APA arti peristiwa Jember?
Jember, serta bagian timur dari Jawa Timur adalah daerah migrasi
dari Madura. Wilayah ini relatif baru dibuka, dan dianggap
sebagai daerah perbatasan (frontier area), tempat kerawanan
sering terasa. Dalam daerah perbatasan ini, frontier justice
atau main hakim sendiri seperti dalam film-film koboi Amerika
sering terjadi, karena aparat negara belum dapat menguasai
seluruhnya.
Dalam peristiwa Jember, yang menarik adalah fenomena
"bromocorah". Dalam masyarakat Jawa mereka dikenal juga dengan
istilah umum jago. Di Banten sebagai jawara, dan di daerah lain
sebagai weri, atau blater.
Dalam pelbagai dokumen Hindia Belanda, mereka biasanya disebut
sebagai orang-orang desa yang "lebih pintar" daripada penghuni
lain. Mereka lebih banyak mengetahui mengenai dunia luar, dan
biasanya mempermainkan keadaan orang desa. Mereka itulah orang
bekas hukuman, atau, kalau tidak, calon penghuni penjara.
Di lain pihak, para jago ini juga banyak dipakai untuk
kepentingan pemerintah. Mereka bisa jadi penjaga tata-tentrem,
khususnya dalam hal mengawasai sesama jago. Mereka dipakai juga
untuk menarik pajak, mengawasai kerja rodi dan lain-lain.
Antara jago yang di pihak pemerintah, dan jago yang dipenjarakan
pemerintah karena melanggar hukum, sebenarnya tidak banyak
bedanya. Contoh jelas adalah peristiwa Jember. Para vigilantees
membantu polisi dalam mengawasi segolongan jago, tetapi sekarang
merekalah yang dituduh pembunuh dan ditahan. Memang, dalam
praktek, para jago dapat dengan mudah mengubah peran.
Tulisan ini akan meninjau peranan jago dalam masyarakat Jawa di
masa lalu, dan membandingkan peristiwa di Jember dengan suatu
peristiwa yang mirip di daerah Madiun di sekitar 1900.
Peranan jago dalam masyarakat berasal dalam kerajaan tradisional
Jawa. Dalam menegakkan kerajaan, dan dalam sistem ekploatasi
yang dijaga sebagai tata-tentrem, sebenarnya banyak kekerasan
dipergunakan di kerajaan itu.
Banyak raja pertama Jawa berasal dari kalangan jago. Misalnya
Ken Arok, Senapati dan lain-lainnya. Selanjutnya, karena
diperlukan unsur paksaan dari atas terhadap masyarakat,
penggunaan para jago berjalan terus. Mereka merupakan unsur
penting dalam sistem pemerintahan tradisional.
Soemarsaid Moertono, seorang ahli yang pernah menulis tentang
ketataprajaan kerajaan Mataram, menyebut bahwa salah suatu teori
pemerintahan adalah "menangkap maling dengan maling". Bekas
penyamun sering dipakai dalam kedudukan sebagai bupati dan
kolektor pajak-pajak. Kalau misalnya di suatu daerah ada seorang
perampok terkenal, maka daripada sukar untuk ditindas, perampok
ini dijadikan bupati (pengumpul pajak).
Dengan kata lain, penggunaan kekerasan yang legal dalam mengabdi
raja, dan penggunaan kekerasan yang ilegal untuk mengganggu
tata-tentrem praja adalah dua hal yang batasnya sangat samar
dalam masyarakat masa lampau.
Suatu sistem pemerintahan yang sangat berdasar pada kekerasan,
dan bukan pada hukum -- dan sebagai akibatnya banyak menggunakan
jago-jago dan bukan polisi profesional -- oleh para ahli ilmu
politik disebut sebagai political gangsterism, semacam sistem
politik-mafia.
Negara-negara feodal di Abad Pertengahan Eropa dengan
bentengnya, dengan tentara berkuda dan lainnya, sebenarnya
adalah sistem gangster politik. Demikian juga sistem warlord
pada masa keruntuhan pemerintahan pusat di Cina pada masa
lampau. Dengan sendirinya begitu juga kerajaan tradisional
seperti Mataram.
Sistem pemerintahan Hindia Belanda sebenarnya juga demikian,
bila dilihat sistem eksploatasinya yang ketat dan keras. Di
bawah permukaan lembaga politik, birokrasi dan
ambtenar-ambtenarnya yang lengkap, unsur kesewenangwenangan dari
atas -- yang memaksa penduduk untuk kerja rodi di perkebunan dan
membayar pajak -- dilakukan melalui para jago. Mereka inilah
yang disebut tusschenpersonel (perantara) dalam dokumen
pemerintahan Hindia Belanda. Khususnya dalam zaman Tanam Paksa
(1830-1870), sistem pemerintahan hanya berjalan baik bagi
Belanda karena mereka ini.
Kita juga tahu dari kepustakaan, bahwa di tanah partikelir
terdapat pula hal yang sama: penggunaan tukang pukul oleh tuan
tanah atau administratir perkebunan.
Sekitar tahun 1900, Belanda sendiri kurang puas atas keadaan
itu. Sebab tiap kali ada peristiwa pemukulan dan main hakim
sendiri, tentu ada kegemparan masyarakat. Suatu komisi
pemerintah meneliti persoalan ini. Hasilnya ialah dua jilid
tebal Recht en Politie dan entah beberapa jilid tebal lagi
mengenai Desa.
Dalam jilid-jilid ini nampak bahwa beberapa bupati progresif dan
modern, misalnya, Kusumo Utojo dari Ngawi, menunjukkan pada
Belanda kesalahan sistem kepolisian sendiri. Dikatakan oleh para
bupati ini, bahwa polisi profesional tidak tersedia. Karena
kekuasaan polisi dijabat kepala desa, maka hak polisi tentu
juga digunakan untuk mcmojokkan lawan si pamong desa. Rumah
penduduk dapat digeledah seenaknya saja. Setiap orang dapat
diawasi dan disandera.
Bila di satu pihak, sistem kepolisian Hindia Belanda sekitar
1900 masih kuno, di pihak lain prinsip pemerintahannya mulai
berubah. Belanda sekitar 1900 lebih menekankan asas sistem
birokratis. Menurut prinsip birokrasi ini, semua urusan harus
melalui jalan resmi. Sistem pemerintahan yang berdasarkan
pemimpin tak resmi, seperti para jago misalnya, tidak
diperkenankan lagi.
Peranan jago malah dilihat sebagai sesuatu yang ilegal, sebagai
pemeras rakyat setempat dan penghalang jalannya peraturan resmi.
Dengan sendirinya para jago, para "calo" antara penguasa dan
masyarakat yang demikian liar, kena peraturan. Residen Madiun
umpamanya mendaftar semua jago di daerahnya, yang berjumlah
kira-kira 4000 orang -- suatu jumlah yang lebih banyak daripada
jumlah pangreh praja maupun polisi.
Di Madiun inilah di tahun 1900 terjadi suatu peristiwa yang
mempunyai analogi dengan peristiwa Jember, pada tahun 1981,
biarpun waktu itu tidak ada korban terbunuh.
Pada suatu malam, ada kecurian di rumah residen. Gordin jendela
di dekat sang pejabat Belanda tertinggi itu minum kopi tiap pagi
telah hilang. Ini jelas, menurut residen, kejahatan "subversi"
yang mau menjatuhkan sang residen dari kedudukannya. Itu berarti
ancaman juga bagi kekuasaan Belanda di daerah Madiun.
Kecurigaan residen ini dipusatkan pada sang bupati setempat.
Dengan pemimpin tradisional ini sang residen sudah ada beberapa
konflik.
Meskipun curiganya mendalam, untuk Sementara Sang residen hanya
memanggil sang bupati. Bupati diperintah untuk mencari para
pencuri.
Sementara itu, ada pencurian-pencurian lain di beberapa rumah
orang Belanda setelah itu. Residen memanggil bupati lagi. Bupati
mengusulkan agar rumah orang-orang Belanda diberi penerangan
lampu yang lebih baik bila malam. Pembantu rumah tangga para
penghuni Belanda di Madiun juga harap didaftar.
Tapi residen menolak usul ini sambil marah. Ia menganggap usul
ini akan menyebabkan panik penghuni Belanda di Madiun.
Konsekuensinya: dapat menimbulkan krisis ketidakpercayaan
terhadap residen. Jadi usul bupati dilihat sebagai usul subversi
lagi -- yang justru mau menjatuhkan residen. Ditekankan sekali
lagi tugas bupati untuk menemukan pencuri. Sebab kalau tidak
....
Sang bupati, akhirnya, setelah dua minggu, menemukan sebagian
barang residen dan juga si pencuri. Toh residen tidak percaya
bahwa yang ditangkap itu memang pencuri betul. Sebab orang itu
baginya hanya seorang tahanan yang melarikan diri. Singkatnya,
residen tetap mencurigai bupati sebagai dalang pencurian itu
sendiri.
Atas dasar kecurigaan inilah maka residen meneliti bagaimana
cara bupati menangkap orang yang dikatakan pencuri itu dan
bagaimana pula bupati mendapatkan kembali sebagian barang
curian. Ternyata, sang bupati menggunakan para weri -- istilah
bagi bromocorah atau jago di daerah Madiun. Meningkatlah
kecurigaan residen, bahwa bupati menyuruh salah seorang penjahat
besar di Madiun untuk menjalankan "subversi"nya. Dia adalah
seorang penulis surat-surat petisi rakyat pada penguasa dan
pemilik rumah pelacuran. Hal ini segera dilaporkan ke Batavia.
Tapi sang bupati tidak pernah dibuktikan bersalah. Jua
penjahat tadi tidak dibuktikan tclah mencuri gordin di rumah
residen.
Namun apa yang membuat pemerintah Hindia Belanda di Batavia
kaget adalah laporan residen, bahwa sang bupati dalam mengatur
kepolisian daerah telah menggunakan tokoh-tokoh jago dari dunia
kriminal. Bahkaan tangan kanan bupati dalam kepolisian adalah
pemilik rumah pelacur dan yang juga diduga sebagai penjahat
besar!
Pokoknya hubungan bupati dengan para gangster Madiun mengagetkan
semua instansi pemerintah Hindia Belanda. Mereka lantas
melihatnya sebagai suatu bukti kriminalitas sang bupati
sendiri. Ini pasti tidak patut, menurut prinsipprinsip
pemerintahan Hindia Belanda, begitulah kata mereka -- seraya
melupakan bahwa sebenarnya sistem kepolisian yang sampai saat
itu berjalan adalah sistem kepolisian bupati.
Sang bupati akhirnya dipecat. Ia tentu tidak merasa bersalah.
Ia menunjukkan bahwa orang-orang yang disebut sebagai para weri
bupati sebenarnya juga dibayar dengan keuangan residen untuk
dana polisi tak-resmi. Maka bupati pun mengajukan soalnya ke
media massa, ke pengadilan, ke gubernur jenderal, dan akhirnya
ke Ratu, pemerintah di Nederland dan parlemen Belanda.
Semua pihak pun ditempatkan dalam keadaan agak sulit. Residen
menjadi panik sebab dia diajukan ke pengadilan biasa oleh
bupati. Ia digugat karena mengatakan di depan umum bahwa bupati
adalah seorang kraman (pemberontak), dan ini dianggap sebagai
libel yang menjelekkan nama bupati.
Syahdan, residen pun membalas melaporkan pada pemerintah bahwa
si bupati memang merencanakan pemberontakan. Yah, suatu perang
Jawa baru seperti perang Diponegoro dahulu, kata residen. Malah
tuduhan itu kemudian menggelembung -- si bupati dituduh jadi
tokoh utama komplotan subversi internasional yang melibatkan
organisasi rahasia di Jepang, Tiongkok, Tibet, Turki dan
seterusnya.
Pemerintah Hindia Belanda pun, demi mendengar tuduhan yang bukan
main itu, mengirimkan penasihatnya Snouck Hurgronje ke Madiun.
Snouck harus meneliti apa benar ada gerakan pemberontakan di
Madiun.
Snouck pun akhirnya menyimpulkan bahwa untuk waktu yang singkat
dia tidak bisa tahu apa-apa menenai gerakan pemberontakan.
Tetapi yang jelas, tuan residen sedang menghadapi guncangan
saraf.
Apa kata pemerintah Hindia Belanda? Faktanya tetap: apa yang
bukan tindakan salah menurut ukuran kepolisian dahulu harus
dianggap salah menurut prinsip-prinsip baru yang dianut
pemerintah. Akhirnya bupati dipensiun, dengan janji: kalau dia
diam, dan menarik segala macam pengaduan, maka anaknya kelak
akan dijadikan bupati. Kalau tidak, dia akan dibuang. Di pihak
lain, tuan residen dicutikan ke Belanda.
Analogi dengan peristiwa Jember jelas di sini. Di satu pihak
polisi Jember menyatakan keterbatasannya menghadapi daerah rawan
seperti halnya para bupati dahulu. Alat kepolisian modern tak
ada untuk membantu. Di lain pihak cara mempertahankan keamanan
menyebabkan kegemparan di DPR, seperti halnya kasus bupati
Madiun menggemparkan pejabat parlemen Belanda. Cara yang ada
dianggap tidak layak menurut prinsip pemerintahan zaman kini.
Tok kita harus ingat juga bahwa peranan para jago selama sejarah
kita sampai kini masih sangat penting. Jago-isme muncul dalam
revolusi 1945. Itu juga muncul dalam peristiwa di sekitar 1965,
dalam suasana pemilu dan lain-lain. Sering para jago dianggap
pahlawan bila mereka berpihak pada yang menang. Tapi kita
sebaiknya menyadari -- dan mawas diri -- tentang masih kuatnya
hubungan politik dengan kekerasan dalam masyarakat kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini