Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Veni, vidi, vici, lalu mundur. Kita tahu perjalanan Thailand belakangan ini. Perdana Menteri Thaksin Shinawatra menantang para oposan yang ingar-bingar menggelar demonstrasi massa untuk menenggelamkan kekuasaannya. Mungkin ia berbisik, "Kita bertarung dengan kotak suara." Pemimpin yang sempat menjadi perwira polisi itu menyimpan keyakinan: para penentangnya tak lebih dari segelintir kelas menengah perkotaan yang berisik bila dibandingkan dengan pendukungnya di desa-desa. Masyarakat tidak berpunya; jutaan jumlahnya tapi merupakan silent majority. Ia menang pemilu, lantas meng-akhiri kemenangannya dengan kejutan: mundur.
Di layar televisi, masyarakat menyaksikan seorang lela-ki, matanya berkaca-kaca, kerongkongannya kering, men-jelaskan latar belakang keputusannya. Ia menghor-mati ulang tahun ke-60 naik takhtanya Sri Raja Bhumibol Adul-yadej, dan memelihara persatuan Thailand. Sebagi-an oposisi bersorak, tapi sebagian lagi tertegun. Thaksin mem-peroleh 57 persen suara-16 juta dari jumlah total 28 juta-dalam pemilu barusan. Sesuai dengan janjinya, de-ngan perolehan suara di atas 50 persen itu, ia berhak duduk di kursi perdana menteri sampai masa jabatannya ber-akhir, tahun 2008. Jalan untuk memimpin telah terbuka, tapi ia memilih jalan lain.
Memang banyak pihak menyamakan momen itu de-ngan kemenangan demokrasi. Semua tahu, Thaksin bukan se-orang Mr Clean. Ia miliarder, pengusaha besar yang kemudian tertarik pada politik dan menggunakan segenap pengaruh dan kemampuan bisnisnya untuk menjangkau po-sisi tertinggi. Semua juga tahu betapa partai pendukung-nya, Thai Rak Thai, menjadi mesin propaganda yang keterlaluan fanatik mendukung dirinya. Ia menganggap sikapnya yang oportunistik sebagai satu kegesitan menangkap peluang, dan pembungkaman kritik sebagai kemenangan. Dengan kata lain, Thaksin sosok yang selama ini mewakili kecurigaan kita terhadap konflik kepentingan yang diam-diam bersarang di dalam sosok-sosok pengusaha yang menjadi politisi.
Thaksin dibenci sebagian kelas menengah perkotaan, tapi sangat disayangi masyarakat miskin. Mungkin penggantinya-entah siapa dia-dapat belajar bagaimana ia menak-luk-kan hati lapisan masyarakat yang tak beruntung ini. Ia mencurahkan banyak kredit di desa-desa untuk mereka, dan dalam sekejap mereka menjadi pendukung Thaksin yang paling setia. Hasilnya: dua kali berturut-turut ia terpilih.
Tapi inilah Thailand. Sama seperti kita, inilah negeri yang belajar demokrasi: selalu saja ada peluang berhasil, atau kembali lagi ke masa otoriter. Kita tahu, tanpa pembatasan kekuasaan yang efektif, sosok seperti Thaksin memiliki potensi menjadi pemimpin otoriter. Tapi kita juga menangkap paradoks di kalangan kelompok-kelompok oposisi. Yakni, kelompok-kelompok yang merasa tidak sanggup menan-dingi Thaksin di arena pemilu, kemudian meng-undang campur tangan militer. Dengan kata lain, mereka membuka kesempatan kembali ke masa lalu, masa-masa pemerintahan berdarah dengan pelanggaran hak asasi manusia yang mencorong: memadamkan kritik dengan tindak-an represif pada 1973 dan 1992.
Bukan militer yang tampaknya membuat ia mundur. Hari itu, 4 April, Thaksin bertemu Raja di Istana Musim Panas di Teluk Thailand. Dan ia keluar dengan mata ber-kaca-kaca, mulut yang seakan tersumbat. Hari itu, Thaksin meng-undurkan diri. Bukan melalui cara-cara konstitusional-demokratis, melainkan melalui sebuah representasi masa lalu: monarki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo