Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Brand Journalism untuk Komunikasi Politik di Pemilu 2024

Citizen journalism seperti TempoWitness bisa direplikasi jadi model untuk pengembangan brand journalism sebagai piranti komunikasi politik di pemilu 2024.

21 Februari 2023 | 13.30 WIB

Ilustrasi Pemilu. ANTARA
Perbesar
Ilustrasi Pemilu. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK lama lagi baliho, poster dan spanduk berisi wajah-wajah calon legislator untuk DPR maupun DPRD kota, kabupaten dan provinsi akan memenuhi ruang-ruang publik di sekitar kita. Para kandidat, dari calon legislator sampai calon presiden, akan berlomba memperkenalkan diri pada khalayak ramai agar punya kans terpilih pada pemilihan umum Februari 2024 mendatang. Dengan memamerkan wajah di baliho dan poster, mereka ingin memastikan nama dan afiliasi partai politik mereka tertanam di kepala para calon pemilih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain media luar ruang, iklan politik para kandidat juga bakal membanjiri media massa—terutama stasiun televisi dan media online, baik di level lokal maupun nasional. Berdasarkan catatan AC Nielsen, anggaran untuk iklan di media, termasuk media luar ruang, rata-rata mencapai 70 persen dari total anggaran kampanye. Satu sumber menyebut belanja iklan politik di Pemilu 2019 saja mencapai Rp 2,1 triliun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Seberapa efektif sebenarnya iklan kampanye di luar ruang dan iklan di media massa tersebut untuk meningkatkan keterpilihan seorang kandidat? Coba Anda ingat-ingat: ketika mencoblos nama seorang caleg pada pemilu lalu, apa faktor utama yang mempengaruhi pilihan Anda? Poster wajah sang kandidat di tepi jalan, atau iklan partai politik asal sang caleg di media massa? Bisa jadi, jawabannya akan berbeda-beda tergantung latar belakang Anda. Pemilih yang kadar keterlibatan politiknya rendah bisa sangat terpengaruh oleh iklan politik di televisi. Namun mereka yang intensif mengikuti berita politik mungkin bergeming dengan model kampanye semacam itu.

Karena itu, untuk menjawab pertanyaan di atas, penting untuk mengkaji variabel apa saja yang mempengaruhi preferensi atau keputusan warga memilih di bilik suara. Banyak riset menunjukkan bahwa variabel awal yang terpenting adalah “dikenal tidaknya si kandidat” atau awareness. Sejauh mana pemilih mengingat wajah kandidat akan mempengaruhi pilihan mereka ketika masuk ke bilik pencoblosan. Namun, mengingat nama dan wajah calon saja belum cukup untuk mendorong pemilih membuat keputusan mencoblos.

Ada variabel lanjutan yakni pengetahuan (knowledge) mengenai kandidat yang diingatnya itu. Pengetahuan mengenai kelebihan si kandidat, substansi janji yang disampaikan, serta rekam jejaknya di masa lalu jadi penting sebagai bahan pertimbangan para pemilih. Pengetahuan itu haruslah menunjukkan kualitas sang kandidat sehingga terbentuk sebuah asosiasi positif atas sang calon. Brand association yang menunjukkan kualitas si kandidat akan berperan menentukan keterpilihan.

Ketika brand association positif telah terbentuk di figur seorang kandidat, keputusan final sang pemilih akan dipengaruhi oleh makna politik apa yang bakal terbentuk di benak mereka, sebagai interpretasi atas produk politik atau janji kampanye sang kandidat. Karena itulah, kandidat petahana misalnya, selalu memiliki keunggulan komparatif dibanding pesaingnya. Kandidat ini bisa menunjukkan hasil kerjanya selama menjabat sebagai bukti keberhasilan menunaikan janji politik mereka. Karena itu, kandidat penantang baru harus punya tawaran produk politik lain untuk membangun imaji di benak pemilihnya.

Dengan demikian, setidaknya ada dua hal penting yang menjadi pertimbangan pemilih ketika menentukan pilihan politiknya di bilik suara: ada tidaknya personal brand yang menggambarkan kualitas kandidat serta kesesuaian makna politik dari janji kampanye sang kandidat dengan ekspektasi si pemilih. Kedua hal tersebut tentu tidak bisa terpenuhi hanya dengan memasang poster dan baliho di pinggir jalan. Iklan di media luar ruang semacam itu hanya bisa mendongkrak tingkat dikenalnya seorang kandidat, namun tidak banyak berperan membentuk asosiasi jenama (brand association) yang positif, apalagi membangun makna politik yang relevan di benak pemilih.

Walhasil, di era digital seperti saat ini, para kandidat termasuk para caleg DPR atau DPRD, sebaiknya tidak jor-joran membelanjakan dana kampanye mereka untuk memasang baliho, poster atau selebaran semata. Model kampanye semacam itu hanya bakal dilihat sebagai upaya membangun citra, tanpa substansi yang mumpuni.

Di sejumlah negara maju, belakangan ini ada tren di kalangan politikus untuk menggunakan piranti komunikasi baru, yang bisa digunakan bahkan sebelum masa kampanye dimulai. Piranti ini lazim dikenal dengan sebutan brand journalism. Genre ini sebelumnya dikenal di dunia periklanan sebagai bagian penting dari content marketing dengan berbagai format. Berbeda dengan piranti pemasaran yang menitikberatkan pada format konten saja, brand journalism memfokuskan perhatian pada kisah atau storytelling. Sejumlah aspek penting dari jurnalisme seperti kebenaran (truth), edukasi, manfaat untuk publik, serta transparansi juga jadi elemen penting dari brand journalism.

Dengan metode ini, korporasi mencoba membangun kedekatan dengan audiensnya melalui diseminasi kisah-kisah yang bermanfaat dan edukatif. Dalam dunia pemasaran konten, strategi ini dinilai lebih efektif dalam jangka panjang untuk membangun asosiasi brand yang positif. Secara teknis, brand journalism menuntut si pemilik brand untuk membangun newsroom sendiri yang rutin memproduksi kisah (stories) yang mewakili ekspektasi audiens mereka sekaligus menyelaraskan ekspektasi tersebut dengan tawaran produk mereka.

Di dunia politik, brand journalism bisa didesain untuk membangun personal branding seorang kandidat di mata publik. Tentu genre ini tidak murni produk jurnalistik karena brand journalism menggabungkan aspek kehumasan (public relation), pemasaran, komunikasi, dan jurnalistik untuk mempromosikan sebuah jenama (brand). Intinya, brand journalism menggunakan konten yang dibuat melalui metode jurnalistik berkualitas untuk menarik audiens, mempertahankan dan membangun kepercayaan pada brand sebuah lembaga atau individu.

Penggunaan brand journalism dimudahkan di era internet seperti saat ini. Teknologi digital memungkinkan siapa saja membangun dan memiliki medianya sendiri. Situs web seorang kandidat misalnya, bisa menjadi saluran penyampaian konten jurnalistik berkualitas mengenai sang kandidat. Jika situs web itu dikelola layaknya sebuah media profesional dengan target audiens para konstituen di daerah pemilihannya, maka asosiasi brand yang positif pun bisa terbentuk. Apalagi, konten yang dipublikasikan pun harus dibuat melalui proses jurnalistik—memenuhi syarat nilai berita (news values) seperti kebaruan, aktualitas dan faktual. Niscaya, konten brand journalism bakal lebih dipercaya publik ketimbang iklan-iklan pencitraan semata.

Tak hanya itu. Penggunaan brand journalism juga bisa membangun ruang interaksi dengan audiens (konstituen) sang kandidat. Dengan cara itu, personal branding dan pemaknaan politik seputar gagasan dan produk politik sang kandidat pun bisa terus dibangun berdasarkan fakta dan informasi konkret dari akar rumput. Brand journalism menciptakan dan mempertahankan citra sesungguhnya dari sang calon, juga menciptakan nilai-nilai spesifik pada target audiens dengan membangun komunitas dan loyalitas dari para stakeholders. Ketika menyampaikan kisah dan menguatkan personal brand seorang kandidat, brand journalism juga membangun kredibilitas berdasarkan karakter si calon dan memperluas jangkauan komunikasi dengan audiens potensial lainnya.

Ada tiga komponen utama dari brand journalism yang baik: konsistensi, multidimensi, dan setia pada disiplin jurnalistik. Konsistensi menjadi penting untuk menarik perhatian dan minat audiens. Untuk itu, brand journalism harus mempublikasikan informasi yang relevan, bermanfaat, terintegrasi dan melibatkan audiens seperti layaknya media massa. Newsroom sang kandidat secara berkala harus menerbitkan konten yang baru, yang dibutuhkan oleh target audiensnya, secara terus menerus tanpa berhenti.

Kemudian, brand journalism juga bersifat multidimensi. Artinya, dalam genre ini, publikasi konten bukan hanya komunikasi satu arah seperti praktik piranti komunikasi pemasaran lain. Dalam brand journalism, komunikasi harus berupa dialog yang menuntut ada pertukaran informasi. Informasi tentang personal branding sang caleg harus menjadi ruang informasi yang juga bermakna bagi audiens.

Komponen ketiga adalah jurnalistik. Brand journalism mensyaratkan keberadaan redaksi yang merencanakan, mengeksekusi dan menayangkan kisah-kisah baru yang dibutuhkan atau dicari oleh audiens (konstituen). Konten harus dibuat dengan disiplin verifikasi jurnalistik, mengikuti format bercerita atau storytelling yang berkualitas. Setiap konten yang dipublikasikan harus merupakan kisah atau cerita yang aktual, menarik dan dinamis mengenai sang kandidat, kiprahnya, rencana-rencananya dan interaksinya dengan calon pemilih.

Citizen Journalism
Lima tahun yang lalu, Tempo mengembangkan sebuah model citizen journalism baru yang dinamakan jurnalisme rakyat. Dalam konsep ini, dengan sengaja, citizen journalism diterjemahkan sebagai jurnalisme rakyat, bukan jurnalisme warga. Pasalnya, TempoWitness didesain sebagai media yang memberikan suara kepada mereka yang tidak bisa bersuara—giving voice to the voiceless. Dalam model ini, rakyat yang menentukan definisi dari nilai berita.

Jurnalis rakyat TempoWitness menggunakan aplikasi ponsel cerdas untuk mengirim informasi berupa video pendek, foto, teks atau audio. Sebelum dipublikasikan, laporan akan diperiksa editor dan hanya yang memenuhi syarat yang ditayangkan di https://witness.tempo.co/.

Citizen journalism seperti TempoWitness bisa direplikasi jadi model untuk pengembangan brand journalism sebagai piranti komunikasi politik di pemilu 2024. Selain efektif untuk memantau kondisi dan situasi di daerah pemilihan, citizen journalism bisa dipakai sebagai mekanisme umpan balik (feedback) untuk menguji dampak dari kerja-kerja politik seorang kandidat. Berdasarkan laporan langsung dari lapangan, kandidat bisa merespon secara publik sebagai bagian dari tanggung jawab sang caleg kepada konstituennya. Interaksi dan aksi sang caleg menjadi informasi baru untuk meneguhkan personal brandingnya dan menguatkan imaji positifnya di benak pemilih.

Proses interaksi aktif (engagement) ini akan membangun ikatan sosial dan bahkan emosional antara caleg dengan konstituennya. Ikatan sosial dan emosional ini pada akhirnya akan meningkatkan peluang keterpilihan sang kandidat. Pendekatan brand journalism yang dipadukan dengan citizen journalism seperti ini bahkan bisa terus digunakan setelah sang kandidat terpilih, sebagai bukti kepeduliannya pada rakyat.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus