Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Bromocorah dalam sejarah kita

Sejak pemerintahan tradisional dahulu, peranan bromocorah atau jago, penting bagi penguasa. mereka dipakai sebagai polisi tak resmi. jago sering dianggap pahlawan jika pada pihak yang menang.

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA arti peristiwa Jember? Jember, serta bagian timur dari Jawa Timur adalah daerah migrasi dari Madura. Wilayah ini relatif baru dibuka, dan dianggap sebagai daerah perbatasan (frontier area), tempat kerawanan sering terasa. Dalam daerah perbatasan ini, frontier justice atau main hakim sendiri seperti dalam film-film koboi Amerika sering terjadi, karena aparat negara belum dapat menguasai seluruhnya. Dalam peristiwa Jember, yang menarik adalah fenomena "bromocorah". Dalam masyarakat Jawa mereka dikenal juga dengan istilah umum jago. Di Banten sebagai jawara, dan di daerah lain sebagai weri, atau blater. Dalam pelbagai dokumen Hindia Belanda, mereka biasanya disebut sebagai orang-orang desa yang "lebih pintar" daripada penghuni lain. Mereka lebih banyak mengetahui mengenai dunia luar, dan biasanya mempermainkan keadaan orang desa. Mereka itulah orang bekas hukuman, atau, kalau tidak, calon penghuni penjara. Di lain pihak, para jago ini juga banyak dipakai untuk kepentingan pemerintah. Mereka bisa jadi penjaga tata-tentrem, khususnya dalam hal mengawasai sesama jago. Mereka dipakai juga untuk menarik pajak, mengawasai kerja rodi dan lain-lain. Antara jago yang di pihak pemerintah, dan jago yang dipenjarakan pemerintah karena melanggar hukum, sebenarnya tidak banyak bedanya. Contoh jelas adalah peristiwa Jember. Para vigilantees membantu polisi dalam mengawasi segolongan jago, tetapi sekarang merekalah yang dituduh pembunuh dan ditahan. Memang, dalam praktek, para jago dapat dengan mudah mengubah peran. Tulisan ini akan meninjau peranan jago dalam masyarakat Jawa di masa lalu, dan membandingkan peristiwa di Jember dengan suatu peristiwa yang mirip di daerah Madiun di sekitar 1900. Peranan jago dalam masyarakat berasal dalam kerajaan tradisional Jawa. Dalam menegakkan kerajaan, dan dalam sistem ekploatasi yang dijaga sebagai tata-tentrem, sebenarnya banyak kekerasan dipergunakan di kerajaan itu. Banyak raja pertama Jawa berasal dari kalangan jago. Misalnya Ken Arok, Senapati dan lain-lainnya. Selanjutnya, karena diperlukan unsur paksaan dari atas terhadap masyarakat, penggunaan para jago berjalan terus. Mereka merupakan unsur penting dalam sistem pemerintahan tradisional. Soemarsaid Moertono, seorang ahli yang pernah menulis tentang ketataprajaan kerajaan Mataram, menyebut bahwa salah suatu teori pemerintahan adalah "menangkap maling dengan maling". Bekas penyamun sering dipakai dalam kedudukan sebagai bupati dan kolektor pajak-pajak. Kalau misalnya di suatu daerah ada seorang perampok terkenal, maka daripada sukar untuk ditindas, perampok ini dijadikan bupati (pengumpul pajak). Dengan kata lain, penggunaan kekerasan yang legal dalam mengabdi raja, dan penggunaan kekerasan yang ilegal untuk mengganggu tata-tentrem praja adalah dua hal yang batasnya sangat samar dalam masyarakat masa lampau. Suatu sistem pemerintahan yang sangat berdasar pada kekerasan, dan bukan pada hukum -- dan sebagai akibatnya banyak menggunakan jago-jago dan bukan polisi profesional -- oleh para ahli ilmu politik disebut sebagai political gangsterism, semacam sistem politik-mafia. Negara-negara feodal di Abad Pertengahan Eropa dengan bentengnya, dengan tentara berkuda dan lainnya, sebenarnya adalah sistem gangster politik. Demikian juga sistem warlord pada masa keruntuhan pemerintahan pusat di Cina pada masa lampau. Dengan sendirinya begitu juga kerajaan tradisional seperti Mataram. Sistem pemerintahan Hindia Belanda sebenarnya juga demikian, bila dilihat sistem eksploatasinya yang ketat dan keras. Di bawah permukaan lembaga politik, birokrasi dan ambtenar-ambtenarnya yang lengkap, unsur kesewenangwenangan dari atas -- yang memaksa penduduk untuk kerja rodi di perkebunan dan membayar pajak -- dilakukan melalui para jago. Mereka inilah yang disebut tusschenpersonel (perantara) dalam dokumen pemerintahan Hindia Belanda. Khususnya dalam zaman Tanam Paksa (1830-1870), sistem pemerintahan hanya berjalan baik bagi Belanda karena mereka ini. Kita juga tahu dari kepustakaan, bahwa di tanah partikelir terdapat pula hal yang sama: penggunaan tukang pukul oleh tuan tanah atau administratir perkebunan. Sekitar tahun 1900, Belanda sendiri kurang puas atas keadaan itu. Sebab tiap kali ada peristiwa pemukulan dan main hakim sendiri, tentu ada kegemparan masyarakat. Suatu komisi pemerintah meneliti persoalan ini. Hasilnya ialah dua jilid tebal Recht en Politie dan entah beberapa jilid tebal lagi mengenai Desa. Dalam jilid-jilid ini nampak bahwa beberapa bupati progresif dan modern, misalnya, Kusumo Utojo dari Ngawi, menunjukkan pada Belanda kesalahan sistem kepolisian sendiri. Dikatakan oleh para bupati ini, bahwa polisi profesional tidak tersedia. Karena kekuasaan polisi dijabat kepala desa, maka hak polisi tentu juga digunakan untuk mcmojokkan lawan si pamong desa. Rumah penduduk dapat digeledah seenaknya saja. Setiap orang dapat diawasi dan disandera. Bila di satu pihak, sistem kepolisian Hindia Belanda sekitar 1900 masih kuno, di pihak lain prinsip pemerintahannya mulai berubah. Belanda sekitar 1900 lebih menekankan asas sistem birokratis. Menurut prinsip birokrasi ini, semua urusan harus melalui jalan resmi. Sistem pemerintahan yang berdasarkan pemimpin tak resmi, seperti para jago misalnya, tidak diperkenankan lagi. Peranan jago malah dilihat sebagai sesuatu yang ilegal, sebagai pemeras rakyat setempat dan penghalang jalannya peraturan resmi. Dengan sendirinya para jago, para "calo" antara penguasa dan masyarakat yang demikian liar, kena peraturan. Residen Madiun umpamanya mendaftar semua jago di daerahnya, yang berjumlah kira-kira 4000 orang -- suatu jumlah yang lebih banyak daripada jumlah pangreh praja maupun polisi. Di Madiun inilah di tahun 1900 terjadi suatu peristiwa yang mempunyai analogi dengan peristiwa Jember, pada tahun 1981, biarpun waktu itu tidak ada korban terbunuh. Pada suatu malam, ada kecurian di rumah residen. Gordin jendela di dekat sang pejabat Belanda tertinggi itu minum kopi tiap pagi telah hilang. Ini jelas, menurut residen, kejahatan "subversi" yang mau menjatuhkan sang residen dari kedudukannya. Itu berarti ancaman juga bagi kekuasaan Belanda di daerah Madiun. Kecurigaan residen ini dipusatkan pada sang bupati setempat. Dengan pemimpin tradisional ini sang residen sudah ada beberapa konflik. Meskipun curiganya mendalam, untuk Sementara Sang residen hanya memanggil sang bupati. Bupati diperintah untuk mencari para pencuri. Sementara itu, ada pencurian-pencurian lain di beberapa rumah orang Belanda setelah itu. Residen memanggil bupati lagi. Bupati mengusulkan agar rumah orang-orang Belanda diberi penerangan lampu yang lebih baik bila malam. Pembantu rumah tangga para penghuni Belanda di Madiun juga harap didaftar. Tapi residen menolak usul ini sambil marah. Ia menganggap usul ini akan menyebabkan panik penghuni Belanda di Madiun. Konsekuensinya: dapat menimbulkan krisis ketidakpercayaan terhadap residen. Jadi usul bupati dilihat sebagai usul subversi lagi -- yang justru mau menjatuhkan residen. Ditekankan sekali lagi tugas bupati untuk menemukan pencuri. Sebab kalau tidak .... Sang bupati, akhirnya, setelah dua minggu, menemukan sebagian barang residen dan juga si pencuri. Toh residen tidak percaya bahwa yang ditangkap itu memang pencuri betul. Sebab orang itu baginya hanya seorang tahanan yang melarikan diri. Singkatnya, residen tetap mencurigai bupati sebagai dalang pencurian itu sendiri. Atas dasar kecurigaan inilah maka residen meneliti bagaimana cara bupati menangkap orang yang dikatakan pencuri itu dan bagaimana pula bupati mendapatkan kembali sebagian barang curian. Ternyata, sang bupati menggunakan para weri -- istilah bagi bromocorah atau jago di daerah Madiun. Meningkatlah kecurigaan residen, bahwa bupati menyuruh salah seorang penjahat besar di Madiun untuk menjalankan "subversi"nya. Dia adalah seorang penulis surat-surat petisi rakyat pada penguasa dan pemilik rumah pelacuran. Hal ini segera dilaporkan ke Batavia. Tapi sang bupati tidak pernah dibuktikan bersalah. Jua penjahat tadi tidak dibuktikan tclah mencuri gordin di rumah residen. Namun apa yang membuat pemerintah Hindia Belanda di Batavia kaget adalah laporan residen, bahwa sang bupati dalam mengatur kepolisian daerah telah menggunakan tokoh-tokoh jago dari dunia kriminal. Bahkaan tangan kanan bupati dalam kepolisian adalah pemilik rumah pelacur dan yang juga diduga sebagai penjahat besar! Pokoknya hubungan bupati dengan para gangster Madiun mengagetkan semua instansi pemerintah Hindia Belanda. Mereka lantas melihatnya sebagai suatu bukti kriminalitas sang bupati sendiri. Ini pasti tidak patut, menurut prinsipprinsip pemerintahan Hindia Belanda, begitulah kata mereka -- seraya melupakan bahwa sebenarnya sistem kepolisian yang sampai saat itu berjalan adalah sistem kepolisian bupati. Sang bupati akhirnya dipecat. Ia tentu tidak merasa bersalah. Ia menunjukkan bahwa orang-orang yang disebut sebagai para weri bupati sebenarnya juga dibayar dengan keuangan residen untuk dana polisi tak-resmi. Maka bupati pun mengajukan soalnya ke media massa, ke pengadilan, ke gubernur jenderal, dan akhirnya ke Ratu, pemerintah di Nederland dan parlemen Belanda. Semua pihak pun ditempatkan dalam keadaan agak sulit. Residen menjadi panik sebab dia diajukan ke pengadilan biasa oleh bupati. Ia digugat karena mengatakan di depan umum bahwa bupati adalah seorang kraman (pemberontak), dan ini dianggap sebagai libel yang menjelekkan nama bupati. Syahdan, residen pun membalas melaporkan pada pemerintah bahwa si bupati memang merencanakan pemberontakan. Yah, suatu perang Jawa baru seperti perang Diponegoro dahulu, kata residen. Malah tuduhan itu kemudian menggelembung -- si bupati dituduh jadi tokoh utama komplotan subversi internasional yang melibatkan organisasi rahasia di Jepang, Tiongkok, Tibet, Turki dan seterusnya. Pemerintah Hindia Belanda pun, demi mendengar tuduhan yang bukan main itu, mengirimkan penasihatnya Snouck Hurgronje ke Madiun. Snouck harus meneliti apa benar ada gerakan pemberontakan di Madiun. Snouck pun akhirnya menyimpulkan bahwa untuk waktu yang singkat dia tidak bisa tahu apa-apa menenai gerakan pemberontakan. Tetapi yang jelas, tuan residen sedang menghadapi guncangan saraf. Apa kata pemerintah Hindia Belanda? Faktanya tetap: apa yang bukan tindakan salah menurut ukuran kepolisian dahulu harus dianggap salah menurut prinsip-prinsip baru yang dianut pemerintah. Akhirnya bupati dipensiun, dengan janji: kalau dia diam, dan menarik segala macam pengaduan, maka anaknya kelak akan dijadikan bupati. Kalau tidak, dia akan dibuang. Di pihak lain, tuan residen dicutikan ke Belanda. Analogi dengan peristiwa Jember jelas di sini. Di satu pihak polisi Jember menyatakan keterbatasannya menghadapi daerah rawan seperti halnya para bupati dahulu. Alat kepolisian modern tak ada untuk membantu. Di lain pihak cara mempertahankan keamanan menyebabkan kegemparan di DPR, seperti halnya kasus bupati Madiun menggemparkan pejabat parlemen Belanda. Cara yang ada dianggap tidak layak menurut prinsip pemerintahan zaman kini. Tok kita harus ingat juga bahwa peranan para jago selama sejarah kita sampai kini masih sangat penting. Jago-isme muncul dalam revolusi 1945. Itu juga muncul dalam peristiwa di sekitar 1965, dalam suasana pemilu dan lain-lain. Sering para jago dianggap pahlawan bila mereka berpihak pada yang menang. Tapi kita sebaiknya menyadari -- dan mawas diri -- tentang masih kuatnya hubungan politik dengan kekerasan dalam masyarakat kita.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus