Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pemuda: Dari Atas, Dari Bawah,

Gagasan menteri muda urusan pemuda, Abdul Gafur, 40, tentang penyederhanaan ormas pemuda menjadi 3 kelompok, dan pendapat beberapa pemuda tentang kepemudaan, pemerintah dan politik.(nas)

14 Oktober 1978 | 00.00 WIB

Pemuda: Dari Atas, Dari Bawah,
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Darab muda darahna para remaja Yang selalu merasa gagah tak pernah mau mengalah . . . -- Oma Irama, "Darah Muda". PENYANYI dangdut itu benar. Kalau ia, meski baru berusia 31 tahun, menempatkan diri sebagai orangtua. Dan Menteri Muda Urusan Pemuda, Abdul Gafur, meski kurang suka berdendang, tampaknya sejalan dengan Oma. Berusia 40 tahun, Gafur kini mulai melangkah. Tapi jalan ternyata tak serata yang ia duga semula. Tak lama setelah ia dilantik sebagai Menteri Muda, pada pembukaan sidang MPP II KNPI di Jakarta bulan lalu ia melontarkan gagasan tentang penyederhanaan ormas pemuda. Memang terkesan bahwa pemerintah menginginkan pengelompokan ormas pemuda menjadi 3 kelompok, seperti halnya penyederhanaan parpol. Semua itu, seperti kata Menmud Gafur, adalah dalam rangka menuju tersusunnya UU Keormasan. Ini dinilai sejalan dengan adanya UU Pokok tentang Golkar dan Parpol yang melahirkan 3 kekuatan politik Golkar, PPP dan PDI. Jelasnya, yang dimaksud Gafur ialah pengelompokan ormas pemuda menjadi 3 kelompok: AMPI yang sudah terbentuk yang dianggap seaspirasi dengan Golkar, ormas pemuda Islam yang seaspirasi dengan PPP dan ormas pemuda 'demokrat' yang seaspirasi dengan PDI. Bulan lalu, adalah Kelompok Cipayung yang pertama kali memberikan reaksi. Dalam sidangnya di Gadok, Ciawi, kelompoktersebut antara lain menyatakan: Pengembangan generasi muda harus menghindari pendekatan strukNril yang mengarah pada pewadahan tunggal serta usaha penyederhanaan dalam bentuk apapun. Sebab hal ini akan menjurus pada rejimentasi dalam bentuk apa pun. " Belakangan, kepada TEMPO, Gafur menjelaskan bahwa "hal itu bukanlah gagasan dari atas." Katanya lagi, "saya hanya menyampaikan isyarat saja, setelah adanya kecenderungan berkelompok di antara mereka."Menurut Gafur, "mereka masing-masing independen dan secara formil organisatoris bukanlah merupakan onderbouw dari kekuatan politik yang ada." Tapi menurut Tatto S. Pradjamanggala, ketua umum AMS dan salah seorang ketua AMPI, "3 kekuatan sosial politik itu berkaki pada pemuda kan tinggal formilnya saja." Dengan berbagai permainan kata, dibolak-balik, pada akhirnya sami mawon: pengelompokan ormas pemuda menjadi 3 kelompok itu jelas sejalan dengan penataan kekuatan sosial politik, alias penyusunan onderbouw masing-masing. Secara diam-diam, usaha mengelompokkan ormas pemuda Islam ternyata ada. Waktunya pertengahan Juni lalu, bertempat di hotel Orchid Palace di Slipi, Jakarta. Pengundangnya Imron Kadir dari Pemuda Al-Washliyah, yang mendukung John Naro ketika terjadi keributan dalam tubuh Parmusi dulu. Pertemuan itu gagal. Kabarnya bahkan Menteri Muda Gafur juga keberatan. Tak lama sesudah itu, juga ada usaha dari generasi muda NU untuk mengundang semua ormas pemuda Islam. Barangkali untuk memberi kesan bahwa ormas pemuda Islam itu tak hanya yang melalui Imron. Tapi usaha ini pun tidak berhasil. Beberapa waktu sebelumnya, juga ada usaha mengelompokkan ormas pemuda yang aspirasinya dekat dengan PDI. Juga dengan cara diam-diam, bertempat di Putri Duyung Cottage, Ancol, Jakarta. Eddy Sukirman, Seyen DPP GPM, mengaku tidak mengenal pengundangnya. Belakangan memperkenalkan diri bernama Pasaribu, mengaku wakil Pemuda Pancasila. Usaha ini juga gagal. Tapi menurut Narwan Hadisardjono, ketua DPP GPM, menjelang SU MPR yang lalu GPM sendiri pernah memprakarsai pertemuan seperti itu. "Dulu karena terdorong oleh keprihatinan perpecahan PDI. Dan ketika itu gagasan Gafur tentang penyederhanaan ormas pemuda belum terdengar," kata Narwan. Tapi baik GP Ansor, GPM dan ormas pemuda lainnya, umumnya menghendaki agar kalau memang dikehendaki adanya pengelompokan seperti itu, hendaknya datang dari bawah. Artinya harus tumbuh secara wajar. Beberapa tokoh pimpinan ormas pemuda yang memang punya akar di kalangan massa, ketika dihubungi TEMPO umumnya menghendaki agar usaha seperti itu dilakukan melalui forum musyawarah nasional. Namun tampaknya semuanya sudah diatur. Dan Menteri Muda Abdul Gafur sudah siap pula dengan konsep di tanganna. KNPI sendiri misalnya, sudah mulai bebenah diri. "Sesudah Kongres nanti, KNPI akan mengalami perubahan struktur organisasi," kata David Napitupulu, ketua umum DPP KNPI. Sidang MPP 11 KNPI di Jakarta itu, untuk pertama kalinya, juga "melapangkan dada" dengan mengikut-sertakan semua pimpinan ormas pemuda dan mahasiswa untuk berbicara, dalam sidang pleno dan komisi. "Keterbukaan ini akan selalu kita kembangkan dalam pertemuan-pertemuan KNPI lainnya," tambah David. Sebuah keputusan Komisi Organisasi MPP II KNPI tersebut antara lain juga menyarankan dibentuknya Forum Konsultasi Pimpinan Pemuda sebagai wadah konsultasi antara KNPI dengan ormas-ormas pemuda. Ini semua, tampaknya sejalan dengan program Menteri Muda Urusan Pemuda. Dan langkah pertama Gafur, waktunya memang tepat: Menyongsong 50 tahun Sumpah Pemuda. Menteri Muda Gafur tampak sibuk dengan berbagai kegiatan. Sudah pula disusun naskah "Strategi Pembinaan Generasi Muda", juga naskah lain tentang "Pola Dasar Pembinaan Generasi Muda". Sekalipun begitu, Gafur masih membuka kesempatan terhadap sumbangan-sumbangan pikiran kalangan generasi muda sendiri. Jadi biar ada kesan bahwa program Menteri Muda benarbenar mendapat dukungan dari generasi muda yang akan dibinanya. Untuk mendapatkan input, pekan lalu, di hotel Sahid, Jakarta, diselenggarakan Lokakarya Nasional Pembinaan Generasi Muda selama 4 hari. Bahkan 2 hari sebelumnya, PWI bersama KNPI menyelenggarakan Dialog Nasional tentang Kepemudaan. Dialog ini pun rupanya untuk mengumpulkan bahan-bahan guna penyelenggaraan Lokakarya. Tapi, seperti diakui Gafur, tidak semuanya berjalan lancar. Dalam Lokakarya misalnya, banyak peserta keberatan dengan kata 'pembinaan' yang mereka anggap seolah-olah menempatkan pemuda sebagai obyek. Alasannya? Mereka menunjuk pada pidato pengarahan Presiden Soeharto sendiri pada pembukaan Lokakarya di Bina Graha, yang tidak menggunakan kata 'pembinaan'. Presiden lebih suka menggunakan kata 'pengembangan'. "Pengembangan generasi muda lebih banyak tergantung pada generasi muda itu sendiri. Oleh karena itu bukan maksud kita untuk menjadikan generasi muda sebagai obyek pembinaan," kata Presiden. Menempatkan generasi muda sebagai subyek, bahkan unsur dinamika, Presiden menegaskan, "bangsa kita akan mengalami kemunduran dan kehilangan elan dinamis apabila generasi muda hanya menjadi pengekor dan bukan pelopor. " Dalam jumpa pers sehari sebelum pembukaan Lokakarya, Gafur menyatakan tak sependapat menyerahkan pembinaan itu kepada generasi muda sendiri. Tapi akhirnya Lokakarya mencapai kompromi: "pembinaan dan pengembangan". Dalam acara Dialog Nasional di Balai Sidang Senayan Jakarta yang diselenggarakan 2 hari sebelum Lokakarya, ada pula yang bergunjing soal istilah. Ada yang menanyakan tema dialog yang bunyinya: Pemerataan partisipasi generasi muda dalam pembangunan. "Apakah ini berarti partisipasi generasi muda belum merata?" tanya Chumaidi Syarif Romas dari PBHMI. "Sejumlah generasi muda sudah berpartisipasi, hanya mereka tidak gembar-gembor," kata Fahmy Idris, dulu Komandan Lasykar "Arief Rahman Hakim". Ia menyebut kegiatan HIPMI (Himpunan Pengusaha Muda Indonesia) di mana ia jadi pengurusnya. Masih soal partisipasi, menurut Farid Rasyid bekas ketua umum DM IPB, gagasan Gafur untuk menyederhanakan ormas pemuda "justru tidak menjamin pemerataan partisipasi." Dan Tony Waworuntu dari PP GMKI menyebut bahwa "partisipasi penuh hanya mungkin bila kita sadar terlibat, bukan ditempatkan." Maksudnya, "penyederhanaan ormas pemuda sesuai dengan pesan sponsor", seperti yang disindir Ismuyanto MK, ketua umum Generasi Muda Kosgoro. Kedengarannya memang ironis. Di satu pihak para pemuda diharapkan partisipasinya oleh Pemerintah. Tapi banyak juga di antara mereka yang merasa tidak diajak untuk berpartisipasi. Generasi Muda Kosgoro, MKGR dan Soksi misalnya, merasa tidak diundang dalam Dialog Nasional dan Lokakarya. Namun menurut Akbar Tanjung dari DPP KNPI, "yang diundang dalam Dialog Nasional hanya ormas pemuda yang mendukung Deklarasi Pemuda." Deklarasi itu lahir pada Juli 1973, yang kemudian menelorkan KNPI. Dalam Lokakarya pun, memang tidak semua ormas pemuda terwakili. "Kalau semua diundang, nanti kan bisa menjadi Kongres Pemuda. Padahal Lokakarya ini hanya untuk mencari input saja," kata Gafur. Tapi dengan undangan terbatas itu pun, beberapa peserta toh merasa kurang mendapat kesempatan. Misalnya Harry Parathon dari Universitas Airlangga Surabaya. Ia lebih suka santai di kamar penginapannya bersarna mahasiswa lain. "Pengarahan dan prasaran memang perlu, tapi peranan peserta sebagai subyek juga tak kalah penting," kata Harry. Kurangnya kesempatan itu, menurut anggota DPR Suryadi dari PDI karena "kurang memadainya pengaturan teknis". Maka pendekatan pun dilakukan. Tapi Muhiar Jara (UI) dan Irama Badrianti (IPB) jadi angkat kaki pada hari ke-3 Lokakarya. Wakil ITB juga pulang ke Bandung dengan alasan "dijemput teman-teman". Toh kepada TEMPO, Gafur menyatakan hormatnya. "Mereka meninggalkan sidang secara baik-baik. Mereka berpendapat bahwa forum ini hanya untuk menampung pikiran-pikiran sebagai sumber input," katanya. Tapi pujian itu tak mengubah kenyataan bahwa di luaran, memang banyak pemuda yang merasa tidak diajak ngomong. Tak sedikit pemuda di kota dan desa yang samasekali tak tahu apa itu KNPI misalnya. Juga mereka banyak yang belum mendengar, bahwa mereka sekarang sudah terwakili dalam Kabinet Pembangunan III lewat Menteri Muda Urusan Pemuda (lihat: Mereka Yang Tak Terjamab). Sementara itu dalam forum adalah 3 ormas kader Golkar Generasi Muda Kosgoro, MKGR dan Soksi yang "merasa ditinggalkan". Pekan lalu ketiganya malah membentuk semacam forum Generasi Muda Trikarya, "sebagai generasi muda cikal bakalnya Golkar". Dan sehari setelah Lokakarya usai, sejumlah eksponen ormas pemuda berkumpul di restoran Geliga, di Jalan K.H. Wahid Hasyim, Jakarta. Antara lain tampak eksponen '66 seperti Louis Wangge, Fahmy Idris, Ismuyanto MK dan Rudiyono Hadi (dari GM Kosgoro), juga dari GP Ansor, Pemuda Muhammadiyah, PII, HMI, PMKRI, Pemuda Katolik. Dan lain-lain. "Begitu lengkap ormas yang diundang sampai Rudiyono Hadi berseloroh "justru pertemuan seperti itu yang mungkin bisa jadi Kongres Pemuda." Fosko 66 sendiri merupakan organisasi baru, sebagai wadah dari sejumlah bekas aktivis '66. Organisasi ini lahir beberapa saat setelah SU MPR yang lalu, tak lama setelah di tengah sidang MPR lahir Caucus '78, yang terdiri dari para bekas aktivis '66 juga yang kebetulan menjadi anggota DPR-MPR. Adalah Fosko '66 yang menjadi pengundang dari pertemuan di Geliga. Ini merupakan lanjutan dari pertemuan pertama 26 September di rumah Mas Isman, ketua umum Kosgoro di Jalan Cik Ditiro Jakarta, dengan tuan rumah GM Kosgoro. Pertemuan ketiga direncanakan 15 Oktober ini dengan pengundang GM MKGR. Akan diusahakan agar AMPI juga menjadi pengundang. Itu kata Tatto S. Pradjamanggala, ketua umum AMS dan salah seorang ketua AMPI yang malam itu hadir. Secara bersemangat, dalam pertemuan di Geliga itu, mereka mengkritik KNPI. Juga gagasan Menteri Muda Gafur, tak luput dari serangan. Di tengah kritik itu, Gafur sendiri mengakui adanya kebhinekaan ormas pemuda. "Itu cerminan dari kenyataan sosial politik yang hidup dalam masyarakat. Dan mereka harus disalurkan," kata Gafur. Dan penyaluran itu, katanya, berupa penyederhananan ormas pemuda menjadi 3 kelompok tadi. Dan konsep ini jalan terus. Lokakarya sudah berakhir, menghasilkan beberapa keputusan. Yang terpenting: pembinaan pemuda dilaksanakan melalui 3 jalur jalur Ikosis (Ikatan Kekeluargaan Organisasi Siswa Sekolah) di SLTP/SLTA, jalur Kampus dan jalur KNPI. Selain sebagai wadah komunikasi, KNPI juga dianggap mencakup organisasi mahasiswa ekstra dan kelompok minat seperti remaja pencinta alam, wisata remaja, ilmiyah remaja. Jalur lainnya: jalur keluarga, jalur sekolah dan jalur masyarakat. Dalam jalur masyarakat inilah, selain Karang Taruna, termasuk 3 jalur pengelompokan ormas pemuda tadi. Dalam 5 tahun mendatang, sesuai dengan target penyusunan UU Keormasan, diharapkan semuanya itu sudah mantap. Tapi tidak semua bisa dipuaskan. Beberapa peserta menyatakan keheranannya mengapa kalimat-kalimat yang sudah didrop di sidang Komisi kok bermunculan lagi dalam perumusan. Misalnya soal "penataan" ormas pemuda. Bahkan mengenai pembentukan Badan Koordinasi Pembinaan Generasi Muda mulai daerah tingkat I sampai III, menurut Didik Hargianto dari UGM, "sampai tim perumus berkumpul lagi, tak pernah ada kesepakatan." Maka Gafur menjelaskan. "Itu merupakan jalur pemerintah sebagai aparat Departemen P&K. Tentang badan ini, bahkan Kepresnya pun sudah akan turun," kata Gafur. Kontan Didik balik bertanya: "Tanpa Lokakarya pun, jadi Keppres itu akan turun juga?" Kalau benar demikian, apa guna semua itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus