Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENYIKSAAN hewan yang dijadikan konten hiburan merupakan kejahatan yang tak bisa ditoleransi dalam masyarakat beradab mana pun. Aparat penegak hukum, juga masyarakat, tidak boleh menganggap remeh kasus-kasus penyiksaan hewan yang makin sering viral di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam tiga tahun terakhir, kita menyaksikan penangkapan sejumlah pelaku yang terlibat pembuatan konten penyiksaan hewan di berbagai daerah di Indonesia. Kasus terbaru, Kepolisian Daerah Kalimantan Barat menangkap seorang tersangka pembuat video penyiksaan monyet ekor panjang yang memperoleh upah hingga Rp 1 juta per konten.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bukan hanya monyet, dalam kasus lain, hewan seperti anjing, kucing, ayam, kelinci, ular, tenggiling, dan bahkan beruang juga menjadi korban penyiksaan yang direkam untuk dijadikan video “hiburan”. Para pelaku menjual video rekaman penyiksaan melalui berbagai platform online, seperti YouTube dan Telegram. Pelaku yang tertangkap umumnya mengaku melakukan kekejian itu karena motif ekonomi. Di forum dark web, konten penyiksaan hewan bisa dibanderol seharga Rp 80 ribu-1,6 juta.
Yang membuat miris, Indonesia tercatat sebagai salah satu negara produsen konten kekerasan terhadap hewan terbanyak di dunia. Data dari Asia for Animals Coalition menunjukkan Indonesia antara lain mengungguli Amerika Serikat dan Australia dalam hal produksi konten kekerasan terhadap hewan. Selama Juli 2020-Agustus 2021, misalnya, Indonesia menjadi negara penghasil konten penyiksaan hewan terbanyak, yakni 1.626 konten dari 5.480 video yang terdata.
Pada tingkat individu, orang yang senang menyiksa hewan atau menonton konten kekerasan terhadap hewan kemungkinan besar mengidap penyakit kejiwaan yang serius. Selangkah lagi, mereka bisa jadi akan melakukan kekerasan serupa terhadap manusia. Namun maraknya penyiksaan hewan tidak hanya disebabkan oleh masalah psikologis atau motif ekonomi individu para pelaku.
Sistem hukum yang hanya menjatuhkan sanksi ringan kepada pelaku turut menyumbang maraknya kekerasan terhadap hewan. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan hanya memberikan hukuman maksimal enam bulan penjara dan denda Rp 5 juta bagi pelaku penyiksaan hewan. Sementara itu, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana hanya mengancam pelaku dengan hukuman penjara tiga-sembilan bulan.
Ancaman hukuman yang ringan jelas tidak akan memberikan efek jera kepada para pelaku. Apalagi jika aparat penegak hukum meremehkan kasus-kasus penyiksaan hewan yang terbongkar. Dalam banyak kasus, aparat baru bertindak setelah mendapat tekanan dari masyarakat atau kasusnya menjadi viral di media sosial.
Masyarakat juga semestinya terlibat aktif dalam memerangi penyiksaan hewan. Warga negara yang beradab seharusnya memiliki kesadaran untuk melaporkan setiap kasus penyiksaan hewan kepada pihak berwenang. Dengan kata lain, perlu langkah konkret dan kolaboratif semua pihak agar penyiksaan dan perdagangan konten kekerasan terhadap hewan tidak makin merajalela.