Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para anggota MPR hasil Pemilu 1999 sekarang ini mempertahankan berlakunya UUD 1945. Untuk gampangnya upaya penyempurnaan UUD itu dilakukan hanya melalui amandemen-amandemen, yang kini sudah mencakup 30 pasal. Sejumlah politisi dan aktivis Islam mendengungkan kembali tujuh kata Piagam Jakarta ("dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya") agar dimasukkan dalam amandemen UUD.
Tapi mayoritas pemimpin organisasi besar Islam, terutama Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, menolaknya. Mereka, bersama sejumlah tokoh ormas Islam yang lebih kecil selain para pemuka agama-agama lain, mengemukakan pandangannya dalam pertemuan-pertemuan dengan Panitia Ad Hoc MPR yang menangani masalah ini.
Bukan lagi masanya untuk memasukkan tujuh kata itu, kata Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif. Sedangkan Wakil Ketua DPR, A.M. Fatwa, menganggap masalah ini sudah selesai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, yang menyatakan bahwa Piagam Jakarta "menjiwai dan rangkaian kesatuan dari UUD 45".
Fatwa, yang juga Ketua Partai Amanat Nasional, dalam diskusi di Aksara, yang juga dihadiri oleh Ali Alatas, M. Dawam Rahardjo, Sadli dan Saparinah Sadli itu memegang penegasan pemerintahan Djuanda di parlemen kala itu. Yakni, dengan dekrit tersebut dapat diciptakan perundang-undangan yang mengatur perihal syariat Islam.
Lalu ia menyebut beberapa ketentuan hukum yang sebenarnya adalah "penerapan syariat Islam": UU Perkawinan, UU Pelaksanaan Haji, UU Peradilan Agama. UU Zakat pun, katanya, bisa diciptakan. "Jadi, menurut saya, yang penting sekarang ini bagaimana kita mentransformasikan syariat Islam ke dalam hukum nasional melalui perundang-undangan lewat parlemen," tuturnya. Ia menunjuk contoh UU Nanggroe Aceh Darussalam.
Sekjen KISDI Adian Husaini menerima pandangan Fatwa. "Kalau tidak bisa secara formal, ya diperjuangkan pelan-pelan melalui kelompok- kelompok budaya," ujarnya. Persoalannya, menurut Adian, bukan pada formal atau substansial, tapi lebih pada aplikasi. "Kalau formal tapi tidak diaplikasikan, untuk apa?"
Makna Syariat
Terlepas dari sulit atau mudahnya memperjuangkan hal itu, apa sebenarnya yang dimaksud syariat Islam? Nurcholish Madjid menyatakan, kata syariat disebut tiga kali dalam Al-Quran, dan semuanya bermakna agama itu sendiri, bukan dalam arti "hukum" atau "hukum Islam" sebagaimana dikesankan oleh penganjur penerapan syariat Islam.
Menurut para ahli fikih (fukaha), ada tiga sumber syariat Islam: Al-Quran, sunah Nabi, dan ijma (pandangan mayoritas ulama tentang suatu masalah, berdasarkan penafsiran atau ijtihad mereka atas kedua sumber itu). Ijtihad individual ulama juga diberi ruang, yang bisa berupa qiyas atau penyimpulan analogis atas suatu masalah berdasarkan ketentuan yang disepakati mengenai masalah serupa.
Bila ijma, bahkan ijtihad individual diakui keabsahannya, tidakkah itu menunjukkan bahwa yang disebut syariat Islam itu sangat bergantung pada penafsiran? Dan jika menyangkut penafsiran, sudah tentu bisa beragam, bergantung pada pemahaman penafsir, situasi sosio-kultural, bahkan keadaan politik yang melingkupinya, dan sebagainya.
Itu sebabnya, sangat wajar bahwa pada kenyataannya mazhab fikih pun tidak tunggal, dan di kalangan aliran Suni saja sedikitnya ada empat mazhab utama yang diakui. Adapun karya tafsir Quran tak terhitung banyaknya. Semua itu menciptakan ruang yang memungkinkan keragaman pandangan dalam Islam, dan ini memperkaya khazanah kulturalnya.
Alhasil, harapan Syafi'i Ma'arif agar para penganjur penerapan syariat Islam terlebih dulu menjabarkan makna kata itu sejelas mungkin, sebelum mereka memperjuangkannya lewat jalur-jalur parlementer dan konstitusional, mestinya ditanggapi dengan positif. Elaborasi semacam ini pasti akan sangat produktif dan bermanfaat dalam memperkaya wawasan semua orang, termasuk umat agama-agama lain.
Hamid Basyaib
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo