Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Seruan (Lagi) Kembali ke Khitah

Peran lebih besar saatnya diberikan kepada kalangan NU kultural. Pengap dan sumpek dengan pertikaian politik.

5 April 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MUKTAMAR Nahdlatul Ulama di Makassar, pekan ini, merupakan yang pertama kali tanpa kehadiran ”ikon” NU Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, yang wafat pada akhir Desember tahun lalu. Terasa lebih sepi, tapi tetap ada yang menarik.

Rais am, pemimpin tertinggi organisasi kaum nahdliyin itu, tetap berada di tangan KH Sahal Mahfudz, yang juga duduk di posisi itu pada periode kepengurusan sebelumnya. Pesaing Sahal, KH Hasyim Muzadi, ketua umum (tanfidziyah), yang dikenal sebagai figur yang lebih ”politis” ketimbang Sahal, mundur dari pencalonan rais am.

Kiai Sahal merupakan tokoh yang selama ini menjaga haluan NU sebagai organisasi yang berorientasi kepada pesantren dan pengembangan misi keagamaan. Dengan Kiai Sahal di posisi lamanya, Said Aqil Siradj sebagai ketua umum yang baru dengan mengalahkan Slamet Effendi Yusuf lewat pemungutan suara akan mendapat tantangan besar untuk membawa NU ke dalam kancah politik praktis.

Selama ini NU memang pengap dan sumpek dengan pertikaian internal berlarut-larut dalam Partai Kebangkitan Bangsa. Itu alasan penting sebagian penyokong NU menggunakan momentum istimewa ini untuk berseru: tinggalkan politik praktis, kembalilah ke Khittah 1926. Mungkin intuisi dialektik yang butuh penyegaran ini yang membuat mereka menegaskan perlunya reorientasi gerakan NU, supaya kaum nahdliyin tidak terkotak-kotak oleh politik praktis.

Kekhawatiran terhadap politik praktis ini seakan-akan mendapatkan ”bukti nyata” manakala dua kandidat ketua umum, KH Salahuddin Wahid dan KH Said Aqil Siradj, menyempatkan diri sowan, mohon restu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di Cikeas, dua pekan lalu. Di mata mereka, langkah simbolis ini membuat NU rawan intervensi pemerintah.

Memang harus diakui, ada perbedaan yang tidak bisa dinafikan antara aspirasi elite dan umat nahdliyin, serta antara PKB dan NU. Kendati untuk yang terakhir ini, masyarakat sukar membedakan keduanya lantaran sosok yang muncul dalam partai politik dan organisasi massa itu adalah orang yang sama. Dengan kata lain: PKB yang bertikai terus, NU (sebagai jam’iyyah) yang kena getahnya. NU sebagai jam’iyyah sejak semula mempunyai cita-cita memberdayakan masyarakat secara kultural.

Politik tokoh-tokoh NU yang selama ini bersemayam di PKB bisa dibilang telah gagal, terutama karena partai politik itu telah mendeformasi struktur sosiologis nahdliyin. NU politik ini—dibedakan, dikontraskan dengan NU jam’iyyah—seperti yang dikatakan pakar NU Greg Barton, bersifat oportunistik dan akomodasionistik pada kekuasaan politik. NU politik merupakan satu karakter di kalangan internal NU yang berusaha mengupayakan perjuangan bagi nahdliyin untuk masuk tingkatan kebijakan struktural negara. Bagi sebagian nahdliyin, Hasyim Muzadi terhisab ke dalam bingkai politik ini.

Berseberangan dengan NU politik, sebenarnya banyak nahdliyin yang lebih menonjolkan NU dalam bingkai kultural. Golongan ini lebih banyak bergerak dalam pengembangan intelektualitas lewat pembangunan berbasis pesantren, dan juga pembangunan interaksi sosial nahdliyin dengan masyarakat luas. Kalangan ini juga sangat berperan dalam mengatasi gejala ekstremisme yang muncul dalam masyarakat. Mungkin memang sudah saatnya memberikan peran lebih besar kepada NU kultural. Ini suatu dialektik yang tak terhindarkan setelah sekian lama elite NU asyik dengan kiprah masing-masing.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus