Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SESUDAH lebih dari 400 penduduk tewas dan sekitar 120-an orang hilang disapu tsunami di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, sepekan lalu, baru terungkap bahwa pemerintah tak belajar banyak dari petaka tsunami Aceh. Padahal bencana alam dengan korban terbesar dalam sejarah—yakni 230 ribu orang, di delapan negara—itu baru enam tahun berlalu. Dengan minimnya mitigasi atawa upaya mengurangi risiko bencana di daerah-daerah rawan bencana, termasuk Kepulauan Mentawai, pemerintah tidak terlihat sungguh-sungguh melindungi rakyat dari amukan alam yang murka.
Sejak Aceh diluluhlantakkan gelombang laut yang dahsyat itu, tak terlihat ada peningkatan pembangunan fisik ataupun penyadaran dan peningkatan kemampuan rakyat menghadapi ancaman bencana. Tak terlihat usaha memetik hikmah dari malapetaka luar biasa itu. Semua berjalan biasa-biasa saja, seakan-akan bencana tsunami tak akan pernah datang lagi, dan pemerintah (juga kita semua) seperti lupa bahwa negeri ini sangat ”kaya” potensi bencana alam.
Di Mentawai, kesadaran untuk menyelamatkan diri belum dapat dibangun pemerintah daerah ketika gempa berkekuatan 7,2 skala Richter menggoyang kepulauan itu. Jalur penyelamatan memang sudah dibuat, tapi latihan evakuasi selama ini dikabarkan tidak banyak diikuti penduduk.
Tak berfungsinya buoy, pelampung pendeteksi tsunami, di perairan Pulau Siberut, punya andil menambah kebimbangan penduduk untuk menyelamatkan diri malam itu. Pemerintah seharusnya memastikan buoy yang sudah lama dipasang itu berfungsi baik. Sangat memprihatinkan, buoy itu ternyata sudah tiga bulan tidak ”berdinas” karena sensor untuk mentransmisikan datanya rusak. Buoy tadi sampai sekarang ”mondok” di kantor Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Serpong, Tangerang Selatan, menunggu dana perbaikan.
Akibat ”mangkir”-nya buoy dari perairan Pulau Siberut cukup fatal. Gempa laut yang—menurut United States Geological Survey (USGS)—terjadi pada pukul 21.42 waktu setempat itu gagal dideteksi lebih cepat dan akurat oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika serta USGS. Badan Meteorologi mendapatkan sinyal dari buoy yang mengapung jauh dari Kepulauan Mentawai, tepatnya di perairan Pulau Enggano, Bengkulu, dan Teluk Bayur, Padang.
Tentu saja ketinggian gelombang yang ditangkap buoy di Bengkulu dan Padang—yang letaknya jauh dari Mentawai—lebih kecil dibanding yang menyapu Mentawai. Di Teluk Bayur, misalnya, gelombang dilaporkan hanya setinggi 0,3 meter. Karena dianggap ketinggian gelombang tak signifikan, Badan Meteorologi mengumumkan tak ada ancaman tsunami, sekitar satu jam setelah gempa terjadi. USGS juga menyatakan tak ada ancaman tsunami dua jam setelah gempa. Padahal 25-45 menit sebelum pengumuman Badan Meteorologi, tsunami sudah melumat belasan dusun di Mentawai—lolos dari pantauan buoy yang seharusnya mengapung di perairan Siberut.
Deteksi bencana akhirnya hanya mengandalkan alat yang sudah agak kuno, yakni seismograf milik Badan Meteorologi. Alat ini mengirim peringatan adanya bahaya tsunami di Kepulauan Mentawai, yang segera disiarkan oleh televisi. Sialnya, tak semua warga di Mentawai memiliki atau sedang menonton televisi. Di kepulauan itu juga belum dipasang sirene peringatan dini tsunami. Alhasil, penduduk tak dapat lekas menyelamatkan diri ketika ombak raksasa itu datang menerjang.
Bila buoy di Siberut berfungsi dan sirene terpasang di Mentawai, melihat urutan waktu terjadinya gempa sampai tsunami datang, penduduk sedikitnya punya waktu 20-40 menit untuk menyelamatkan diri. Maka pernyataan Kepala Pusat Pengendalian Operasional Badan Penanggulangan Bencana Daerah Provinsi Sumatera Barat Ade Edward bahwa kepulauan itu tak membutuhkan alat deteksi dan peringatan dini tsunami terasa tidak tepat. Alasan Edward bahwa pusat gempa begitu dekat, sehingga tsunami datang lebih cepat ketimbang kerja alat-alat itu, terasa seperti mencari pembenaran untuk tidak menyiapkan penyelamatan apa pun bagi warga Mentawai.
Pemerintah wajib melindungi warganya di mana pun mereka tinggal. Sistem peringatan dini yang bertumpu pada teknologi, seperti buoy, tetap diperlukan sebagai salah satu usaha mengamankan penduduk. Selain dengan alat, semestinya pengamanan dilakukan dengan menjalankan kegiatan-kegiatan lokal, misalnya membiasakan penduduk lari ke atas bukit ketika gempa keras terjadi.
Di daerah rawan bencana, pemerintah seyogianya menyusun program mitigasi yang terencana. Kita bisa meniru Jepang yang bahkan sudah membiasakan anak-anak sejak di bangku sekolah dasar bersikap menghadapi gempa. Yang tak kalah pentingnya, masyarakat perlu diajak menjaga alat pendeteksi gempa dan tsunami, karena di beberapa tempat alat-alat mahal itu ternyata dicuri atau dipereteli. Tanpa ikhtiar pemerintah dan rakyatnya, gempa dan tsunami akan selalu menelan banyak korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo