Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Mereka Yang Tak Terjamah

Pendapat beberapa pemuda usia 20-27 th tentang kepemudaan, pemerintah dan politik. Gambaran wajah sebagian besar pemuda Indonesia masa kini. Pembinaan mereka sedang diribuntukan.

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KENAL Dr. Abdul Gafur? "Dr Gafur? Siapa dia?" dia balik bertanya. Tahu KNPI? Gelengkan kepala lagi. Buat Asmaja (24 tahun) mengenal dua nama itu tampaknya tidak dianggapnya penting. Hidup pemuda ini sudah disita oleh pekerjaannya. Dari jam 8 pagi sampai 4 sore ia bekerja sebagai kuli pelabuhan di Tanjung Priok, pekerjaan yang memang dicita-citakannya sejak dulu dan sudah diterjuninya sejak umur 15 tahun. Sebagai buruh harian lepas ia memperoleh seharinya Rp 644 setelah dipotong uang makan. Kalau lembur atau dapat borongan, ia bisa membawa pulang sampai Rp 2000. Ia sudah beristeri, dengan anak satu yang pekan lalu meninggal. Apa keinginannya sekarang? "Pokoknya supaya bisa jadi orang yang layak." Maksudnya? "Ya, kayak orang-orang lain saja." Masih numpang di rumah orang tuanya, keinginannya yang lain ialah untuk bisa membahagiakan mereka. Tamatan SD ini masih ingat 28 Oktober adalah hari Sumpah Pemuda, tapi apa Sumpah Pemuda itu iapun "lupa". Organisasi pemuda? Asmaja menggeleng. "Nggak punya waktu untuk ikut-ikutan begitu," jawabnya. PEMUDA sekarang kurang menentukan masa depan, kurang perencanaan dalam hidupnya dan kurang dalam menggunakan kesempatan serta waktu yang baik." Yang punya omongan ini lkra Sumahamijaya, memakai kaca mata putih, umur 20 tahun, tinggal di Kebayoran Baru, Jakarta. Pernah kuliah di Universitas Trisakti, tahun depan ia merencanakan untuk sekolah di Amerika Serikat. Sambungnya lagi. "Tiap pemuda harus menentukan cita-citanya, dan kemudian secara programatis menciptakan cita-cita itu menjadi kenyataan. "Agaknya ia bisa ngomong begini, karena ayahnya adalah Dr. Suparman Sumahamijaya, pengusaha kaya dan pelopor pendidikan wiraswasta Indonesia yang rupanya mendidik anak-anaknya untuk bersemangat wiraswasta. Ini tampak dari pendapat Ikra. Pemuda yang foya-foya karena orangtuanya kaya disalahkannya. Justru di saat orangtua kaya, sebaik mungkin dimanfaatkan anaknya untuk mencari ilmu dan pengalaman. Pengalaman bisa berupa upaya mencari uang, katanya. Mengenai politik "Saya tidak tahu apa-apa. Saya tidak suka bertentangan dengan negara. " Dia juga tidak tahu apaapa tentang KNPI. "Kalau tujuannya baik, ya jalanlah, " katanya. DIA tahu siapa Abdul Gafur. "Dia sekarang kan Menteri Pemuda dari Angkatan 66," kata Soeharjo (28 tahun) di rumahnya di Yogyakarta pekan lalu. Ini diketahuinya berkat kerajinannya meminjam koran tetangga. Bangga punya menteri yang khusus mengurusi masalah pemuda? Soeharjo ketawa. "Yang diuruskan pemuda kota atau generasi muda. Mana ada yang ngurus pemuda apkir seperti saya ini." Ia menyebut dirinya dan pemuda desa lainnya sebagai pemuda apkir. Baginya, yang didengungkan sekarang dengan istilah pemuda atau generasi muda adalah pemuda terpelajar. Soeharjo sendiri tamatan SLTP. itulah sebabnya pemuda kekar ini tidak bisa menjelaskan pendapatnya tentang peranan pemuda. "Peranan pemuda ya menjaga kampung supaya tidak cemar." katanya datar. Cita-citanya sebagai pemuda "Pendek saja, bisa bekerja dan makan." Soeharjo menganggap dirinya berstatus penganggur. Pekerjaannya sekarang, membuat pintu, mengecat dan sebagainya dianggapnya bukan kerja tetap. "Cari kerja begitu susah sekarang. Dalam keadaan begini, untuk apa memikirkan yang rumit-rumit seperti urusan negara, masa depan bangsa .... " Kegiatan pemuda di kampungnya hanya arisan muda-mudi se RK (Rukun Kampung). MASIH di daerah Yogyakarta, Mulyo yang pernah sekolah sampai kelas 4 SD memperkirakan umurnya 24 tahun. Kurang lebih, karena ia tidak tahu persis kapan ia lahir. Pekerjaannya sekarang ikut membantu kakaknya berjualan di pantai Samas, Kabupaten Bantul. Dengan cekatan ia menyiapkan soto ayam. "Bung Gafur? Oiya kenal," jawabnya cepat. Tapi cepat pula ia sadar begitu dijelaskan. "Saya kira orang yang pernah datang ke sini Namanya rasanya Gafur juga.... " Mulyo termasuk pemuda yang membenci status kepemudaannya. "Untuk apa jadi pemuda. Disuruh jadi Hansip disuruh baris berbaris. Makan tak dikasih." Karenanya ia sekarang tidak mau disebut pemuda. Jadi pemuda baginya merepotkan, tiap Agustusan harus berbaris ke Bantul. Cita-citanya hanya satu Bisa mengumpulkan duit untuk beli perlengkapan menambal ban. "Di sini banyak ban sepeda motor pecah, tukang tambalnya jauh," katanya menjelaskan. Tidak muluk-muluk. Bahkan ia bertekad kalau berhasil, ia akan kawin. Sudah dipastikannya, sebagai penambal ban ia akan bisa menjamin isterinya. SORE itu ia datang dengan mobil yang dikemudikannya sendiri. Memakai celana jean biru dengan kaos putih bertuliskan Viatikara. Ia memang pelatih serta pengurus Perkumpulan Seni Tari Viatikara. Bukan tarian nasional saja yang digemarinya. Ia juga sering tampak di diskotik Pitstop: tempat dansa anak muda "cabang atas" di kolong lotel Sari Pasifik Jakarta. Tapi ada lagi kesibukan yang meminta lebih banyak waktunya: mengurus salon kecantikan di rumahnya, Menteng, Jakarta. Untuk itu Ranti Kartakusumah (23 tahun), puteri ke dari wakil ketua DPA Letjen Kartakusumah terpaksa "cuti kuliah" di Fakultas Sastra UI. Ia tidak pernah ikut organisasi pemuda karena: "Politik nggak deh, itu bukan bidang saya, kecuali menari," jawabnya sambil menghembuskan asap rokok. Cita-citanya ingin menjadi pengusaha, terutama menyelenggarakan pameran busana daerah. Kenapa senang menari? "Kalau sudah menari, saya lupa segalanya," katanya. Yang juga tidak suka "politik-politikan" adalah Josie Sumpono Bayuaji (22 tahun), puteri kedua Dubes RI di Belanda Mayjen Sumpono Bayuaji. Cita-citanya: ingin mengabdi pada masyarakat terutama di desa-desa yang kurang tenaga kesehatan. Ini mungkin berkaitan dengan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Gigi UI tingkat V. Ia menganggap dapat belajar banyak dari masyarakat desa yang sering ditemuinya berkat kegemarannya naik gunung. Pandangannya tentang peranan pemuda Indonesia sekarang: "Pemuda harus bisa mendobrak dan mengontrol masyarakat." Maksudnya? "Bagaimana ya?', ia balik bertanya. Tapi ia punya pendapat tentang "strategi pembinaan pemuda." "Biar pemuda berkembang sendiri dari dalam. Kalau pemerintah mau boleh saja mengarahkan, tapi jangan mengatur." RAKIM (25 tabun) juga tidak mau dipusingkan oleh politik. Bukan itu saja ia juga tidak pernab memikirkan apa itu masa depan. Hidup buat penggali kapur dari kampung Pekuncen, desa Palimanan kabupaten Cirebon ini berarti bari ini. "Jangankan mikir buat nanti Buat bidup sekarang saja sudab susah. Hari ini makan, besok belum tentu," katanya. Pemuda ini tidak pernab bersekolah. Bahasa Indonesia tidak dikuasainya. Ia malahan tercengang ketika ditanya soal pemuda, organisasi pemuda ataupun KNPI. Semua itu belum pernah didengarnya. Rakim tak mau berpikir lain kecuali mengbidupi 3 orang anak dari seorang isteri yang dinikahinya 6 tahun lalu. Ia tidak mau pusing dengan urusan pemerintah, sebab ketika ayah dan mertuanya mati tertimbun batu kapur 18 September lalu, tak ada yang memberikan perhatian. Berapa penghasilannya? "Cuma Rp 300. Itupun kalau lagi mujur. " KALAU KNPI saya sudah pernah dengar. Tapi tujuannya, saya belum tahu." Ini ucapan Zainal Arifin, (21 tahun) kelahiran Gunung Kidul yang sejak April 1977 mengajar di SD Beji, Bogor. Honornya sebulan Rp 10 ribu. Terus terang ia belum pernah mendengar nama Bung Gafur. Ia merasa kurang tahu perkembangan pemuda karena di rumahnya tidak ada radio maupun TV. Ia juga mengaku jarang baca koran. Tapi ia giat menggerakkan remaja antara lain memberi pengajian. Sekarang ia tinggal di mushola sambil memberi pengajian. "Pemerintah memang sudah mulai menggerakkan remaja, tapi dalam prakteknya belum masuk sampai desa." AHMAD Zainuri, 20 tahun, hanya mengenal organisasi pemuda Ansor. Dia sendiri bukan anggota. Menteri yang diketahuinya hanya Menteri Agama Alamsyab. Dia memang sering melibat TV di tempat tetangganya, tapi kalau siaran berita ditinggalkannya. Pendidikan Zainuri banya sampai kelas 2 Tsanawiyab (tingkat SLTP). Pemuda berambut gondrong ini pernab mendapat pekerjaan sebagai penjaga kebun tebu milik pabrik. Tapi tidak lama, karena ia tidak mau masuk Golkar. "Anaknya kyai kok masuk Golkar. Malu ah," katanya polos. Ketrampilan lain yang dimilikinya memanjat kelapa. Usahanya sekarang menyewakan pengeras suara, tapi tidak pernah dipikirkannya bagaimana cara memajukan usahanya itu. Dan dia tidak punya pandangan tentang masalah pemuda. Tapi dia hafal berkaset-kaset lagu Melayu. TENTANG KNPI, Lily Athika (21 tahun tidak mau memberikan komentarnya. "Tanya saja pada yang lain . . ," katanya. Sekretaris di suatu perusahaan di jalan Achmad Yani, Medan ini memang tidak pernah ikut organisasi pemuda. Anak seorang haji ini senang musik, suka membaca majalah wanita dan novel ringan dan tidak merasa dikekang orangtuanya. Menurut Lily, untuk membangkitkan aspirasi kepemudaan atau kepemudian, janganlah orangtua selalu mengekang, main dikte dan memaksa memasuki suatu wadah. "Membimbing kita yang masih polos ini jangan main keras kerasan. Kan nanti tidak bisa ketemu. Orang tua harus tahu apa maunya anak muda. Biarkan mereka mencari atau memilih wadah sendiri," katanya. SAMSUJADI (24 tahun) tidak setuju dengan KNPI. Mabasiswa Akademi Dinas Perdagangan tingkat 3 Jakarta yang di kampungnya juga menjadi pimpinan Karang Taruna secara terbuka menyatakan pendapatnya. "Kita yang susah-susah mendirikan Karang Taruna, kok KNPI yang akan enak menikmatinya," katanya. Menurut Samsu, kelurahan yang mendukung KNPI Karang Tarunanya oleh pemerintah dibuatkan Sasana Krida (semacam gelanggang remaja tingkat kelurahan) dan juga mendapat sumbangan uang. Sedang yang tidak, kurang mendapat perbatian. Samsu mengakui, lebih enak dengan KNPI karena uang, tempat dan fasilitas ada. "Tapi di bawah satu golongan, kan tidak enak. " Pemuda menurut pendapatnya jangan diatur dari atas, biar tumbuh sendiri dari bawah. Ia mengeluh kalau ada kritik dari pemuda, pemerintah menganggapnya perbuatan yang aneh. "Kita bingung mau dibawa ke mana oleh pemerintah." Misalnya? "Peraturan sering berubah, tahun ajaran, pelajaran matematika dan sebagainya." Cita-citanya? "Ingin jadi orang kaya," jawabnya. BUAT Fance, 27 tahun, setahun terakhir ini rasanya lama sekali. Masuk akal, karena lulusan SMA Tomohon, Sulawesi Utara ini tahun lalu mengimpikan memperoleh pekerjaan di Jakarta dengan harapan kemudian bisa nyambi meneruskan kuliah di fakultas Hukum. Pekan lalu, masih menganggur, harapan ini belum pudar sekalipun ia sudah lupa berapa lamaran yang pernah dicobanya. Ia bingung ketika ditanya pendapatnya tentang kehidupan pemuda sekarang. Harapannya pemerintah agar mengusahakan lapangan kerja bagi penganggur. Lapangan kerja cukup banyak, tapi persyaratan yang mengharuskan pelamar memiliki pengalaman kerja menurut pendapatnya harus ditinjau kembali. Ingin pulang ke Tomohon? "Kenapa kita kembali? Itu malah akan membikin beban orang tua," sahutnya. Maka ia akan terus mencoba. Harapan yang sama dipunyai oleh Fredy, 23 tahun. Lulusan Akademi Bank ini juga sudah satu tahun menganggur dan hampir bosan melamar pekerjaan. Tinggal bersama kakaknya, ia sering menerima gerutuan karena begitu sering minta uang untuk membuat fotokopi. Fredy malu menyebutkan cita-citanya, karena "tinggi sekali", sedang kenyataannya ia jadi penganggur. Tapi agaknya ia terlalu memilih pekerjaan. Nyatanya waktu ada lowongan BUTSI ia menolak. Alasannya karena hanya kerja 3 tahun dan sesudah itu belum ada gambaran selanjutnya. Fredy tahu arti Sumpah Pemuda. Ia juga tahu KNPI dan Menteri Muda Urusan Pemuda Abdul Gafur. Tapi minatnya tidak lebih dari itu. "Pokoknya sekarang dapat kerja dulu." Fance dan Fredy mungkin tidak tahu. Tapi mereka adalah sebagian dari 85 juta penduduk Indonesia yang berusia di bawah 25 tahun. Mereka juga sebagian dari sekitar 50 juta angkatan kerja Indonesia, dan termasuk 4,4 juta mereka yang menurut perhitungan resmi menganggur. Mereka juga adalah sebagian dari jutaan manusia Indonesia yang mengikuti arus urbanisasi, datang ke kota-kota dalam impian memperoleh pekerjaan dan hidup yang lebih layak. Wajah dan impian mereka serupa. Buat mereka, Sumpah Pemuda, organisasi, KNPI dan sebagainya hanyalah gambar: an selintas yang melewati angan-angan mereka dalam hidup yang sebagian besar disita oleh upaya untuk tetap bertahan hidup. Asmaja, Mulyo, Fance adalah wajah sebagian besar pemuda Indonesla masa kini. Pengembangan atau "pembinaan" mereka inilah yang sekarang sedang diributkan. Mungkin harapan-harapan atau mimpi-mimpi mereka tidak ikut diributkan. Dan mereka sendiri agaknya tidak peduli dengan semuanya itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus