Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG pengguna Twitter di Jakarta bercuit: ”Semboyan Jakarta bukan lagi ’Teguh Beriman’, tapi ’Berkumis: berdebar kalau gerimis’.” Hujan memang gampang membuat Jakarta lumpuh. Lihatlah pekan lalu. Hujan deras sepanjang sore hingga malam menimbulkan banjir dan genangan di mana-mana. Lalu lintas mampet. Perjalanan dari pusat kota ke kawasan permukiman di suburban bisa memakan waktu sampai enam jam.
Sesungguhnya ini bukan soal hujan dan anomali cuaca belaka. Karena itu, solusinya pun bukan hanya mengeluhkan hujan yang tak dapat ditebak, seperti kata gubernurnya yang berkumis, Fauzi Bowo. Ada segunung masalah di balik banjir dan kemacetan yang membuat jutaan orang mengumpat semalaman, dari tata kota yang semrawut hingga perilaku warganya yang awut. Pemerintah Jakarta mengatakan akan segera membenahi drainase yang dianggap sebagai biang keladi. Pembenahan itu memang mustahak. Untuk kota sebesar Jakarta, saluran pembuangan air di bawah trotoar itu terlalu kecil. Dengan lebar hanya satu setengah meter, mustahil gorong-gorong itu mampu menampung luapan air dari jalan selebar belasan, bahkan puluhan, meter.
Pelebaran jalan kerap tak diikuti pembabaran drainase. Perawatannya pun tak jelas. Akibatnya, saluran yang sudah kecil itu semakin kopet karena timbunan lumpur dan sampah. Tapi, kalaupun drainase diperbesar, mau dialirkan ke mana air drainase itu? Dua kanal besar yang menjadi pembuangan utama air Jakarta terpisah terlalu jauh. Kali-kali yang menghubungkan got di bawah trotoar dengan kanal banjir timur dan barat telah menyempit dan mendangkal oleh sedimentasi dan sampah. Bahkan beberapa di antaranya sudah berubah menjadi got sempit.
Sebetulnya luapan itu tidak akan muncul jika kita memelihara sejumlah rawa dan situ yang merupakan kantong air dalam kota. Sayangnya, sebagian besar rawa dan situ sudah diuruk dan ”ditanami” bangunan. Keadaan bertambah parah oleh makin sedikitnya ruang terbuka yang mampu menyerap air hujan. Untuk kedua hal terakhir ini, kesalahan tidak hanya di pundak pemerintah daerah, tapi juga pada peran kita yang serakah dan tak peduli. Mereka yang mengeluhkan banjir itu juga yang tinggal di perumahan mewah di atas rawa yang diuruk. Mereka yang mengumpat pada saat macet itu juga yang menutup halaman rumahnya dengan semen.
Akan halnya ”lumpuh Jakarta” pekan lalu, urusannya bukan hanya tersebab genangan air. Kemacetan luar biasa itu juga akibat akumulasi ketidakteraturan jalanan Ibu Kota. Genangan air hanya memperparah keadaan. Met of zonder hujan dan banjir, Jakarta tetap macet. Kemacetan ini juga tak kurang kompleks sebab-musababnya. Urbanisasi berlebihan, transportasi umum yang melarat, ketidakdisiplinan pengendara, dan pembangunan pusat belanja yang sporadis di pusat kota hanyalah beberapa di antara sebab-musabab itu.
Pembenahan Jakarta memang tak bisa dilakukan secara tambal sulam. Tak cukup hanya dengan membentangkan spanduk ”Nyok kite benahi Jakarte bersame-same”. Perlu penataan radikal dan berkelanjutan. Pemerintah pusat dan kota harus duduk bersama merancang perbaikan hingga sekian dasawarsa ke depan. Program ini harus dilaksanakan estafet, karena tak mungkin selesai dalam satu masa jabatan gubernur. Beban Jakarta sebagai pusat segalanya juga harus diurai dan dibagi ke kota-kota lain. Jika tidak, semboyan Jakarta mungkin akan berganti dengan ”Serbamacam: serangan banjir dan macet mengancam”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo