Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Pasukan pendamai itu kini bertempur

Pertempuran pasukan suriah dengan orang kristen maronit sayap kanan di libanon yang dibantu israel. arab saudi dan amerika serikat mendukung peranan suriah di libanon.

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ini sungguh-sunggub gila! Cukup sudah! " ITU adalah teriakan seorang pemilik restoran, dan putus-asanya mencerminkan keadaan Libanon, kini dan nanti. Hans Maschek, orang Austria itu, sudah menghabiskan hampir US$ 300.000 buat mendandani restorannya di Beirut. Ia berharap bahwa perang saudara di tahun 1975-76, yang telah menghancurkan "Parisnya Timur Tengah "itu, akan disusul masa damai yang panjang, setelah pasukan Suriah masuk merintangi perang baru. Tapi pekan lalu ternyata banyak impian jebol. Pasukan Suriah sendiri kini yang bertempur. Mula-mula adalah hilangnya listrik dan air selama seminggu di sektor tempat tinggal orang-orang Kristen Maronit. Selasa yang lalu mendadak senjata-senjata berat menggelegar. Bagian Barat kota Beirut seperti kena gada bertubi-tubi, dan kota pun tersungkup gelap. Komunikasi ke luar macet. Di malam hari, cahaya roket dan peluru nampak tambah mengerikan di antara kelam. Sebuah radio pihak Maronit sayap kanan yang kena gempur bersuara: di jalanan mayat-mayat membusuk. Dalam waktu 24 jam, diperkirakan 500 orang tewas. Daerah yang dihuni orang-orang Kristen Maronit sayap kanan itu kini dijuluki "Stalingrad" -- mengingatkan kota Rusia yang digempur Jerman di Perang Dunia ke II hingga penduduknya hampir habis. Dari sini sebanyak dua pertiga penduduk yang lebih setengah juta memang sudah kabur ke pegunungan. Yang tinggal kebanyakan adalah penduduk yang lebih miskin, menjaga agar jangan sampai terjadi penjarahan milik mereka yang ditinggalkan. "Ini Lebih Buruk" Palang Merah sementara itu mencemaskan terjadinya kelaparan. Seorang diplomat Inggeris bahkan mengatakan: "Ini lebih buruk dibandingkan dengan perang saudara yang lalu." la tinggal di Beirut selama perang saudara dua tahun lalu yang telah menelan korban sebanyak 37.000 orang. Ia kini menyaksikan bahwa senjata berat telah digunakan, hingga orang sipil, bukan lagi mereka yang bertempur, yang jadi korban. Di masa perang saudara tempo hari sebagian besar yang dipakai adalah senjata ringan. Namun terlibatnya pasukan Suriah kini dalam pertempuran dengan orang Maronit sayap kanan memang memungkinkan penggunaan senjata berat. Yang dicemaskan para pemimpin negara Rarat ialah bila dalam keadaan seperti ini, Israel mengirimkan pasukannya membantu kaum Maronit -- dan perang Timur Tengah terbit di sana, hanya beberapa hari setelah terjadinya kesepakatan di Camp David antara Mesir dan Israel. Ada memang dugaan hahwa persetujuan Camp David itu justru yang mendorong ditariknya picu pertempuran baru. Para pemimpin Maronit konservatif yang dipimpin oleh Gemayel, tokoh Partai Phalange, kecewa bahwa persetujuan Camp David tidak menyebut-nyebut akan dipulangkannya 400.000 orang Palestina yang kini tinggal di Libanon. Orang-orang Palestina inilah, menurut para pemimpin Maronit, yang telah mengipas-ngipas ketidak-puasan orang-orang kiri di Libanon, hingga dua tahun yang lalu pecah perang saudara yang ngeri. Motifnya merupakan campuran antara konflik suku, golongan agama, ketegangan sosial dan campurtangan asing. Namun ketidak-sukaan orang-orang Maronit konservatif tentu tak bermula di Camp David. Masuknya pasukan Suriah dari perbatasan di awal 1976 sejak mula tak menyenangkan mereka. Presiden Hafez Assad memang ingin menunjukkan, bahwa Suriah berkepentingan melihat agar orang-orang konservatif yang berkuasa di Libanon, dibawah bekas Presiden Suleiman Franjieh, memenuhi tuntutan golongan kiri, kebanyakan kalangan yang beragama Islam, untuk memperoleh hak yang lebih adil. Tapi Hafez Assad ternyata juga tak menghendaki Libanon hanya diperintah oleh golongan kiri saja, yang dibantu orang Palestina. Juni 1976, tiba-tiba pasukan Suriah menembaki pasukan-pasukan Palestina yang berada di pegunungan dan di kota-kota. Kepada pemimpin Organisasi Pembebasan Palestina, Yasser Arafat, dan juga kepada pemimpin Sosialis Libanon Kamal Jumblat, diterangkan alasan sikap Suriah. Presiden Assad menuduh Arafat dan Jumblat menolak nasihatnya untuk berkompromi. Ia juga menuduh mereka mau mengalahkan orang Maronit sampai takluk, untuk kemudian mendirikan negeri Libanon yang dikuasai sepihak saja - dengan deking orang Palestina. Peranan pasukan Suriah pun dengan segera menjelma menjadi pasukan asing penjaga perdamaian Libanon yang dikoyak-koyak perang saudara. Karena senjata Suriah lebih ampuh, pasukan dari Damaskus ini berhasil meredakan pihak-pihak yang bermusuhan. Juga Suriah berhasil direstui oleh negara-negara Arab lain, yang disponsori oleh Arab Saudi. Tak kurang dari itu, Amerika Serikat pun secara diam-diam, tapi kukuh, mendukung peranan Suriah di Libanon. Bukan kebetulan jika AS pekan lalu memperingatkan Israel untuk "menahan diri" dalam menghadapi pertempuran antara pasukan Suriah dengan pasukan sayap kanan Maronit -- yang di sana-sini selama ini dibantu Israel. Israel tentu mengajukan alasannya untuk tak tinggal diam dalam sengketa di Libanon. Sebuah Libanon yang dibentuk Suriah adalah sebuah negeri yang bisa berbahaya bagi dirinya. Bukitbukit berkarang di selatan Libanon memang menjulang di atas lembah Hula milik Israel. Posisi itu bisa menjadi suatu front baru dalam suatu perang Timur Tengah. Tak kurang penting dari itu hadirnya orang-orang Palestina dalam kancah rakyat Libanon yang sayap kiri dan Islam, merisaukan Tel Aviv. Maka pasukan-pasukan Israel pun giat membantu pasukan milisia Maronit. Namun pertempuran kali ini tak dimulai dari luar, dari mana pun. Kaum Maronit yang berada di bawah Partai Liberal Nasional, pimpinan si rambut putih Chamoun, rupanya tak ingin Suriah menentukan banyak hal bagi negeri mereka. Dengan bantuan AS, Suriah memang berhasil menggolkan dipilihnya Sarkis -- seorang bankir yang plonco di dalam kancah politik -- untuk jadi Presiden Libanon yang baru. Tapi Sarkis memang tak kuasa mengatasi sengketa yang sudah menerbitkan pasukan-pasukan swasta bersenjata lengkap dan ganas itu. Chamoun, yang memandang orang Suriah dengan mata tak suka, memandang Sarkis cuma sebagai kacung ordng Damaskus. Maka ketika Sarkis mencoba membujuk agar pasukan milisia Maronit menyerahkan persenjataan dan amunisi mereka, ia gagal total. Ekor dari kegagalan ini ialah pertempuran yang terbit pekan lalu, antara pasukan Suriah dengan pihak yang diminta agar melucuti diri itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus