SUATU malam yang panas di bulan September 1964. Sebuah delegasi
Perancis dipersilakan masuk ke salah satu ruang di bungalow
dekat Hangchouw, daerah tetirah yang elok di Cina Tengah.
Ruang itu bersahaja. Hanya ada sejumlah kursi besar yang
berkasur tebal. Meja-meja teh kecil. Tempat-tempat untuk meludah
dari enamel. Dan -- berbeda dengan ruang-ruang lain hampir di
seluruh RRC -- di dinding tak ada gambar Mao Tse-tung. Sebab
inilah tempat peristirahatan Mao di musim panas, tak jauh dari
telaga yang bersejarah: di situ, lebih dari 40 tahun sebelumnya,
dengan berpura-pura sedang liburan, sejumlah orang berapat.
Merekalah pelopor Partai Komunis yang kini berkuasa.
Malam itu sang tokoh utama sejarah sendiri yang muncul menyambut
para tamu Perancis itu. Mao Tse-tung tampak kurus. Ia berjalan
dibantu oleh seorang perawat pria. Ketuaannya dipertegas dengan
ketidak-acuhannya. Seperti linglung, atau mungkin juga sadar
bahwa dia tak perlu mematuhi etiket umum, dalam jamuan makan itu
Mao menghirup supnya dengan bunyi yang keras. Ia sendawa. Ia
mencongkeli giginya yang hitam. Ia cemberut.
Ketika dengan agak berbasa-basi salah seorang tamunya memuji
para mahasiswa Universitas Peking yang baru dikunjunginya,
dengan agak kasar Mao menjawab: "Apa yang mereka ceritakan
kepada anda di sana belum tentu benar." Lalu, dengan suara
sengaunya yang tinggi yang bercampur sedikit melankolis, ia
merentangkan daftar kekurangan generasi muda RRC. "Mereka tak
tahu apa-apa tentang perang dan revolusi, tuan tanah dan petani
kaya. Mereka harus belajar berjuang .... "
Pelajaran pun datang. Di hari fajar 18 Agustus 1966, di lapangan
Tienanmen yang luas, sekitar satu juta pemuda RRC berkumpul.
Kebanyakan berpakaian khaki. Pita merah di lengan mereka
bertuliskan Hung Wei Ping -- Pengawal Merah. Dalam kedinginan
menunggu, mereka menyanyi dan menyerukan ucapan-ucapan yang
mereka ambil dari buku kecil merah di tangan mereka: Kutipan
Kata-Kata Ketua Mao.
Dan yang mereka nantikan pun segera tiba. Diatur bagai dalam
sebuah lakon teater, persis di saat matahari terbit di timur, di
atas ketinggian galeri gerbang Tienanmen, sang Ketua pun
menampakkan diri. Bajunya adalah baju prajurit sederhana hijau
zaitun. Topinya topi militer berbentuk panci. Wajahnya
sumringah, ketika suara massa pemuda yang gemuruh menyambutnya.
"Revolusi Kebudayaan Mao Tse-tung menginjak babak baru.
Revolusinya kali ini terarah untuk menghabisi apa yang disebut
Mao sebagai kaum "burjuis". Di tahun 1966, itu tak lain adalah
para pemimpin Partai Komunis sendiri, yang menurut Mao sudah
jadi korup, mapan dan adem semangatnya, setelah hampir 30 tahun
berkuasa. Bagi Mao, memecat mereka saja tak cukup. Lagi pula dia
sendiri tak berdaya. Ia, seperti dikutip Andre Malraux dalam
Antimemoires, "sendirian, bersama massa." Itulah sebabnya ia
menggerakkan pemuda. Sekaligus, inilah ujian itu. Inilah
pendidikan revolusioner yang mereka butuhkan itu ....
Pemuda, sudah biasa dalam sejarah, memang semangat dan tenaga
yang gegap gempita. Tapi juga biasa dalam sejarah, bahwa mereka
yang bisa bertempur jarang bisa jadi pemenang. Dan pemuda, yang
bisa jadi pejuang, jarang bisa jadi penakluk. Kalaupun kita bisa
bicara tentang mereka sebagai satu kesatuan, dalam kenyataannya
pemuda hanya salah satu aktor di atas pentas. Pada analisa
terakhir mereka pun juga sambungan bagian lain di masyarakat.
Tapi kita memang sering termakan oleh mithos tentang diri
sendiri. Di antara Pengawal Merah lahirlah Wu Ch'uan-p'in,
mahasiswa fisika dari Universitas Sun Yat Sen di Kanton. Pemuda
jangkung yang dinamis ini dengan cepat naik bintang, dalam
menggempur tokoh-tokoh Partai yang "burjuis". Tapi hanya
sebentar.
Mao, melihat kerusakan yang terjadi oleh gelombang massa pemuda
yang diciptakannya sendiri itu, akhirnya berkata bahwa para
Pengawal Merah telah mengecewakannya. Dan pemuda Wu Ch'uan-p'in,
setelah beberapa saat jadi hero Revolusi Kebudayaan, kemudian
dibikin lenyap. Chou En-lai mengutuknya sebagai "karakter
hitam."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini