Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertemuan Para Pihak Ke-15 (COP-15) Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk perubahan iklim (UNFCC) di Kopenhagen dikhawatirkan akan menjadi forum pengalihan kesalahan atas kegagalan negara-negara industri Annex 1 memenuhi skema pengurangan emisi karbon yang digariskan Protokol Kyoto kepada negara-negara berkembang. Alih-alih berupaya keras memenuhi kewajiban menurunkan emisi, mereka membidik deforestasi sebagai biang persoalan perubahan iklim dunia karena aktivitas pembalakan dan perusakan hutan ditengarai menyumbang 20 persen dari total emisi gas rumah kaca dunia. Dengan argumen ini, COP-11 di Montreal pada 2005 merekomendasikan skema pengurangan emisi dari deforestasi (RED). Rekomendasi ini kemudian diakomodasi dalam COP-13 di Bali dengan penambahan klausul degradasi hutan sebagai penyebab terjadinya emisi selain deforestasi, sehingga skema RED diperbarui menjadi Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Skema ini tentu tidak dapat dibaca dari kacamata ilmiah semata karena faktanya hampir seluruh aktivitas deforestasi dan degradasi hutan yang dijadikan target REDD berada di wilayah negara-negara pemilik hutan tropis, yang tidak lain adalah negara-negara berkembang.
Akumulasi Emisi dari Negara Industri
Ide awal skema REDD pantas didukung karena mengusung konsep perlunya memberi reward bagi negara atau siapa saja yang berjasa bagi pengurangan emisi. Meskipun komitmen pengurangan emisi tidak mengikat negara berkembang, target pemerintah untuk mengurangi emisi hingga 26 persen patut diapresiasi dengan beberapa catatan. Pertama, harus dipastikan bahwa langkah-langkah pengurangan emisi dilakukan dengan cermat karena akan mempengaruhi sistem sosial, ekonomi, dan lingkungan secara keseluruhan. Penerapan skema REDD juga harus dilakukan secara selektif dan memperhatikan karakteristik lokal. Dalam pertemuan para pihak di Kopenhagen, pemerintah diharapkan berfokus memperjuangkan implementasi skema REDD di kawasan hutan konservasi dan hutan lindung. Bukankah tanpa REDD sekalipun kawasan tersebut wajib dilindungi keberadaannya? Ya, tapi kita wajib menegakkan hak memperoleh kompensasi dari negara industri maju atas piutang jasa lingkungan dari keberadaan hutan tropis kita, yang menyerap akumulasi emisi gas rumah kaca yang mereka gelontorkan ke atmosfer sejak revolusi industri ratusan tahun silam. Kita tidak boleh membiarkan negara-negara industri maju, yang sejak abad pertengahan telah menggunduli hutan alam mereka, menjadi free rider atas kenyamanan hidup di bumi milik bersama ini.
Kedua, perlu dicatat bahwa berbeda dengan penerapan skema REDD di kawasan hutan konservasi dan lindung, implementasi skema REDD di kawasan hutan produksi harus dilakukan dengan pertimbangan ekstracermat. Implementasi skema REDD di kawasan hutan produksi hanya layak dipertimbangkan untuk skema yang mengarah pada efisiensi produksi dan bukan memangkas target produksi kayu secara tajam, apalagi moratorium penebangan sebagaimana lantang disuarakan para makelar karbon (marbon) yang mulai rajin bergerilya di berbagai daerah. Kita harus waspada agar tidak terjerat perangkap, mengimplementasikan skema REDD di kawasan hutan produksi tanpa pertimbangan matang.
Setidaknya ada tiga perangkap yang harus diantisipasi sebelum memutuskan menerapkan skema REDD di hutan produksi. Pertama, walaupun secara finansial seolah menjanjikan, sebenarnya nilai ekonomi dari bisnis karbon di hutan produksi jauh lebih rendah dibandingkan dengan nilai ekonomi produksi kayu. Nilai kompensasi (penyerapan emisi) karbon saat ini berkisar US$ 5-12 per metrik ton, sedangkan harga jual kayu US$ 100-150 per meter kubik. Artinya, potensi nilai ekonomi karbon kurang dari sepersepuluh dari nilai ekonomi kayu sehingga sangat sulit mengharapkan pemerintah daerah atau pengusaha hutan beralih dari bisnis kayu ke bisnis karbon. Tidak hanya itu, sejatinya nilai ekonomi kayu tidak identik dengan harga kayu bulat karena bisnis sektor kehutanan memiliki keterkaitan ke depan (forward linkages) yang sangat panjang, kedua terpanjang setelah sektor pertanian dan perkebunan. Efek pengganda (multiplier effect), baik output, pendapatan, maupun tenaga kerja sektor kehutanan, juga relatif tinggi dibandingkan dengan 21 sektor perekonomian yang lain. Artinya, nilai ekonomi kayu tidak serta-merta dapat digantikan dengan pendapatan dari bisnis karbon. Penghentian penebangan atau pemangkasan jatah tebang besar-besaran tidak hanya berakibat pada berkurangnya nilai pendapatan dari produksi kayu, tapi nilai tambah dan efek penggandanya di sektor hilir akan lenyap pula. Kinerja sektor-sektor perekonomian yang lain dipastikan juga akan terganggu.
Perangkap kedua, meskipun wacana tentang skema REDD sangat nyaring digaungkan, sejatinya secara makro kontribusi ekonomi bisnis karbon tidak signifikan. Kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional (PDB) pada saat ini hanya sekitar 0,9 persen. Seandainya negosiasi implementasi REDD berhasil dan seluruh kawasan hutan di Indonesia dipergunakan sebagai basis perhitungan bisnis karbon, diperkirakan kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB hanya akan meningkat tidak lebih dari 1 persen. Apabila dibandingkan dengan potensi ekonomi jasa lingkungan hutan yang lain, misalnya fungsi tata air, bisnis karbon jauh dari menarik. Sekiranya nilai tata air seluruh kawasan hutan Indonesia dapat direalisasi nilai ekonominya, maka kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB diperkirakan akan melonjak menjadi 25 persen. Jelas bahwa sebenarnya nilai ekonomi jasa lingkungan hutan dari fungsi tata air jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari bisnis karbon. Maksudnya, jangan sampai kita terlalu banyak membuang waktu dan energi memperdebatkan skema REDD di hutan produksi yang sebenarnya kurang bernilai strategis, tapi lupa menggarap potensi jasa lingkungan lain yang jauh lebih realistis dan tidak terikat dengan kepentingan asing.
Perangkap ketiga adalah kemungkinan semakin maraknya praktek illegal logging pascaimplementasi REDD. Salah satu penyebab utama terjadinya pembalakan liar di Indonesia adalah ketimpangan antara jumlah pasokan dan kebutuhan kayu bulat yang menganga lebar. Dengan diberlakukannya skema REDD di hutan produksi, pasokan kayu bulat akan berkurang drastis, yang berakibat pada semakin besarnya disparitas pasokan-permintaan kayu bulat. Persoalan ini sulit teratasi karena kapasitas terpasang industri perkayuan nasional yang sudah telanjur besar memerlukan bahan baku dalam jumlah yang sangat banyak. Sementara itu, target pertumbuhan dan peningkatan devisa yang dipatok untuk setiap sektor menempatkan Departemen Kehutanan pada posisi yang sulit untuk mengurangi jatah tebang. Selain itu, pemenuhan kayu untuk konsumsi domestik, baik untuk pembangunan infrastuktur maupun perumahan, juga harus diperhatikan. Masalah ini dapat teratasi jika tersedia bahan substitusi pengganti kayu yang mudah diperoleh, harganya terjangkau, teknologinya dikuasai, dan ramah lingkungan. Kenyataannya, sangat sulit mencari bahan substitusi kayu yang memenuhi kriteria itu. Beberapa kalangan mengusulkan mendorong penggunaan plastik atau logam sebagai pengganti kayu, tapi ternyata pengaruhnya terhadap lingkungan tidak lebih baik, bahkan mungkin jauh lebih buruk dibanding kayu.
Selain harus dapat mengantisipasi tiga perangkap REDD di hutan produksi, implementasi REDD harus dapat menjawab kekhawatiran atas hilangnya akses masyarakat lokal terhadap sumber daya hutan. Skema REDD hanya dapat terimplementasi secara baik jika mendapatkan dukungan masyarakat. Tanpa melibatkan partisipasi masyarakat, dapat dipastikan skema REDD yang diteken di Kopenhagen hanya eksis di atas kertas. Berhati-hatilah, tanpa pertimbangan cermat, komitmen yang (dianggap) baik dapat berujung petaka!
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo