Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUNGGUH “produktif” Profesor Kumba Digdowiseiso. Meski April belum berakhir, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional, Jakarta, itu telah mempublikasikan 160 artikel ilmiah di jurnal internasional pada tahun ini. Itu artinya ia mempublikasikan minimal satu artikel tiap hari. Namun, sayangnya, “produktivitas” Sang Profesor justru kembali membuka sisi gelap dunia pendidikan tinggi di Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Publikasi ilmiah Kumba membuka ketidakjujuran pendidik di perguruan tinggi. Banyak guru besar, yang merupakan jabatan fungsional tertinggi bagi dosen, melakukan kejahatan akademik melalui publikasi karya ilmiah baik di jurnal dalam negeri maupun jurnal internasional bereputasi. Mereka melakukan plagiarisme atau menyewa penulis. Jual-beli dalam proses publikasi karya ilmiah yang melibatkan sindikat juga banyak terjadi. Mahasiswa bimbingan mereka pun kerap menjadi korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pendidik itu hanya mengejar kuantitas karya tulis di jurnal ilmiah yang ketentuannya diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 17 Tahun 2013 tentang Guru dan Dosen. Dalam enam tahun terakhir, produktivitas publikasi ilmiah dosen Indonesia di jurnal internasional melompat enam kali lipat, menjadi sekitar 50 ribu per tahun. Jumlah luar biasa karya ilmiah yang diatasnamakan Kumba itu dimuat dalam artikel Retraction Watch.
Kelakuan Kumba dan banyak akademikus lain, termasuk profesor, ini berakar dari beberapa hal. Yang utama adalah kebijakan, baik di tingkat pemerintah maupun kampus. Ada pertautan antara kebijakan pemerintah dan kepentingan kampus yang membuat maraknya kejahatan akademik. Misalnya untuk kebutuhan akreditasi perguruan tinggi, di antaranya dilihat poin penelitian dan publikasi karya ilmiah, terutama di jurnal internasional yang bereputasi, dan jumlah profesor. Publikasi juga digunakan untuk mengejar status kampus menjadi badan hukum milik negara dan menaikkan peringkat. Buntutnya, proses seleksi profesor menjadi lebih longgar, termasuk dalam pemantauan penelitian dan publikasi karya ilmiah. Jumlah guru besar berlimpah, tapi sebagian kurang memiliki keilmuan berkualitas.
Di tingkat individu, karena demi kuantitas karya ilmiah, banyak dosen dan profesor yang mengambil jalan pintas, dengan melakukan berbagai tindakan yang tak berintegritas. Meneliti dan menulis artikel ilmiah tak lagi menjadi pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi–melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat–melainkan kepentingan pribadi. Misalnya demi mendapatkan remunerasi atau mencapai angka kredit yang disyaratkan bagi kenaikan pangkat atau jabatan, termasuk untuk menjadi profesor.
Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan. Muruah karya ilmiah mesti dikembalikan. Demikian pula muruah guru besar. Publikasi karya ilmiah hasil penelitian menjadi basis pemikiran untuk memajukan ilmu pengetahuan. Tak terbayangkan bila dosen, apalagi profesor, tak lagi meneliti dan menulis dengan baik, ilmu pengetahuan terancam mandek.
Selain itu, karya tulis ilmiah bermanfaat besar bagi publik, apalagi bila bisa memapar masyarakat lebih luas. Tak hanya mencerdaskan, tapi juga memberikan solusi dan inovasi. Tri Dharma Perguruan Tinggi pun tegak bermartabat.