Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEJAK awal, kasus Gayus Halomoan Tambunan terkesan aneh bin ajaib. Di Pengadilan Negeri Tangerang, penelaah keberatan pajak (banding) perorangan dan badan hukum Kantor Pusat Direktorat Pajak itu divonis bebas. Meski ia dijerat dengan dua dakwaan-pencucian uang dan penggelapan-majelis hakim menilai alat buktinya tak memadai. Gayus melenggang kalem.
Putusan bebas itu baru membuat heboh setelah mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji angkat bicara. Susno menyatakan kasus ini sarat muatan makelar kasus. Ia menuding jaksa dan hakim main mata. Susno bahkan menyebut empat bekas bawahannya di Badan Reserse ikut menikmati pencairan dana tak wajar milik Gayus, senilai Rp 28 miliar.
Semula, Jenderal Bambang Hendarso Danuri sempat mengatakan tudingan Susno urusan internal. Dua perwira tinggi yang disebut Susno malah menuntut jenderal bintang tiga itu dengan tuduhan pencemaran nama baik. Tim pemeriksa dari Divisi Profesi dan Pengamanan Kepolisian pun disiapkan untuk memeriksa Susno dengan dugaan pelanggaran etika dan disiplin. Agak menggelikan bahwa "tidak masuk kerja 78 hari" dianggap lebih gawat ketimbang persekongkolan penggelapan pajak.
Polisi bahkan sempat menyatakan akan segera memeriksa Susno Duadji untuk kasus pencemaran nama baik. Mereka seolah-olah lupa pada Surat Edaran Kepala Kepolisian tahun 2005 yang memprioritaskan penanganan kasus dugaan korupsi ketimbang pencemaran nama baik. Bahkan jika dirujuk ke Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, khususnya pasal 310, dugaan korupsi tetap didahulukan.
Paling tidak ada tiga lembaga yang harus terbuka dan menekan arogansi untuk membenahi diri dalam kasus ini: Direktorat Pajak, kepolisian, dan kejaksaan. Gayus, pegawai negeri golongan III-A itu, tak mungkin main sendiri. Atasannya dan lingkungan dekatnya di instansi itu harus diperiksa. Bagaimana mungkin mereka tak kagum menyaksikan sejawat yang "hanya" bergaji sekitar Rp 12 juta punya rumah mewah dan gonta-ganti mobil mahal. Atau, "kegayusan" memang sudah lazim di instansi itu?
Polisi juga sebaiknya tak cepat bersikap defensif. Susno memang harus segera diperiksa. Tapi bukan untuk tuduhan pencemaran nama baik dan tak masuk kantor 78 hari, melainkan untuk membuktikan tudingannya. Sebagai jenderal bintang tiga, tak mungkin Susno buta risiko hukum jika uar-uarnya pepesan kosong belaka. Bahwa di tubuh kepolisian terdapat konflik tak pula perlu ditutupi. Bak kata peribahasa, "menutupi matahari dengan telapak tangan merupakan pekerjaan sia-sia".
Akan halnya kejaksaan, Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan menemukan kejanggalan dalam proses penuntutan Gayus. Jaksa Agung "mempertaruhkan" pengalamannya 37 tahun sebagai jaksa sebelum menengarai kejanggalan itu. Dari Komisi Yudisial pun muncul sinyal menggembirakan, ketika Ketua Komisi berjanji membentuk tim untuk memeriksa proses pengambilan putusan pengadilan yang membebaskan Gayus.
Di tengah cabuh "kegayusan" ini, muncul berita stop press: sang Gayus ternyata sudah lolos ke Singapura. Dengan prasangka baik, bolehlah dikatakan kebetulan semata bahwa Gayus kabur hanya dalam hitungan jam sebelum kepolisian meminta instansi imigrasi mencegahnya meninggalkan Indonesia.
Jika semua instansi penegak hukum memiliki iktikad bersama, kasus ini sebetulnya tidak terlalu pelik. Gayus memang sudah kabur, tapi dia sempat bertemu tiga kali dengan Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum. Pertemuan terakhir malah terjadi hanya beberapa jam sebelum ia berangkat dari Bandara Soekarno-Hatta, "disertai beberapa orang". Dalam pertemuan itu dikabarkan Gayus memberikan "informasi cukup penting dan sangat strategis".
Kunci perkara semakin longgar setelah Andi Kosasih, tokoh misterius yang sempat diduga fiktif, muncul menyerahkan diri. Dialah yang selama ini dikatakan pemilik uang Rp 28 miliar di rekening Gayus. Andi langsung diperiksa oleh tim independen yang dibentuk kepala kepolisian. Tapi, tetap muncul hal aneh. Pemeriksaan awal tak disaksikan Komisi Kepolisian Nasional-satu di antara unsur tim independen.
Kasus Gayus hanyalah puncak gunung es yang dasarnya belum terduga. Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menyatakan, sudah empat kali mereka menyampaikan kecurigaan atas rekening Gayus, masing-masing pada Maret 2009, Juni 2009, Agustus 2009, dan terakhir Maret 2010. Ketua Pusat Pelaporan tak bisa menepis kesan pembiaran, baik dari pihak kepolisian maupun kejaksaan.
Kasus Gayus hendaklah menjadi pengingat bahwa berbagai hal aneh bin ajaib masih bertumpuk di sekitar mafia hukum di negeri ini. Perlu kerja ekstrakeras memberantas "penyakit menahun" ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo