Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Masa Depan Tambang Digital

Jika ada "hilirisasi" mineral, semestinya ada juga "hilirisasi" data. Potensi besar tambang digital.

21 Januari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Hilirisasi tak hanya untuk tambang mineral, juga bisa untuk tambang digital.

  • Big data perilaku konsumen Indonesia sangat besar.

DALAM sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat pada 2023, Presiden Joko Widodo menekankan pentingnya langkah strategis penghiliran sumber daya alam sebagai program nasional, terutama sumber daya tambang mineral, untuk mencegah eksploitasi negara lain. Di era industri 4.0, tambang bukan hanya hasil bumi. Ada juga tambang informasi. Dengan melihat informasi seperti tambang mineral, proses penghilirannya mengubah informasi untuk kepentingan analitik dan prediktif. Dengan cara pandang ini, kita akan melihat dunia digital sebagai tambang masa depan. Sebab, sejak 2019, delapan dari sepuluh perusahaan terbesar di dunia adalah perusahaan digital berbasis data dan telekomunikasi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Big data tergolong dalam beberapa macam data. Di antaranya data personal identifikasi, konsumsi konten dan media, serta yang paling diperlukan dunia bisnis, yakni perilaku belanja. Dengan kemampuan kecerdasan buatan, analisis data yang terstruktur (structured) ataupun tak terstruktur (unstructured, data bebas yang ada di Internet) bisa dengan cepat dilakukan untuk membuat kluster individu. Dari sini kita bisa melihat perilaku untuk memprediksi niat setiap individu dalam dunia digital.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Contoh kecil bisa kita lihat dalam kerja sama Tokopedia dengan Pegadaian dalam penjualan portofolio emas kepada pembelanja. Jika dilihat di permukaan, kerja sama ini sekadar penambah jaringan penjualan Pegadaian. Bagi ilmuwan data, keinginan membeli sekuritas ini memberikan gambaran jenis pelanggan yang konservatif atau mereka yang memiliki rencana jangka panjang dalam memperlakukan kekayaan. Jika dipadukan dengan kebiasaan belanja mereka di lokapasar Tokopedia, data itu bisa memberikan gambaran produk-produk mana saja yang diminati para pelanggan tersebut.

Contoh lain adalah konsumsi konten media lewat YouTube atau TikTok.  Kebiasaan setiap orang menonton konten tertentu menciptakan kluster yang sering disebut “rabbit hole” dalam dongeng Alice in Wonderland. Konten-konten di sana “menjebak” penonton mengkonsumsi informasi seperti candu karena semua konten tersebut seperti relevan dengan hidup mereka.

TikTok mengembangkan prediksi konten ini dengan menganalisis perilaku belanja lewat kanal belanja sosial secara dahsyat. Tak hanya mengembangkan prediksi, dengan jaringan rantai pasok internasional TikTok Shop, aplikasi dari Tiongkok ini membuat dumping produk dengan harga sangat murah dan mendapat keuntungan lewat layanan belanja langsung (live shopping). Karena barang yang dijual lebih banyak barang impor, usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) Indonesia sulit bersaing. Apalagi TikTok cenderung mempromosikan gerai tertentu alih-alih kanal-kanal UMKM. Pemerintah Indonesia sempat melarang taktik dagang ini, meski kini mengizinkannya kembali setelah TikTok membeli saham Tokopedia.

Dari sini kita bisa melihat kontribusi beberapa jenis data (media sosial, e-commerce, komentar, dan pengguna media sosial) untuk kepentingan “hilirisasi” digital yang akan bermanfaat bagi media dan perdagangan elektronik. “Hilirisasi digital” ini juga berpeluang mendorong usaha-usaha rintisan dalam negeri menjadi unicorn baru karena memberikan value proposition dalam penawaran saham perdana (IPO) perusahaan.

Ketika melakukan IPO, GoTo punya potensi menambang data menjadi informasi yang sangat menopang ekspansi bisnisnya. Setiap pelanggan dipetakan melalui perilaku belanja makanan lewat GoFood, transportasi dan logistik lewat Gojek dan GoSend, jaringan pembayaran melalui GoPay, belanja daring lewat Tokopedia, dan investasi di Bank Jago.

Strategi dan value investor juga terlihat dalam kesuksesan Alibaba, lewat Sesame, menggabungkan multiplatform data, yang mirip milik GoTo, dalam pembuatan ekosistem teknologi keuangan (fintech). Tidak mengherankan jika pemerintah, badan usaha milik negara, dan bahkan masyarakat Indonesia melihat GoTo sebagai unicorn dengan tambang digital serta penghiliran big data yang mereka miliki.

Sebagai aset utama perdagangan, ada dua hal yang perlu menjadi perhatian untuk melihat kemampuan media dan perilaku belanja di TikTok. Pertama, strategi investor awal dalam melepas database penting commerce di GoTo. Apakah value pada masa depan GoTo masih sama? Apakah mereka masih bisa berharap mengembangkan GoTo bersama?

Kedua, untuk regulator. Kita mesti berhati-hati agar “hilirisasi” data digital di lokapasar Indonesia tetap berpihak pada UMKM Indonesia. Karena itu, "hilirisasi" digital mesti diimbangi dengan kebijakan perlindungan privasi dan data pribadi agar tambang digital kita tak dimanfaatkan platform-platform luar negeri yang hanya melihat big data dan perilaku belanja orang Indonesia yang besar ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Masa Depan Tambang Digital"

Jerry Justianto

Jerry Justianto

Dosen Binus Business School

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus