Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENGUSUTAN korupsi tambang timah ilegal di Bangka Belitung yang berpotensi merugikan negara senilai Rp 271 triliun makin membuka borok kekacauan pengelolaan komoditas pertambangan kita selama ini. Bukan semata urusan ekonomi, ancaman besar yang tak kalah mengkhawatirkan adalah terjadinya degradasi kualitas manusia akibat pencemaran logam berat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kejaksaan Agung membongkar praktik lancung penambangan timah di Bangka Belitung, yang sejatinya sudah lama terjadi. Provinsi muda dengan luas wilayah daratan 1,64 juta hektare dan lautan 6,53 juta hektare itu sudah berpuluh-puluh tahun dikepung tambang timah. Jaksa mencatat potensi kerugian negara Rp 271 triliun merupakan akumulasi dampak kerusakan lingkungan hidup, ekonomi, dan biaya pemulihan dari penambangan ilegal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nilai kerugian itu hanya sebagian dari masifnya dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh penambangan timah tersebut. Sebab, penyidik hanya mencermati aktivitas tambang di daratan dan tidak menghitung pertambangan di lautan, yang nilainya lebih besar. Sudah lama penggangsiran timah menggunakan kapal isap dan ponton isap bisa sampai kedalaman 40 meter.
Metode penambangan itu sangat destruktif. Hasil analisis citra satelit oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Bangka Belitung pada 2017 menaksir terumbu karang yang tersisa hanya 12.470 hektare, menyusut drastis dari 82.250 ribu hektare pada 2015. Aktivitas penambangan yang brutal tersebut juga memicu hilangnya hutan mangrove di pesisir Bangka Belitung. Dalam 20 tahun terakhir, kawasan mangrove seluas 240.460 hektare lenyap.
Hilangnya mangrove menimbulkan konflik antara manusia dan buaya yang kehilangan habitat. Menurut Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sumatera Selatan, dalam kurun lima tahun terakhir terjadi 127 kasus serangan buaya di Kepulauan Bangka Belitung.
Nilai kerugian juga tak mencakup isu kesehatan manusia akibat berseraknya 12.600 lubang tambang dengan total luas 15.580 hektare. Air yang menggenangi lubang bercampur tailing dan mengandung bermacam unsur logam itu dikonsumsi secara langsung ataupun tak langsung oleh masyarakat sekitar.
Kerugian versi jaksa juga tidak menghitung pekerja pencucian pasir timah yang meninggal terpapar debu silika yang memicu silikosis—penyakit paru-paru. Yang terbaru, survei Badan Pengelola Belitong UNESCO Global Geopark menunjukkan tingginya jumlah penyandang tunagrahita dan autisme di Sekolah Luar Biasa Negeri Manggar, Belitung Timur. Dari total 123 siswa, terdapat 65 anak tunagrahita ringan, 10 tunagrahita sedang, dan 17 anak dengan autisme. Mayoritas anak tersebut berasal dari keluarga buruh tambang timah.
Pelbagai kerusakan tersebut merupakan konsekuensi langsung kebijakan penambangan ekstraktif yang masih dipakai pemerintah. Kebijakan sesat itu makin berkibar karena Presiden Joko Widodo begitu mengagung-agungkan penghiliran mineral. Padahal, di banyak negara, praktik lancung itu sudah lama ditinggalkan. Mereka sangat ketat dalam menerapkan aturan pemulihan lingkungan dan penanggulangan dampak pasca-tambang.