Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Boh

Aung San seorang pahlawan myanmar. bersama sejum- lah orang hasil didikan militer ia melakukan perlawanan terhadap inggris. kini putrinya, Suu Kyi, disekap rezim militer myanmar.

18 Januari 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GAJAH mati meninggalkan belangnya, Aung San mati meninggalkan Suu Kyi. Tentu, wanita itu bukan hanya seraut gading dari nama besar mendiang ayahnya. Suu Kyi kini pemimpin oposisi untuk hak-hak asasi di Myanmar dan penerima Hadian Nobel Perdamaian 1991. Namun, memang ada yang tak terelakkan bila seseorang jadi anak seorang tokoh pergerakan nasional yang dianggap pahlawan. Komitmen Suu Kyi tak bisa dilepaskan dari ayah itu, Aung San, dan tanah air itu, Myanmar. Ia memang menikah dengan seorang Inggris, dan ia lebih lama hidup di luar negeri. Tapi, sebelum perkawinannya, ia sudah menulis surat kepada Michael, calon suaminya itu: "... kalau bangsaku memerlukan aku, kau harus menolongku untuk menjalankan kewajibanku bagi mereka." Maka ketika Myanmar jadi gelap, setelah sejumlah demonstran yang menentang pemerintah di Rangoon ditembaki, ia tak menampik untuk dipilih sebagai pemegang obor. "Kamu bukan cuma berani karena keyakinanmu, Suu, tapi juga karena hubungan-hubunganmu," kata seorang teman keluarga. "Hubungan" utama Suu memang ayahnya sendiri, yang di dalam pelbagai kesempatan ia sebut dengan rasa kagum luar biasa. Freedom from Fear, buku yang memuat pernyataan dan tulisan Suu Kyi dan diterbitkan baru-baru ini, dipersembahkan kepada sang ayah. "Apabila aku menghormati ayahku, aku menghormati semua yang berdiri tegak untuk integritas politik di Burma," tulisnya. Aung San, sang ayah, lahir di tahun 1915 di Burma tengah. Anak laki-laki bungsu dari keluarga petani ini dengan segera memasuki sebuah kehidupan yang cirinya adalah perlawanan menentang Inggris, si penjajah. Pemuda desa yang pakaiannya lusuh dan kurang pandai bergaul itu tak diperhitungkan dalam kalangan mahasiswa Rangoon yang serba keren. Namun, dengan demikian, agaknya ia harus membuktikan diri bahwa ia tak bisa disepelekan, atau ia dengan sendirinya memang tahu bahwa ia lain dari yang lain. Ia aktif sebagai pengasuh majalah kampus yang berani, dan setelah lulus dari Universitas Rangoon, ia bergabung ke dalam organisasi Dohbama Asiayone ("Kami Orang Burma"). Dari sini, ia bergerak ke kegiatan di bawah tanah, dan dari kegiatan rahasia itulah ia berangkat melaksanakan rencananya: menggunakan perjuangan bersenjata untuk kemerdekaan. Agustus 1940, Aung San dan seorang temannya meninggalkan Burma dengan kapal ke Amoy. Mereka mencoba mengontak orang-orang komunis Cina, tapi tak berhasil. Seorang agen pemerintah Jepang kemudian muncul, dan kedua orang Burma itu diterbangkan ke Tokyo. Di sana, ia bertemu dengan seorang kolonel Jepang yang mengepalai badan rahasia untuk "memerdekakan Burma". Februari 1941, Aung San kembali dengan menyamar sebagai seorang pelaut Cina. Ia menyiapkan sejumlah orang yang akan menjalani latihan militer secara rahasia di Pulau Hainan, sebagai inti perlawanan terhadap Inggris. Aung San kemudian memimpin cikal-bakal tentara kemerdekaan Burma ini. Sang tokoh pergerakan politik masuk menjadi tokoh militer, meskipun kemudian, menjelang kemerdekaan, ia kembali ke kancah politik -- satu hal yang agaknya unik dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di Asia Tenggara. Militer atau sipil, Aung San telah mendapatkan julukan Bogyoke. Kata ini berarti mayor jenderal, tetapi dalam hal Aung San itu berarti juga "bapak tentara", sebab dialah sang pendiri. Terkadang ia juga dipanggil "Boh Aung San". Dalam sebuah tulisan Suu Kyi, disebutkan bahwa Boh, yang berarti "pemimpin", berasal dari kata bala, yang dalam Bahasa Pali berarti "kekuatan". Namun, agaknya khas buat Aung San -- yang dalam hidupnya jabatan militer bukan sebagai suatu karier, melainkan sebagai alat perjuangan -- bahwa Boh tak bisa berdiri sendiri. Bala itu harus tak mudah jadi balakara atau kekerasan. Tentang itu, Suu Kyi pun menyebut betapa ayahnya sejalan dengan kata-kata seorang penyair Burma abad ke-18, Let-We Thondara: "Betapa unggulnya pun siasat perang, betapa dahsyatnya senjata, tanpa menemukan tempat di hati rakyat, tanpa mempercayai kekuatan rakyat, ujung pedang akan hancur dan tombak akan bengkok." Mungkin sebab itu Suu Kyi yakin bahwa ia tak akan kalah: wanita yang berwajah lembut dan bertubuh semampai itu memang didukung rakyat, meskipun ia disekap oleh senapang. "Bukan kekuasaan yang merusak watak, melainkan ketakutan," katanya. "Takut kehilangan kekuasaan merusak mereka yang memegang kekuasaan, dan takut akan dilanda kekuasaan merusak mereka yang dikuasai". Maka manusia harus mengendalikan ketakutannya, bukan takluk kepadanya. Goenawan Mohamad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus