Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DILIHAT sekilas, foto itu seperti menyuguhkan adegan rekonstruksi tindak pidana penganiayaan berat. Bedanya, sang pelaku tidak mengenakan baju tahanan, tapi seragam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara—lengkap dengan tanda pangkat perwira menengah. Sang opsir tentulah keselapan, sehingga tak hirau betapa jurus cekiknya ditonton oleh beberapa anak kecil berseragam sekolah dasar. Sebagai foto jurnalistik, karya ini layak dinominasikan untuk ”Photo of the Year 2012”.
Begitulah sebagian dari kejadian memalukan menyusul jatuhnya sebuah pesawat tempur Hawk 200 milik TNI Angkatan Udara di sekitar Pandau, beberapa kilometer dari Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, pekan lalu. Entah kerasukan apa, sang perwira menengah—kemudian diketahui sebagai Letnan Kolonel Robert Simanjuntak—dan sejumlah prajurit TNI AU melakukan penganiayaan beramai-ramai terhadap paling tidak empat wartawan, seorang penduduk setempat, dan dua mahasiswa Universitas Islam Riau. Para korban mengaku dipukuli, ditendang, dipiting, dan itu tadi: dicekik. Kamera para wartawan juga dirampas.
Keterangan para pejabat TNI AU setelah beredarnya foto istimewa itu serba tak menentu. Komandan Pangkalan Udara Roesmin Nurjadin mengatakan Simanjuntak ”emosional” karena melihat wartawan sibuk memotret dan tidak berempati terhadap awak pesawat yang mungkin terjepit di kokpit. Simanjuntak rupanya tak tahu sang pilot sudah ”buang badan” dengan kursi pelontar dan jatuh di dekat rumah penduduk. Kalaupun berempati, dengan cara bagaimana? Sebab, menurut Kepala Staf TNI Angkatan Udara, pada kecelakaan pesawat tempur, publik tidak boleh mendekat.
Lalu muncul dalih berikutnya: kerahasiaan. Ini pun sulit dipahami, kecuali pesawat buatan Inggris itu jatuh secara diam-diam di suatu tempat terpencil yang tidak dihuni umat manusia. Masyarakat punya hak untuk mengetahui kecelakaan yang terjadi di wilayah publik. Dalam kasus Pekanbaru, justru para pejabat TNI AU yang ”membuka rahasia” bahwa pesawat itu membawa dua peluru kendali AIM-9 Sidewinder. Alasan ”pengamanan” juga tak masuk akal karena, bila pukul tendang dan cekik boleh digunakan demi ”pengamanan”, sulit membayangkan negeri ini akan berjalan ke arah mana.
Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono akhirnya meminta maaf atas perilaku tawur para pajurit di Pekanbaru itu. Demikian pula para petinggi TNI Angkatan Udara. Letnan Kolonel Simanjuntak bahkan memohon maaf ”dari lubuk hati terdalam”. Tapi ini bukan semata-mata urusan silaturahmi. Ada aspek hukum yang dilanggar, ada aspek moral dan etika yang dicederai. Wartawan berada di tempat kejadian karena mereka menjunjung kewajiban profesional untuk menyampaikan informasi ke publik. Kewajiban ini dilindungi undang-undang. Penduduk sipil yang dianiaya pun dilindungi undang-undang.
Tepat sudah perintah Laksamana Agus kepada Kepala Staf TNI AU untuk mengusut dan menindak para penganiaya. Komunitas jurnalis dan masyarakat sipil hendaknya ”mengawal” pengusutan dan penindakan ini secara ketat. Unjuk rasa yang digelar dari Medan sampai Merauke memprotes tindakan brutal para anggota TNI AU itu memperlihatkan betapa jijiknya masyarakat terhadap perilaku yang mencerminkan keangkuhan kekuasaan. Apalagi bila diingat semua ”perabot” kekuasaan itu—dari pakaian seragam sampai pesawat Hawk 200 yang jatuh—sesungguhnya dibeli dengan uang rakyat.
berita terkait di halaman 44
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo