Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEJANGGALAN vonis hakim agung dalam kasus narkotik bukanlah urusan remeh. Ini menyangkut barang haram yang bisa menghancurkan bangsa. Jika dalam soal gawat saja hukum gampang ditekuk di Mahkamah Agung, betapa meragukan kredibilitas lembaga ini.
Lihatlah putusan majelis peninjauan kembali yang diketuai Brigadir Jenderal (Purnawirawan) Imron Anwari. Majelis yang beranggotakan Achmad Yamanie dan Nyak Pha ini begitu mudah mendiskon hukuman mati. Mereka menghadiahi pemilik pabrik ekstasi, Hanky Gunawan, hukuman 15 tahun penjara. Padahal, di tingkat kasasi, ia dipidana mati. Majelis berdalih, hukuman mati melanggar hak asasi manusia, yang dilindungi konstitusi.
Pertimbangan yang sama dipakai Imron ketika memotong hukuman Hillary K. Chimezie. Warga Nigeria penyelundup 5,8 kilogram heroin yang semula divonis mati itu bernapas lega karena hanya dihukum 12 tahun penjara dalam peninjauan kembali. Imron memutus kasus ini bersama hakim agung Mayor Jenderal (Purnawirawan) Timur Manurung dan Suwardi.
Kalangan penggiat hak asasi sempat memuji putusan itu. Tapi pertimbangan yang tampak elok itu mungkin cuma kedok karena tak masuk akal. Kalaupun hakim agung ingin menghormati hak asasi, semestinya mereka bisa memberi hukuman penjara seumur hidup atau setidaknya 20 tahun. Hukuman yang berat akan lebih setimpal dengan kejahatannya, apalagi tak ada novum luar biasa dalam permohonan peninjauan kembali itu.
Undang-Undang Dasar 1945 memang menjunjung tinggi hak asasi. Hak hidup bahkan termasuk hak asasi yang tak bisa dikurangi dalam keadaan apa pun, termasuk oleh putusan hakim. Masalahnya, para hakim agung tidak konsisten menganut prinsip ini. Apalagi hukum positif kita masih menganut hukuman mati. Sejumlah undang-undang, termasuk Undang-Undang Psikotropik dan Narkotik, juga masih mencantumkan pidana mati.
Para hakim agung yang membatalkan hukuman mati itu pun tidak dikenal sebagai penganut anti-pidana mati. Bahkan, pada 2010, hakim agung Imron merupakan anggota majelis kasasi yang memvonis hukuman mati terhadap seorang terdakwa kasus pembunuhan berencana. Sikap plinplan ini membuat vonis kasus narkotik tersebut semakin mencurigakan.
Itu sebabnya Komisi Yudisial harus segera mengusutnya. Bukan hanya Imron yang mesti diperiksa. Semua hakim agung yang terlibat vonis aneh itu harus diusut. Idealnya, praktek kotor yang mungkin terjadi di balik keanehan itu, misalnya suap, bisa dibongkar. Langkah Komisi tetap diperlukan sekalipun Mahkamah Agung juga berencana memeriksa Imron. Soalnya, pemeriksaan internal seperti ini sering justru untuk menutupi persoalan.
Bila petinggi Mahkamah ingin lembaganya benar-benar ”agung”, upaya bisa dimulai lewat transparansi. Vonis kasasi dan peninjauan kembali, misalnya, mesti diumumkan secepatnya sehingga publik bisa ikut mengawasinya. Selama ini, putusan hakim agung—termasuk vonis kasus narkotik itu—terkesan ditutup-tutupi dan baru disiarkan beberapa bulan kemudian. Ini membuat putusan yang aneh, juga praktek kotor di baliknya, tak segera terdeteksi.
berita terkait di halaman 84
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo