KENAL Dr. Abdul Gafur? "Dr Gafur? Siapa dia?" dia balik
bertanya. Tahu KNPI? Gelengkan kepala lagi. Buat Asmaja (24
tahun) mengenal dua nama itu tampaknya tidak dianggapnya
penting. Hidup pemuda ini sudah disita oleh pekerjaannya. Dari
jam 8 pagi sampai 4 sore ia bekerja sebagai kuli pelabuhan di
Tanjung Priok, pekerjaan yang memang dicita-citakannya sejak
dulu dan sudah diterjuninya sejak umur 15 tahun. Sebagai buruh
harian lepas ia memperoleh seharinya Rp 644 setelah dipotong
uang makan. Kalau lembur atau dapat borongan, ia bisa membawa
pulang sampai Rp 2000.
Ia sudah beristeri, dengan anak satu yang pekan lalu meninggal.
Apa keinginannya sekarang? "Pokoknya supaya bisa jadi orang
yang layak." Maksudnya? "Ya, kayak orang-orang lain saja." Masih
numpang di rumah orang tuanya, keinginannya yang lain ialah
untuk bisa membahagiakan mereka.
Tamatan SD ini masih ingat 28 Oktober adalah hari Sumpah Pemuda,
tapi apa Sumpah Pemuda itu iapun "lupa". Organisasi pemuda?
Asmaja menggeleng. "Nggak punya waktu untuk ikut-ikutan begitu,"
jawabnya.
PEMUDA sekarang kurang menentukan masa depan, kurang perencanaan
dalam hidupnya dan kurang dalam menggunakan kesempatan serta
waktu yang baik." Yang punya omongan ini lkra Sumahamijaya,
memakai kaca mata putih, umur 20 tahun, tinggal di Kebayoran
Baru, Jakarta. Pernah kuliah di Universitas Trisakti, tahun
depan ia merencanakan untuk sekolah di Amerika Serikat.
Sambungnya lagi. "Tiap pemuda harus menentukan cita-citanya, dan
kemudian secara programatis menciptakan cita-cita itu menjadi
kenyataan. "Agaknya ia bisa ngomong begini, karena ayahnya
adalah Dr. Suparman Sumahamijaya, pengusaha kaya dan pelopor
pendidikan wiraswasta Indonesia yang rupanya mendidik
anak-anaknya untuk bersemangat wiraswasta. Ini tampak dari
pendapat Ikra. Pemuda yang foya-foya karena orangtuanya kaya
disalahkannya. Justru di saat orangtua kaya, sebaik mungkin
dimanfaatkan anaknya untuk mencari ilmu dan pengalaman.
Pengalaman bisa berupa upaya mencari uang, katanya.
Mengenai politik "Saya tidak tahu apa-apa. Saya tidak suka
bertentangan dengan negara. " Dia juga tidak tahu apaapa tentang
KNPI. "Kalau tujuannya baik, ya jalanlah, " katanya.
DIA tahu siapa Abdul Gafur. "Dia sekarang kan Menteri Pemuda
dari Angkatan 66," kata Soeharjo (28 tahun) di rumahnya di
Yogyakarta pekan lalu. Ini diketahuinya berkat kerajinannya
meminjam koran tetangga. Bangga punya menteri yang khusus
mengurusi masalah pemuda? Soeharjo ketawa. "Yang diuruskan
pemuda kota atau generasi muda. Mana ada yang ngurus pemuda
apkir seperti saya ini." Ia menyebut dirinya dan pemuda desa
lainnya sebagai pemuda apkir. Baginya, yang didengungkan
sekarang dengan istilah pemuda atau generasi muda adalah pemuda
terpelajar. Soeharjo sendiri tamatan SLTP.
itulah sebabnya pemuda kekar ini tidak bisa menjelaskan
pendapatnya tentang peranan pemuda. "Peranan pemuda ya menjaga
kampung supaya tidak cemar." katanya datar. Cita-citanya sebagai
pemuda "Pendek saja, bisa bekerja dan makan." Soeharjo
menganggap dirinya berstatus penganggur. Pekerjaannya sekarang,
membuat pintu, mengecat dan sebagainya dianggapnya bukan kerja
tetap. "Cari kerja begitu susah sekarang. Dalam keadaan begini,
untuk apa memikirkan yang rumit-rumit seperti urusan negara,
masa depan bangsa .... " Kegiatan pemuda di kampungnya hanya
arisan muda-mudi se RK (Rukun Kampung).
MASIH di daerah Yogyakarta, Mulyo yang pernah sekolah sampai
kelas 4 SD memperkirakan umurnya 24 tahun.
Kurang lebih, karena ia tidak tahu persis kapan ia lahir.
Pekerjaannya sekarang ikut membantu kakaknya berjualan di pantai
Samas, Kabupaten Bantul.
Dengan cekatan ia menyiapkan soto ayam. "Bung Gafur? Oiya
kenal," jawabnya cepat. Tapi cepat pula ia sadar begitu
dijelaskan. "Saya kira orang yang pernah datang ke sini Namanya
rasanya Gafur juga.... "
Mulyo termasuk pemuda yang membenci status kepemudaannya. "Untuk
apa jadi pemuda. Disuruh jadi Hansip disuruh baris berbaris.
Makan tak dikasih." Karenanya ia sekarang tidak mau disebut
pemuda. Jadi pemuda baginya merepotkan, tiap Agustusan harus
berbaris ke Bantul.
Cita-citanya hanya satu Bisa mengumpulkan duit untuk beli
perlengkapan menambal ban. "Di sini banyak ban sepeda motor
pecah, tukang tambalnya jauh," katanya menjelaskan. Tidak
muluk-muluk. Bahkan ia bertekad kalau berhasil, ia akan kawin.
Sudah dipastikannya, sebagai penambal ban ia akan bisa menjamin
isterinya.
SORE itu ia datang dengan mobil yang dikemudikannya sendiri.
Memakai celana jean biru dengan kaos putih bertuliskan
Viatikara. Ia memang pelatih serta pengurus Perkumpulan Seni
Tari Viatikara. Bukan tarian nasional saja yang digemarinya. Ia
juga sering tampak di diskotik Pitstop: tempat dansa anak muda
"cabang atas" di kolong lotel Sari Pasifik Jakarta. Tapi ada
lagi kesibukan yang meminta lebih banyak waktunya: mengurus
salon kecantikan di rumahnya, Menteng, Jakarta.
Untuk itu Ranti Kartakusumah (23 tahun), puteri ke dari wakil
ketua DPA Letjen Kartakusumah terpaksa "cuti kuliah" di Fakultas
Sastra UI.
Ia tidak pernah ikut organisasi pemuda karena: "Politik nggak
deh, itu bukan bidang saya, kecuali menari," jawabnya sambil
menghembuskan asap rokok. Cita-citanya ingin menjadi pengusaha,
terutama menyelenggarakan pameran busana daerah. Kenapa senang
menari? "Kalau sudah menari, saya lupa segalanya," katanya.
Yang juga tidak suka "politik-politikan" adalah Josie Sumpono
Bayuaji (22 tahun), puteri kedua Dubes RI di Belanda Mayjen
Sumpono Bayuaji. Cita-citanya: ingin mengabdi pada masyarakat
terutama di desa-desa yang kurang tenaga kesehatan. Ini mungkin
berkaitan dengan kuliahnya di Fakultas Kedokteran Gigi UI
tingkat V. Ia menganggap dapat belajar banyak dari masyarakat
desa yang sering ditemuinya berkat kegemarannya naik gunung.
Pandangannya tentang peranan pemuda Indonesia sekarang: "Pemuda
harus bisa mendobrak dan mengontrol masyarakat." Maksudnya?
"Bagaimana ya?', ia balik bertanya. Tapi ia punya pendapat
tentang "strategi pembinaan pemuda." "Biar pemuda berkembang
sendiri dari dalam. Kalau pemerintah mau boleh saja mengarahkan,
tapi jangan mengatur."
RAKIM (25 tabun) juga tidak mau dipusingkan oleh politik. Bukan
itu saja ia juga tidak pernab memikirkan apa itu masa depan.
Hidup buat penggali kapur dari kampung Pekuncen, desa Palimanan
kabupaten Cirebon ini berarti bari ini. "Jangankan mikir buat
nanti Buat bidup sekarang saja sudab susah. Hari ini makan,
besok belum tentu," katanya.
Pemuda ini tidak pernab bersekolah. Bahasa Indonesia tidak
dikuasainya. Ia malahan tercengang ketika ditanya soal pemuda,
organisasi pemuda ataupun KNPI. Semua itu belum pernah
didengarnya. Rakim tak mau berpikir lain kecuali mengbidupi 3
orang anak dari seorang isteri yang dinikahinya 6 tahun lalu. Ia
tidak mau pusing dengan urusan pemerintah, sebab ketika ayah dan
mertuanya mati tertimbun batu kapur 18 September lalu, tak ada
yang memberikan perhatian. Berapa penghasilannya? "Cuma Rp 300.
Itupun kalau lagi mujur. "
KALAU KNPI saya sudah pernah dengar. Tapi tujuannya, saya belum
tahu." Ini ucapan Zainal Arifin, (21 tahun) kelahiran Gunung
Kidul yang sejak April 1977 mengajar di SD Beji, Bogor. Honornya
sebulan Rp 10 ribu. Terus terang ia belum pernah mendengar nama
Bung Gafur. Ia merasa kurang tahu perkembangan pemuda karena di
rumahnya tidak ada radio maupun TV. Ia juga mengaku jarang baca
koran.
Tapi ia giat menggerakkan remaja antara lain memberi pengajian.
Sekarang ia tinggal di mushola sambil memberi pengajian.
"Pemerintah memang sudah mulai menggerakkan remaja, tapi dalam
prakteknya belum masuk sampai desa."
AHMAD Zainuri, 20 tahun, hanya mengenal organisasi pemuda Ansor.
Dia sendiri bukan anggota. Menteri yang diketahuinya hanya
Menteri Agama Alamsyab. Dia memang sering melibat TV di tempat
tetangganya, tapi kalau siaran berita ditinggalkannya.
Pendidikan Zainuri banya sampai kelas 2 Tsanawiyab (tingkat
SLTP). Pemuda berambut gondrong ini pernab mendapat pekerjaan
sebagai penjaga kebun tebu milik pabrik. Tapi tidak lama, karena
ia tidak mau masuk Golkar. "Anaknya kyai kok masuk Golkar. Malu
ah," katanya polos.
Ketrampilan lain yang dimilikinya memanjat kelapa. Usahanya
sekarang menyewakan pengeras suara, tapi tidak pernah
dipikirkannya bagaimana cara memajukan usahanya itu. Dan dia
tidak punya pandangan tentang masalah pemuda. Tapi dia hafal
berkaset-kaset lagu Melayu.
TENTANG KNPI, Lily Athika (21 tahun tidak mau memberikan
komentarnya. "Tanya saja pada yang lain . . ," katanya.
Sekretaris di suatu perusahaan di jalan Achmad Yani, Medan ini
memang tidak pernah ikut organisasi pemuda.
Anak seorang haji ini senang musik, suka membaca majalah wanita
dan novel ringan dan tidak merasa dikekang orangtuanya. Menurut
Lily, untuk membangkitkan aspirasi kepemudaan atau kepemudian,
janganlah orangtua selalu mengekang, main dikte dan memaksa
memasuki suatu wadah. "Membimbing kita yang masih polos ini
jangan main keras kerasan. Kan nanti tidak bisa ketemu. Orang
tua harus tahu apa maunya anak muda. Biarkan mereka mencari atau
memilih wadah sendiri," katanya.
SAMSUJADI (24 tahun) tidak setuju dengan KNPI. Mabasiswa Akademi
Dinas Perdagangan tingkat 3 Jakarta yang di kampungnya juga
menjadi pimpinan Karang Taruna secara terbuka menyatakan
pendapatnya. "Kita yang susah-susah mendirikan Karang Taruna,
kok KNPI yang akan enak menikmatinya," katanya. Menurut Samsu,
kelurahan yang mendukung KNPI Karang Tarunanya oleh pemerintah
dibuatkan Sasana Krida (semacam gelanggang remaja tingkat
kelurahan) dan juga mendapat sumbangan uang. Sedang yang tidak,
kurang mendapat perbatian.
Samsu mengakui, lebih enak dengan KNPI karena uang, tempat dan
fasilitas ada. "Tapi di bawah satu golongan, kan tidak enak. "
Pemuda menurut pendapatnya jangan diatur dari atas, biar tumbuh
sendiri dari bawah. Ia mengeluh kalau ada kritik dari pemuda,
pemerintah menganggapnya perbuatan yang aneh. "Kita bingung mau
dibawa ke mana oleh pemerintah." Misalnya? "Peraturan sering
berubah, tahun ajaran, pelajaran matematika dan sebagainya."
Cita-citanya? "Ingin jadi orang kaya," jawabnya.
BUAT Fance, 27 tahun, setahun terakhir ini rasanya lama sekali.
Masuk akal, karena lulusan SMA Tomohon, Sulawesi Utara ini tahun
lalu mengimpikan memperoleh pekerjaan di Jakarta dengan harapan
kemudian bisa nyambi meneruskan kuliah di fakultas Hukum. Pekan
lalu, masih menganggur, harapan ini belum pudar sekalipun ia
sudah lupa berapa lamaran yang pernah dicobanya.
Ia bingung ketika ditanya pendapatnya tentang kehidupan pemuda
sekarang. Harapannya pemerintah agar mengusahakan lapangan kerja
bagi penganggur. Lapangan kerja cukup banyak, tapi persyaratan
yang mengharuskan pelamar memiliki pengalaman kerja menurut
pendapatnya harus ditinjau kembali. Ingin pulang ke Tomohon?
"Kenapa kita kembali? Itu malah akan membikin beban orang tua,"
sahutnya. Maka ia akan terus mencoba.
Harapan yang sama dipunyai oleh Fredy, 23 tahun. Lulusan Akademi
Bank ini juga sudah satu tahun menganggur dan hampir bosan
melamar pekerjaan. Tinggal bersama kakaknya, ia sering menerima
gerutuan karena begitu sering minta uang untuk membuat fotokopi.
Fredy malu menyebutkan cita-citanya, karena "tinggi sekali",
sedang kenyataannya ia jadi penganggur. Tapi agaknya ia terlalu
memilih pekerjaan. Nyatanya waktu ada lowongan BUTSI ia menolak.
Alasannya karena hanya kerja 3 tahun dan sesudah itu belum ada
gambaran selanjutnya.
Fredy tahu arti Sumpah Pemuda. Ia juga tahu KNPI dan Menteri
Muda Urusan Pemuda Abdul Gafur. Tapi minatnya tidak lebih dari
itu. "Pokoknya sekarang dapat kerja dulu."
Fance dan Fredy mungkin tidak tahu. Tapi mereka adalah sebagian
dari 85 juta penduduk Indonesia yang berusia di bawah 25 tahun.
Mereka juga sebagian dari sekitar 50 juta angkatan kerja
Indonesia, dan termasuk 4,4 juta mereka yang menurut perhitungan
resmi menganggur. Mereka juga adalah sebagian dari jutaan
manusia Indonesia yang mengikuti arus urbanisasi, datang ke
kota-kota dalam impian memperoleh pekerjaan dan hidup yang lebih
layak. Wajah dan impian mereka serupa. Buat mereka, Sumpah
Pemuda, organisasi, KNPI dan sebagainya hanyalah gambar: an
selintas yang melewati angan-angan mereka dalam hidup yang
sebagian besar disita oleh upaya untuk tetap bertahan hidup.
Asmaja, Mulyo, Fance adalah wajah sebagian besar pemuda
Indonesla masa kini.
Pengembangan atau "pembinaan" mereka inilah yang sekarang sedang
diributkan. Mungkin harapan-harapan atau mimpi-mimpi mereka
tidak ikut diributkan. Dan mereka sendiri agaknya tidak peduli
dengan semuanya itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini