Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INDONESIA bukan hanya negeri muslim terbesar, tapi juga memiliki partai politik Islam terbanyak di dunia. Anehnya, sepanjang sejarah pemilihan umum kita, belum pernah partai Islam meraih mayoritas perolehan suara?secara bersama, apalagi sendiri-sendiri.
Pada awal kemerdekaan, ada partai tunggal Islam, yaitu Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Sebagai kelanjutan dari Majlis Islami A'la Indonesia (MIAI), partai ini merupakan federasi dari Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Al Irsyad, Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti), dan sejumlah ormas Islam lain.
Kerapuhan mulai menggerogoti tubuh Masyumi pada Juli 1947, ketika PSII keluar dari naungannya. PSII ingin mendapatkan portofolio dalam kabinet Amir Sjarifuddin (1947-1948)?begitulah salah satu motifnya. Lima tahun kemudian, NU menyusul dan menyatakan diri sebagai partai yang berdiri sendiri. Di luar perbedaan mazhab fikih, alasan NU melepaskan diri adalah lantaran "jatah" menteri agama dalam kabinet Wilopo (koalisi PNI-Masyumi, 1952-1953) diberikan kepada non-NU.
Menjelang Pemilu 1955, kekuatan politik Islam terbelah dalam empat partai (Masyumi, NU, PSII, dan Perti). Hasil pemilu menempatkan Masyumi dan NU pada peringkat kedua dan ketiga. PSII di urutan ke-5 dan Perti ke-10. Keempat partai ini berhasil mendudukkan para wakil mereka, tapi suara mereka?kalaupun digabung?tidak cukup untuk menguasai mayoritas di parlemen ataupun Konstituante: hanya 44 persen, sudah termasuk 0,4 persen suara dua partai kecil (Partai Persatuan Tarikah Islam dan Angkatan Kemenangan Ummat Islam).
Aliran nasionalis dan sosialis (termasuk organisasi dan perorangan nonpartai) meraih 48,6 persen. Lalu dua partai agama minoritas, Parkindo dan Partai Katolik, meraih 4,6 persen. Serpihan sisanya bertebaran ke partai-partai gurem yang tak genap dibulatkan menjadi satu kursi. Perolehan kursi partai-partai "sekuler" dan partai Islam di Konstituante tak jauh berbeda.
Pada masa penerapan UU Darurat Perang dan kembali ke UUD 1945, Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) diberangus. Keduanya dinyatakan sebagai partai terlarang (dikuatkan dengan keputusan pengadilan). Tuduhan atas mereka: terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta. Lalu semua partai yang tersisa, tanpa kecuali, manut pada konsepsi Sukarno: Nasakom (nasionalis, agama, komunis) dan Demokrasi Terpimpin.
Pada pemilu pertama masa Orde Baru, 1971, terdapat 10 partai politik yang diakui. Empat di antaranya adalah partai Islam: NU, PSII, Perti, dan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), yang dianggap sebagai reinkarnasi Masyumi?pembentukan kembali Masyumi dilarang oleh rezim Soeharto. Partai Komunis Indonesia (PKI), yang merupakan pemenang keempat pada Pemilu 1955, sudah dimatikan. Partai-partai yang bernapaskan kedaerahan lenyap.
Sementara itu, kekuatan sekuler baru dimunculkan oleh tentara, Golongan Karya?yang terus meraih kemenangan landslide pada setiap pemilu di masa kekuasaan Jenderal Soeharto. (Selepas Pemilu 1971, dilakukan "penyederhanaan kepartaian". Golkar tetap kukuh, sedangkan empat partai Islam harus berfusi dalam Partai Persatuan Pembangunan, dan sisanya dijadikan Partai Demokrasi Indonesia, yang merupakan fusi PNI, IPKI, Murba, Parkindo, Partai Katolik.)
Kepedulian Umat
Pada Pemilu 1999, yang diakui sebagai pemilu pertama yang demokratis sepanjang pemilu Orde Baru, tampil 48 kontestan?lebih dari sepertiganya, 19, adalah parpol Islam. Suara umat berserakan ke Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai Amanat Nasional, Partai Keadilan, Partai Bulan Bintang, Nahdlatul Ulama, Partai Kebangkitan Umat, selain tentu saja ke Partai Golkar dan PDI Perjuangan.
Hasil pemilu ini sangat mengesankan. Dibandingkan dengan Pemilu 1955, perolehan suara partai-partai Islam merosot hanya menjadi 38 persen. Itu pun sudah termasuk PAN, yang dilihat sebagai aspirasi politik Islam (modernis) karena ketuanya adalah tokoh penting Muhammadiyah. Partai-partai nasionalis naik, meraup 58 persen suara.
Apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada umat Islam di negeri muslim terbesar ini? Mengapa Islam sebagai asas formal dan nonformal tampak kurang kuat untuk menarik dukungan? Mengapa mayoritas muslim justru mendukung partai-partai nasionalis dan sekuler? Lebih mendasar lagi, apakah hasil Pemilu 1999 itu merupakan sinyal yang jelas bahwa mayoritas muslim sudah tak lagi menganggap penting simbol-simbol Islam dalam politik dan lebih peduli pada substansi? Jika memang demikian, ini mungkin bisa dilihat dari dua arah yang berkaitan.
Pertama, kaum muslim lebih peduli untuk menjadikan Islam sebagai etika sosial, lebih mementingkan agar segala urusan kemasyarakatan?termasuk politik?sekadar disemangati nilai-nilai agama, seperti kejujuran dan keadilan. Kenyataannya, dalam 15 tahun terakhir "Islam kultural" jelas menampakkan perkembangan yang sangat mengesankan di negeri ini.
Jadi, "ketidakpedulian" mereka pada "Islam politik" bukan karena mereka menganggap politik tidak penting, melainkan justru karena meningkatnya kesadaran keagamaan mereka pada hal-hal yang lebih penting daripada sekadar simbol. Kedua, berkaitan dengan itu, kaum muslim makin percaya bahwa kepentingan umat Islam diperjuangkan oleh para politisi dari luar lingkungan "Islam politik" atau bahkan kalangan non-muslim adalah sesuatu yang mungkin.
Pada hari-hari terakhir menjelang pemilu 7 Juni 1999, Majelis Ulama Indonesia bagai tergopoh-gopoh mengingatkan umat Islam bahwa banyak calon legislatif PDIP adalah nonmuslim. Imbauan itu disebarluaskan. Tapi hasil pemilu menyiratkan bahwa peringatan ini kurang digubris.
Fenomena kekalahan partai-partai Islam makin menarik jika kita ingat bahwa Islam oleh para penganjurnya sering dirumuskan sebagai agama yang tidak memisahkan urusan politik dari agama. Islam adalah ad din wa daulah. Hanya Islam yang para pemukanya mengajarkan doktrin ini?meski realitasnya para pemuka semua agama pun cenderung mendesakkan agenda agama mereka ke arena negara. Begitupun, setidaknya dalam kasus Indonesia, doktrin ini rupanya kurang digubris oleh mayoritas voters Pemilu 1999.
Dari Pertengkaran ke Perpecahan
Dua tahun menjelang Pemilu 2004, "prestasi" paling menonjol di kalangan partai-partai, terutama parpol Islam, adalah perpecahan. Bukannya mulai mengatur siasat untuk merayu pemilih, dua partai berbasis Islam sibuk bertengkar. Ada PKB versi Matori Abdul Djalil, ada PKB pimpinan Alwi Shihab.
PPP terbelah antara kubu Hamzah Haz dan PPP Reformasi Zaenuddin M.Z. Sebelumnya, PBB, yang mengklaim sebagai ahli waris Masyumi?meski ada partai lain yang jelas memakai nama itu, "Masyumi Baru"?dilanda kemelut. "Kelompok 17 (kemudian 16)" menentang kepemimpinan Yusril Ihza Mahendra, walau kemudian keputusan pengadilan memenangkan Yusril. PAN, yang berbasis warga Muhammadiyah, ditinggalkan oleh sekretaris jenderalnya, Faisal Basri.
Perpecahan kekuatan politik Islam bisa karena perbedaan kultur atau mazhab (walau secara politik mereka mampu bersatu di Konstituante 1956-1959 dan ketika menolak Megawati dalam Sidang Umum MPR 1999). Namun, yang lebih menonjol adalah konflik internal, perebutan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok, lemahnya pengorganisasian, dan tiadanya kepemimpinan yang berwibawa. Di masa Orde Baru, perpecahan kekuatan Islam banyak disebabkan oleh intervensi penguasa yang tak ingin melihat menunggalnya kekuatan itu.
Kini sejumlah parpol kecil Islam mulai berkonsolidasi. Para pemukanya, yang sebagian terhitung ulama, tak henti meng-umandangkan persatuan Islam?seraya membentuk partai masing-masing. Yang perlu diingat, politik lebih berurusan dengan kepentingan dan kekuasaan?dua hal yang tak termasuk dalam khazanah ajaran agama.
Laksmi, Hamid Basyaib
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo