Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Biasa Dalam Sejarah

Mao Tse-tung menggerakkan pemuda untuk revolusi kebudayaan. Seorang mahasiswa yang menentang tokoh borjuis, dilenyapkan. Sudah biasa dalam sejarah, pemuda yang jadi pejuang, jarang bisa jadi penakluk.

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU malam yang panas di bulan September 1964. Sebuah delegasi Perancis dipersilakan masuk ke salah satu ruang di bungalow dekat Hangchouw, daerah tetirah yang elok di Cina Tengah. Ruang itu bersahaja. Hanya ada sejumlah kursi besar yang berkasur tebal. Meja-meja teh kecil. Tempat-tempat untuk meludah dari enamel. Dan -- berbeda dengan ruang-ruang lain hampir di seluruh RRC -- di dinding tak ada gambar Mao Tse-tung. Sebab inilah tempat peristirahatan Mao di musim panas, tak jauh dari telaga yang bersejarah: di situ, lebih dari 40 tahun sebelumnya, dengan berpura-pura sedang liburan, sejumlah orang berapat. Merekalah pelopor Partai Komunis yang kini berkuasa. Malam itu sang tokoh utama sejarah sendiri yang muncul menyambut para tamu Perancis itu. Mao Tse-tung tampak kurus. Ia berjalan dibantu oleh seorang perawat pria. Ketuaannya dipertegas dengan ketidak-acuhannya. Seperti linglung, atau mungkin juga sadar bahwa dia tak perlu mematuhi etiket umum, dalam jamuan makan itu Mao menghirup supnya dengan bunyi yang keras. Ia sendawa. Ia mencongkeli giginya yang hitam. Ia cemberut. Ketika dengan agak berbasa-basi salah seorang tamunya memuji para mahasiswa Universitas Peking yang baru dikunjunginya, dengan agak kasar Mao menjawab: "Apa yang mereka ceritakan kepada anda di sana belum tentu benar." Lalu, dengan suara sengaunya yang tinggi yang bercampur sedikit melankolis, ia merentangkan daftar kekurangan generasi muda RRC. "Mereka tak tahu apa-apa tentang perang dan revolusi, tuan tanah dan petani kaya. Mereka harus belajar berjuang .... " Pelajaran pun datang. Di hari fajar 18 Agustus 1966, di lapangan Tienanmen yang luas, sekitar satu juta pemuda RRC berkumpul. Kebanyakan berpakaian khaki. Pita merah di lengan mereka bertuliskan Hung Wei Ping -- Pengawal Merah. Dalam kedinginan menunggu, mereka menyanyi dan menyerukan ucapan-ucapan yang mereka ambil dari buku kecil merah di tangan mereka: Kutipan Kata-Kata Ketua Mao. Dan yang mereka nantikan pun segera tiba. Diatur bagai dalam sebuah lakon teater, persis di saat matahari terbit di timur, di atas ketinggian galeri gerbang Tienanmen, sang Ketua pun menampakkan diri. Bajunya adalah baju prajurit sederhana hijau zaitun. Topinya topi militer berbentuk panci. Wajahnya sumringah, ketika suara massa pemuda yang gemuruh menyambutnya. "Revolusi Kebudayaan Mao Tse-tung menginjak babak baru. Revolusinya kali ini terarah untuk menghabisi apa yang disebut Mao sebagai kaum "burjuis". Di tahun 1966, itu tak lain adalah para pemimpin Partai Komunis sendiri, yang menurut Mao sudah jadi korup, mapan dan adem semangatnya, setelah hampir 30 tahun berkuasa. Bagi Mao, memecat mereka saja tak cukup. Lagi pula dia sendiri tak berdaya. Ia, seperti dikutip Andre Malraux dalam Antimemoires, "sendirian, bersama massa." Itulah sebabnya ia menggerakkan pemuda. Sekaligus, inilah ujian itu. Inilah pendidikan revolusioner yang mereka butuhkan itu .... Pemuda, sudah biasa dalam sejarah, memang semangat dan tenaga yang gegap gempita. Tapi juga biasa dalam sejarah, bahwa mereka yang bisa bertempur jarang bisa jadi pemenang. Dan pemuda, yang bisa jadi pejuang, jarang bisa jadi penakluk. Kalaupun kita bisa bicara tentang mereka sebagai satu kesatuan, dalam kenyataannya pemuda hanya salah satu aktor di atas pentas. Pada analisa terakhir mereka pun juga sambungan bagian lain di masyarakat. Tapi kita memang sering termakan oleh mithos tentang diri sendiri. Di antara Pengawal Merah lahirlah Wu Ch'uan-p'in, mahasiswa fisika dari Universitas Sun Yat Sen di Kanton. Pemuda jangkung yang dinamis ini dengan cepat naik bintang, dalam menggempur tokoh-tokoh Partai yang "burjuis". Tapi hanya sebentar. Mao, melihat kerusakan yang terjadi oleh gelombang massa pemuda yang diciptakannya sendiri itu, akhirnya berkata bahwa para Pengawal Merah telah mengecewakannya. Dan pemuda Wu Ch'uan-p'in, setelah beberapa saat jadi hero Revolusi Kebudayaan, kemudian dibikin lenyap. Chou En-lai mengutuknya sebagai "karakter hitam."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus