata rantai terlemah dalam perang melawan teroris". Media-media itu tersirat menyarankan agar pemerintah Indonesia melakukan "tangkap dulu, urusan belakangan"—sebagai-mana terjadi pada ribuan orang yang ditangkapi FBI, yang hingga kini terus bertambah, di sejumlah kota di Amerika.
Teori vs Fakta
Sebenarnya, di dalam bukunya, Huntington tidak membuat pengelompokan. Namun, di lapangan, stigma "Islam fundamentalis" atau "Islam radikal atau militan" itu ada dan menguat. Bahkan Majelis Ulama Indonesia kemudian meminta agar istilah-istilah ini tak lagi digunakan. Hal itu hanya akan makin merenggangkan hubungan di kalangan internal Islam—dan tentu juga menimbulkan kesan tertentu bagi pihak nonmuslim.
Itu sebabnya, Adian Husaini, Sekretaris Jenderal Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), meyakini bahwa "benturan peradaban" lebih daripada sekadar wacana ilmiah. "Benturan" itu memang diwujudkan konkret di lapangan. Bagi dia, bertolak dari paradigma inilah Amerika mengambil keputusan-keputusannya di kancah politik internasional, terutama berupa pemojokan dan serbuan terhadap negeri-negeri muslim tertentu.
Adian bicara dalam diskusi bulanan Yayasan Aksara, akhir Januari lalu, bersama Nurcholish Madjid, Ahmad Syafi'i Ma'arif, Ulil Abshar-Abdalla (Jaringan Islam Liberal), dan Ja'far Umar Thalib (Panglima Laskar Jihad, Jamaah Ahlussunnah). Ia berpendapat, teroris sesungguhnya di muka bumi ini tak lain dan tak bukan adalah Amerika Serikat. Ia menyebutkan sejumlah tindakan Amerika yang menggencar, terutama pasca-peristiwa 11 September, melengkapi standar gandanya yang sudah terlalu sering dikeluhkan orang, misalnya dalam konflik Israel-Palestina.
Sebenarnya, sejak disiarkan, teori "benturan peradaban" Huntington mengundang banyak penyanggah (lihat kolom 'Abang Sam' atau AS itu). Ia bertahan. Dalam tulisan lain, juga di jurnal Foreign Affairs, Huntington menantang: "Kalau yang terjadi bukan benturan peradaban, lalu apa? Sedangkan konflik berdasar ideologi sudah berlalu seiring ambruknya komunisme."
Untuk menghindarkan "benturan" itu, Huntington menyarankan supaya AS tidak memaksakan konsep idealnya kepada masyarakat dan negara-negara yang berbudaya lain. Inilah yang dicatat Ulil Abshar-Abdalla, yang melihat keraguan Huntington tentang kemungkinan peradaban Barat menjadi milik seluruh umat manusia. Keraguan ini membantah kecenderungan yang ilusif di Barat bahwa, setelah komunisme hancur, peradaban merekalah yang bisa diuniversalkan.
Keraguan Huntington dilandasi fakta. Bahkan di dunia Barat pun ada sejumlah kantong budaya yang tak seluruhnya bisa ditaklukkan oleh Barat. Orang-orang di belahan bumi lain bisa jadi dengan ringan menenggak Coca-Cola, tapi belum tentu mudah menerima konsepsi tentang hak asasi manusia, pers bebas, kebebasan individu, kesetaraan gender, dan pentingnya demokrasi.
Di mata Ulil, bahkan di pihak Islam pun menggantung pertanyaan besar: mungkinkah Islam bisa "dimodernkan"? Bagi sejumlah cendekiawan Barat (Amerika), terutama yang berdiri di barisan konfrontasionalis itu, jawabannya jelas: tidak.
Percekcokan Keluarga
Dalam pandangan Nurcholish Madjid, kubu yang sepakat dengan teori Huntington adalah orang-orang yang tak memahami Islam. Buku Huntington mengingatkan Nurcholish pada prasangka klasik Barat terhadap Islam.
Merunut sejarah Kristen dan Islam, sikap-sikap ambivalen dan simpati Quran kepada umat Nabi Isa membuat Nurcholish men-duga bahwa yang sebenarnya terjadi adalah sebuah "percekcokan keluarga". Sebagai sesama penganut agama wahyu, kedua umat diserukan untuk bertemu pada platform yang sama. "Jadi, ironis sekaligus impossible terjadi clash of civilizations," ujar Nurcholish. "Apalagi, faktanya, umat Islam di belahan bumi bagian barat paling banyak berkumpul di Amerika. Mereka ini kalangan menengah terpelajar, yang pada pemilihan umum mayoritas suaranya diberikan kepada Presiden Bush."
Barat, menurut Nurcholish, sangat terkesan bahwa umat Islam datang dari beragam ras—Mongoloid, Kaukasoid, Negroid, dan sebagainya. Sedangkan penganut Kristen dan Yahudi cenderung homogen dari segi ras. Perbedaan asal-usul para pemeluk Islam pada saat yang sama membawa pula budaya dan pengalaman lokal yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain. "Kenyataan ini sering tidak diperhatikan oleh kalangan Islam sendiri," ia menambahkan.
Indonesia di tahun 1950-an menyaksikan era keemasan partai Islam yang sangat maju: Masyumi. Banyak di antara tokoh-tokoh partai ini memiliki metode pemikiran yang sudah sangat maju: seperti Muhammad Natsir, yang terkenal dengan orientasi etis dan moral, Mohammad Roem dengan orientasi hukum, Syafruddin Prawiranegara dengan orientasi free market economy, justice, dan swasta Islam, Yusuf Wibisono dengan orientasi pembelaan buru, Kasman Singodimedjo dengan ketegasan beroposisi, dan Sukiman dengan keahliannya membangun konsensus. Para tokoh ini, menurut Nurcholish, yakin pada Islam sekaligus pada metodologi pemikiran modern. Sayangnya, Masyumi kemudian tak mampu mengelak dari perpecahan internal.
Tanpa jelas menerima atau menolak teori Huntington, Ja'far Umar Thalib menekankan pentingnya didahulukan dialog dengan umat nonmuslim sebagaimana diajarkan oleh Al-Quran. Bagi dia, perintah ini—disertai tata cara dan pelbagai prasyaratnya—digariskan dengan jelas dalam Kitab Suci.
Rapuh di Dalam
Syafi'i Ma'arif, Ketua PP Muhammadiyah, sejak dulu mengeluhkan bahwa "umat Islam telah seribu tahun berhenti berpikir". Ia risau melihat "kerapuhan Islam dari dalam" itu. "Tak ada artinya selalu merasa dizalimi oleh pihak Barat dan luar Islam tanpa mampu memperbaiki diri dari dalam," katanya.
Ulil seolah menggarisbawahi keluhan Syafi'i itu ketika merujuk pada perkembangan-perkembangan mutakhir di Tanah Air, yaitu kecenderungan sebagian umat Islam yang setiap menghadapi situasi yang kacau tergoda menutup diri dan menganggap penyelesaian bakal datang dari agama. "Mereka menutup jalan dialog, jalur pertukaran pendapat, dan kehilangan keberanian untuk mengonfrontasikan kebenaran," katanya. "Dalam keadaan begini, jangankan berdialog dengan peradaban lain, dialog internal Islam pun tak bisa berjalan. Yang kemudian muncul adalah retorika-retorika yang mencurigai orang-orang yang tak sepaham sebagai ancaman."
Dengan kata lain, internal Islam meng-alami "clash of minds" yang harus segera diatasi. Umat Islam, Ulil menyarankan, harus berhenti dari kebiasaan berlindung di balik yang disebut politics of denial—pernyataan bahwa umat Islam selalu baik, dan jika ada kesalahan dan keburukan itu semata perbuatan oknum. "Paradigma semacam ini tidak akan menyelesaikan masalah," tuturnya. "Umat Islam harus berani mengonfrontasikan kebenaran dalam dirinya sendiri."
Akhirnya terpulang kepada semua pihak—Barat, Islam, dan semua peradaban lain—apakah mereka ingin berbenturan dengan kalap, atau berdialog dengan sabar. Apa pun pilihannya, perlu diperhitungkan fakta tak terbantah, yaitu umat manusia yang tunggal ini hidup di planet yang sama, dan di era globalisasi lanjut ini perbenturan antarperadaban pastilah menimbulkan dampak yang memiliki skala, kedalaman, dan kecepatan yang teramat mencengangkan. Dan, biasanya, korban yang paling sengsara adalah pihak yang lebih lemah.
Hamid Basyaib, Ines Handayani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini