Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEMERINTAH tak perlu pusing dengan sengketa bisnis yang melilit PT Indo Multi Niaga. Cukuplah dipahami bahwa suami-istri Andreas Reza Nazaruddin dan Maya Miranda Ambarsari, yang mengelola perusahaan pemegang izin usaha pertambangan emas—dikenal sebagai Proyek Tujuh Bukit—di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur, itu ternyata cuma sekrup. Di belakang mereka ada raksasa bisnis tambang emas, Intrepid Mines Limited.
Ribut-ribut di antara mereka biarlah diselesaikan lewat pengadilan. Kelak majelis hakim akan memutuskan kebenaran tuduhan Intrepid bahwa Reza dan Maya mengabaikan perjanjian dan berselingkuh dengan investor lain. Bahwa sekarang Intrepid mengajak pengusaha-politikus Surya Paloh bergabung, atau pasangan suami-istri itu bersalaman dengan taipan Edwin Soeryadjaya, itu juga praktek bisnis yang terjadi di mana-mana.
Tentu ada hikmahnya kalau kini terjadi kevakuman dan eksplorasi Tujuh Bukit dihentikan. Pemerintah pusat bisa memastikan proyek ini bukan pepesan kosong, seperti skandal Bre-X di Sungai Busang, Kalimantan, pada 1993. Pemerintah juga punya waktu cukup untuk mengevaluasi proposal Indo Multi Niaga. Berdasarkan peraturan pemerintah yang baru tentang pertambangan mineral dan batu bara, pemain asing boleh masuk setelah mendapat izin dari pusat.
Sengketa ini membuka mata kita, selama ini banyak pemain tambang swasta nasional yang sejatinya cuma dijadikan wayang alias fronting. Ketika izin yang dulunya berupa kontrak pertambangan dikeluarkan, pengusaha domestik cuma dijadikan alat untuk menyiasati larangan bagi asing masuk ke sektor padat modal ini. Rahasia kongsi bisnis ”akal-akalan” itu mulai terungkap ketika kebijakan di sektor tambang yang baru benar-benar diterapkan.
Nilai bisnis Proyek Tujuh Bukit kabarnya menggiurkan. Intrepid, perusahaan tambang yang tercatat di bursa saham Australia, kadung menguras brankasnya lumayan gede untuk eksplorasi selama lima tahun, sekitar US$ 95 juta. Mereka berharap meraup keuntungan di kawasan tambang emas yang depositnya diperkirakan dua kali lipat cadangan emas Newmont di Nusa Tenggara Barat itu. Apalagi, setelah dibor, tiga dari rencana lima zona eksplorasi, pada 2009, memperlihatkan potensi emas senilai US$ 5 miliar.
Kebijakan baru pemerintah di sektor tambang ini akhirnya memaksa korporasi asing semakin membuka diri. Bila selama ini pemain asing ngumpet, atau sengaja disembunyikan mitra lokalnya, kini asing mulai unjuk muka. Satu buktinya adalah saling klaim pemilik sebenarnya perusahaan yang beroperasi tak jauh dari Laut Kidul itu. Intrepid buka suara dengan menyatakan, berdasarkan perjanjian yang sah, mereka punya saham 80 persen atas Indo Multi Niaga, sekaligus hak ekonomi dalam persentase yang sama di Proyek Tujuh Bukit.
Bila dirunut, kemelut ini merupakan buah kesembronoan Bupati Banyuwangi Ratna Ani Lestari, yang mudah saja memberikan konsesi pada 2007. Ia kini terdakwa kasus korupsi lahan lapangan terbang Blimbingsari. Modus obral konsesi selama ini menjadi rezeki para bupati. Sebagai penguasa di daerah, bupati memang punya kewenangan, tapi dari kuasa itulah banyak terjadi sengketa perizinan lahan, kerusakan lingkungan, dan suap serta korupsi.
Mumpung lahan seluas 11,6 ribu hektare itu belum dieksploitasi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral sebaiknya berfokus saja pada konsolidasi perizinan yang kini menjadi ranah kewenangan mereka. Proposal Indo Multi Niaga, persyaratan usaha, berikut analisis dampak lingkungan perlu segera dikaji bersama para pemangku kepentingan lainnya.
Pemerintah harus bersikap profesional dalam mengevaluasi tambang emas yang diperkirakan masuk sepuluh besar di Indonesia ini. Persetujuan eksplorasi dan produksi hendaknya berpihak pada kepentingan rakyat, terutama rakyat setempat yang masih terjerat kemiskinan. Penambangan harus dipastikan tak membawa bencana bagi lingkungan. Hutan lindung mesti tetap terjaga. Batasannya pun perlu diatur agar tak merusak Taman Nasional Meru Betiri—hanya kurang dari lima kilometer dari lokasi tambang.
Pemisahan bijih emas juga rawan polusi. Setiap hari proyek itu butuh 2,04 juta liter air, yang akan disedot dari dua sungai yang selama ini mengairi sawah di enam kecamatan di sana. Proses pemurnian emas biasanya menggunakan sianida. Bayangkan, korporasi akan membuang limbah pemurnian sebanyak 2.361 ton per hari ke Teluk Pancer. Meski limbahnya akan diolah, tak ada yang menjamin tidak ada sianida yang mengalir ke laut—yang bisa mengancam ribuan nelayan dan usaha pengalengan ikan di sana.
Walhasil, sebelum semua dampak lingkungan jelas penanggulangannya, dan sebelum dipastikan proyek ini akan membuat rakyat lebih sejahtera, izin eksploitasi itu sebaiknya tak usah diberikan.
berita terkait di halaman 97
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo