Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Boediono, Sri Mulyani, dan Penyelamatan Ekonomi

21 Desember 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Chatib Basri
  • Research Associate LPEM-FEUI dan pernah menjadi anggota tim nasional kampanye pasangan SBY-Boediono

    Segera setelah saya diambil sumpah, saya memutuskan untuk mengambil beberapa langkah sulit demi menyelamatkan perekonomian dari krisis. Saya lakukan itu bukan karena saya ingin populer. Ketika pertama kali saya melangkahkan kaki untuk memulai pekerjaan ini, langkah penyelamatan bank dan industri otomotif tidak ada dalam agenda saya. Bahkan tak ada di dalam keinginan saya. Tetapi penyelamatan bank dan industri otomotif dibutuhkan untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran yang lebih dahsyat.”

    Kalimat itu disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat Barack Obama dalam pidatonya di Allentown, Desember lalu. Tentu ia tak merujuk pada Bank Century. ­Situasi dan teknis skema penyelamatan di Amerika Serikat tentu berbeda dengan Indonesia. Tetapi pesannya jelas: tindakan penyelamatan perbankan dibutuhkan dalam situasi krisis. Obama secara tak langsung bicara tentang systemic risk atau risiko sistemik. Apa itu? Mudahnya, bangkrutnya satu perusahaan dapat membawa dampak yang amat serius terhadap perekonomian.

    Pemenang Nobel Ekonomi Joe Stiglitz and George Akerlof adalah dua ekonom yang berjasa menjelaskan fenomena informasi yang tak simetris atau asymmetric information, yang merupakan penjelas utama kenapa risiko sistemik bisa terjadi di pasar keuangan. ­Tengok contoh ini: deposan tak memiliki—dan tak akan ­pernah memiliki—informasi yang sempurna mengenai kondisi bank tempat ia menyimpan tabungannya. Yang lebih tahu me­ngenai kondisi banknya tentu adalah ma­najemen dan sang pemilik bank. Karena itu, jika satu bank jatuh, dalam situasi krisis dan kepanikan, ada kemungkinan deposan yang tak memiliki informasi yang sempurna ini mulai khawatir akan nasib tabungannya. Akibatnya, tutupnya satu bank dapat membawa dampak penarik­an massal oleh para deposan di bank lain. Alasannya sederhana: mereka tak mau ambil risiko. Bukankah ada kemungkinan bank mereka tempat menabung juga bisa bangkrut? Ingat, pada Oktober dan November 2008, kekhawatiran begitu tinggi. Berbagai rumor melalui SMS beredar tentang bank yang terancam karena ada penarik­an massal. Bahkan ada yang ditangkap karena dianggap menyebarkan berita bohong. Dalam situasi normal, orang tak khawatir. Karena itu, dalam situasi normal, penutup­an bank tak akan punya pengaruh besar. Itu hanya terjadi dalam situasi ketika kepanikan muncul.

    Lebih dari 70 tahun lalu, ekonom besar John Maynard Keynes bicara tentang animal spirits. Dalam situasi yang tak pasti, individu akan mencoba mengurangi risiko dengan bergerak mengikuti pola kelompoknya. Ini yang disebut herd behaviour. Ingat bagaimana rombongan binatang berlari bersama-sama mengikuti kepala kelompoknya? Dalam situasi panik, ketika sebuah bank tutup, berduyun-duyun orang akan menarik uangnya dari perbankan—sering tanpa sepenuhnya memiliki informasi lengkap tentang situasi perbankan tersebut. Animal spirits dengan kata lain adalah komponen emosional yang tecermin dalam kepercayaan konsumen (consumer confidence). Di sini peran confidence—akar katanya adalah fido dari bahasa Latin, yang artinya saya percaya—menjadi amat penting.

    Itu sebabnya banking, panics sangat berbahaya. Penarikan oleh deposan besar akan membuat bank gagal dan lumpuhnya sistem pembayaran. Dalam situasi pa­nik, kita tidak bisa mengambil risiko. Itu sebabnya, dalam situasi krisis, kepercayaan harus tetap dijaga. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Jerman, Si­ngapura, Malaysia, dan Australia, memberlakukan blanket guarantee atau penjaminan untuk seluruh deposito. Lebih jauh dari itu, 12 negara anggota G-20, termasuk Amerika Serikat dan Inggris, menjamin bukan hanya deposito tetapi juga wholesale borrowing.

    Di Indonesia, kita tak menjalankan kebijakan ini. Wakil Presiden waktu itu Jusuf Kalla menolak keras ide ini. Implikasinya, perbankan ada dalam risiko. Mungkin jika blanket guarantee waktu itu diberlakukan, Bank Century tidak perlu di-bail out (diselamatkan). Dibiarkan saja tutup. Sayangnya, kita tak punya itu, sehingga untuk mencegah risiko sistemik, tindakan penyelamatan terhadap bank yang gagal—apakah itu Century atau bank apa pun—harus dilakukan. Mengapa tindakan penyelamatan perlu?

    Ada sebuah analogi yang baik sekali dari Menteri Keuangan Sri Mulyani: di sebuah perkampungan yang amat padat, terjadi kebakaran. Kebetulan pemilik rumah tersebut adalah orang yang jahat. Kita bisa saja membiarkan rumah itu terbakar, tetapi akibatnya rumah di sekitarnya akan ikut terbakar, dan seluruh perkampungan akan terbakar. Maka kita tak bisa mengambil risiko—siapa pun pemilik rumah tersebut—kita harus memadamkan apinya. Bukan untuk menolong dia, tetapi untuk menyelamatkan seluruh kampung. Dan ini tak hanya terjadi dengan Century di Indonesia.

    Lalu apakah benar ini sistemik? Bukankah faktanya krisis perbankan tak terjadi? Bagaimana jika waktu itu tidak dilakukan bailout? Sayangnya, kita tidak bisa tahu persis apakah karena bail out maka krisis perbankan tidak terjadi, atau memang situasi krisis tidak parah sehingga tidak perlu dilakukan bailout. Jika dua argumen mengenai soal yang sama datang dengan kesimpulan yang berbeda, mana yang paling mendekati ”kebenaran relatif”?

    Dalam risalahnya yang berjudul The Methodology of Positive Economics, pemenang Nobel Ekonomi Milton Friedman menulis: teori atau model tidak bisa disimpulkan benar hanya karena model itu konsisten dengan bukti empiris, namun teori atau model dapat dikatakan salah—atau belum membuktikan kebenarannya—jika ia tidak konsisten dengan bukti empirisnya. Dalam kasus Bank Century ada dua fakta empiris: pertama, ada bailout, dan kedua: tidak ada krisis perbankan. Amat naif bila kita menyimpulkan bahwa karena bailout terhadap Century, krisis perbankan tidak terjadi. Sangat mungkin situasi perbankan yang aman disebabkan juga oleh faktor lain. Artinya, penyelamatan Century punya probabi­litas untuk benar dan sekaligus juga salah. Artinya pula, kondisi perbankan yang aman mungkin disebabkan oleh penyelamatan Century, tetapi bukan pasti karena itu. Namun, yang jelas: tidak ada bukti empiris bahwa dengan menutup atau tidak memberikan bailout kepada Century, krisis perbankan tidak terjadi. Karena faktanya: peme­rintah tidak pernah menutup Bank Century, dan krisis perbankan tidak terjadi. Karena itu, argumen bahwa kalau toh Century tidak di-bail out, ekonomi Indonesia akan selamat, tidak punya bukti empirisnya.

    Lalu bagaimana soal aliran dana? Atau soal penyalahgunaan? Jawabannya sederhana: buktikan saja melalui data PPATK dan penyidikan KPK. Jika memang ada bukti dan kesalahan: hukum saja mereka yang bertanggung jawab. Siapa pun dia. Apa pun posisinya.

    Tetapi soal menjadi lain jika ia masuk ranah politik. Di sini terbuka semua kemungkinan, termasuk pengadilan terhadap kebijakan, termasuk kemungkinan mendapatkan jabatan. Jika kebijakan bisa diadili, tak ada orang yang berani mengambil risiko kebijakan. Lalu, kalau terjadi guncangan di sektor keuangan lagi—dengan risiko sistemik atau terkenanya sektor perbankan—apakah pemerintah dan Bank Indonesia berani mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menenangkan sektor keuangan?

    Kalau sektor keuangan ada dalam risiko karena pe­merintah dan Bank Indonesia enggan mengambil langkah penyelamatan karena risiko politik, lalu siapa yang akan menjaga nasib tabungan di Indonesia. Lebih baik bila penabung menyimpan di negara lain yang lebih memberikan kepastian. Itu artinya arus modal keluar akan terjadi. Ingat: dalam periode September-Desember 2008, cadangan devisa anjlok hampir US$ 7 miliar karena modal keluar. Ini yang membuat rupiah anjlok sampai Rp 12 ribu. Saat ini, dengan stabilitas makro yang ada dan dengan likuiditas global yang berlimpah, arus modal masuk masih mengalir ke Indonesia. Tapi bagaimana jika krisis keuangan global terjadi lagi. Karena kita tahu, dunia belum sepenuhnya pulih dari krisis keuangan.

    Jadi, ini bukanlah sekadar soal mempertahankan Boediono dan Sri Mulyani. Ini adalah soal yang lebih besar: membela nasib Indonesia. Apakah karena persoalan politik, nasib rakyat harus dikorbankan? Siapa yang dibela? Kepentingan rakyat atau jabatan? Saya tak pandai menjawabnya. Kekisruhan dan keserakahan politik membuat kita lupa tentang nilai. Tentang integritas. Padahal kita tahu, negeri ini tak dibangun oleh keserakahan. Tak dibangun oleh perebutan kekuasaan. Ia dibangun oleh niat baik, ia dibangun oleh jutaan orang yang setiap hari bergulat untuk selangkah lebih baik. Ia dibangun oleh integritas, seperti rekam jejak Boediono dan Sri Mulyani selama ini. Integritas mungkin tak lebih kuat daripada kekuasaan, tetapi ia lebih tinggi. Sejarah menulis: republik ini dibangun oleh orang yang bisa bersikap, walau itu tak populer, walau itu tak ramai dijejaki orang. Mirip bait akhir puisi Rober Frost, The Road Not Taken:

    ”I took the one less travelled by/And that has made all the difference”.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus