Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SENGKETA panjang itu berakhir dengan kekalahan Pemerintah Provinsi Jakarta. Berselisih soal tarif layanan busway sejak mula 2008, awal bulan ini Badan Arbitrase Nasional Indonesia memenangkan gugatan konsorsium operator bus di koridor 4 hingga 7. Kini, pemerintah Ibu Kota harus membayar tarif per kilometer jauh di atas harga lelang.
Badan Arbitrase juga mengharuskan pemerintah Jakarta membayar Rp 15,3 miliar kepada konsorsium, sisa pembayaran tarif yang ditahan selama sengketa. ”Keputusan itu final dan mengikat, jadi harus dibayar,” kata Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto.
Melalui Badan Layanan Umum Transjakarta, pemerintah Jakarta mengoperasikan delapan koridor. Rute Pulogadung-Dukuh Atas merupakan Koridor 4, Ancol-Kampung Melayu Koridor 5, Ragunan-Latuharhari Koridor 6, Kampung Rambutan-Kampung Melayu Koridor 7. Konsorsium PT Jakarta Trans Metropolitan mengoperasikan 61 bus di koridor 4 dan 6, sedangkan koridor 5 dan 7 dikelola PT Jakarta Mega Trans dengan jumlah bus yang sama.
Badan Layanan membayar mereka dengan tarif per kilometer, tak bergantung pada jumlah penumpang yang diangkut. Untuk mengejar tenggat, pemerintahan era Sutiyoso menunjuk langsung para operator itu. Tarifnya Rp 12.885 per kilometer. Harga itu ketahuan terlalu tinggi ketika kemudian pemerintah Jakarta membuka tender untuk koridor yang sama.
PT Ekasari Lorena Transport dan PT Primajasa Perdanaraya Utama, yang memenangi tender, hanya dibayar Rp 9.500 per kilometer. Selisih itu membuat kas DKI jebol Rp 122,1 miliar—cukup untuk membeli 102 bus (lihat ”Jebol Fulus di Jalur Busway”, Tempo, 22 Juni 2009).
Setelah ada tarif lelang, Badan Layanan meminta negosiasi ulang. Konsorsium menolak. Pemerintah Jakarta pun menahan 15 persen pembayaran. Sengketa akhirnya dibawa ke Badan Arbitrase, pada 11 Maret lalu. Konsorsium memilih Agus Kartasasmita sebagai arbiter yang mewakili mereka, Badan Layanan menunjuk Todung Mulya Lubis.
Sumber yang mengikuti proses arbitrase menceritakan, pertemuan di kantor Badan Arbitrase hampir selalu berakhir ricuh. Apalagi jika Kepala Badan Layanan Daryati A. Rini mencecar komponen biaya tetap operator, satu komponen dasar penentuan tarif. Item ini akhirnya bisa disetip. Konsorsium yang semula memiliki empat direktur dengan gaji masing-masing Rp 65 juta per bulan dipangkas tinggal satu. Jumlah manajer dari lima orang dipangkas menjadi dua, mengikuti operator pemenang tender.
Ternyata, hasil akhirnya tetap tinggi. Pada 2 Desember lalu, Badan Arbitrase memutuskan tarif Rp 12.295 per kilometer. Selisih yang belum dibayar sejak awal 2008 mesti segera dilunasi. Wakil Ketua Badan Arbitrase Husseyn Umar menolak berkomentar ketika ditanya alasan putusannya. ”Sengketa dan perbedaan pendapat dalam arbitrase sifatnya tertutup,” katanya.
Seorang sumber yang mengetahui proses ini bercerita, komponen suku bunga investasi sebesar 20 persen merupakan biang tingginya tarif yang tak bisa dipangkas. Alasannya, ini merupakan perjanjian konsorsium dengan bank. Padahal bunga pemenang tender cuma 9,6 persen.
Walhasil, pemerintah Jakarta dipastikan harus mengucurkan subsidi operasional lebih tinggi. Ambil contoh di Koridor 7, setiap bus menempuh jarak 274 kilometer. Dengan tarif baru, perusahaan berhak atas bayaran Rp 3,3 juta. Jika dibandingkan dengan tarif hasil lelang, pemerintah membayar Rp 1 juta lebih mahal untuk setiap bus per hari.
Kepala Dinas Perhubungan Muchammad Tauchid Tjakra tidak merasa kalah. Menurut dia, turun beberapa ratus rupiah setiap kilometer dari tarif semula bukan nilai kecil. Ia pun menunjuk adanya revisi perjanjian kerja, yang mengatur hal-hal lebih detail. Misalnya, soal minimum kilometer, kondisi kelayakan bus, dan sanksi atas pelayanan operator yang tidak bagus.
Daryati A. Rini tak mau berkomentar. Ia tak menjawab telepon ataupun pesan pendek. Ia juga tak bisa ditemui di kantornya. Namun seorang petinggi di Badan Layanan mengatakan kantornya tak mau lagi berpolemik di media massa. ”Sekarang kami mau berkonsentrasi ke operasional, yang sempat kedodoran karena mengurus sengketa.”
Oktamandjaya Wiguna
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo