ADA dua versi tentang "kasus Jember". Pertama versi Yusuf Hasyim
dkk, yang lain berdasarkan keterangan resmi pemerintah. Menurut
Yusuf Hasyim dkk, jumlah korban yang meninggal 45 orang. Di
antaranya guru mengaji dan kiai. Ada pula korban yang
dihanyutkan di sungai.
Tapi menurut Laksusda Ja-Tim, jumlah korban hanya 27 orang: 12
orang tukang santet dan 15 lainnya bromocorah. Tak seorang di
antara mereka guru mengaji atau kiai, juga tidak ada yang
mayatnya dibuang ke sungai Mayang dan Bedadung.
"Juga tidak ada mayat yang dibungkus tikar atau dikubur sendiri
oleh penduduk secara diam-diam," kata Pangkopkamtib Sudomo di
Balai Wartawan Hankam, Jakarta, Jumat pagi pekan lalu. "Dan
semuanya lengkap dengan visum," sambung Mayjen Pol. Hartawan
Kadapol X Ja-Tim.
Soedomo menyarankan agar ketiga anggota DPR-RI itu "mengecek
masalahnya ke lapangan dan kepada penguasa setempat." Ia juga
menyebut cara pengungkapan "kasus Jember" oleh Yusuf Hasyim dkk
sebagai usaha "mencari popularitas murahan".
Lebih keras lagi, Pangkopkamtib menyebut hal itu mempunyai
latarbelakang politik buat kampanye pemilu 1982. Bahkan,
katanya, "untuk mendiskreditkan pemerintah." Dua dari ketiga
anggota F-PP itu Sabtu pekan lalu menjawab penilaian Soedomo
tersebut.
Menurut Hizbullah Huda dan Soewardi, mereka sudah berkonsultasi
dengan Muspida Jember, juga melaporkannya kepada Kores 1033
Jember. Mengenai perbedaan jumlah korban, Hizbullah mengatakan:
"Alhamdulillah kalau korban ternyata hanya sedikit. Apalagi
kalau korban hanya lima orang, lebih alhamdulillah lagi."
Sejak semula ketiga anggota DPR-RI itu menyarankan dibentuknya
sebuah Komisi Pencari Data untuk menangani kasus Jember". Tapi
menurut Soedomo, hal itu tidak perlu. "Nanti sebentar-sebentar
bikin komisi seperti itu," katanya.
Menurut Laksusda Ja-Tim, pembunuhan, penganiayaan dan
pengrusakan itu antara lain terjadi di Kecamatan Jenggawah,
Tanggul, Bangsalsari, Panti, Tempurejo, Mumbulsari, Sukorambi.
Selain yang meningal, ada lima tukang santet luka-luka berat.
Sedang kerugian harta-benda: lima rumah tukang santet rusak
ringan, sebuah gudang tembakau terbakar, sebuah sepeda motor dan
sepeda biasa rusak.
Tak kurang dari 118 orang telah ditahan. Di antara mereka 19
orang kemudian dilepas karena dianggap hanya ikut-ikutan. Dari
sisanya yang 99 orang, 31 orang di antaranya telah selesai
diproses perkaranya. "Dan sisanya lagi masih dalam pemeriksaan,"
kata Witarmin, Pangdam VIII/Brawijaya.
Akhirnya Witarmin berkesimpulan bahwa huru-hara tersebut
berlatar-belakang balas-dendam. Artinya, belum nampak adanya
latar-belakang politik. Tapi ia juga mengakui kurang lancarnya
pelaksanaan tugas pengamanan, karena "terbatasnysa sarana
komunikasi dan kendaraan."
Soalnya peristiwa tersebut terjadi di pedukuhan atau desa yang
jauh dari kota kecamatan. Jalan menuju ke tempat peristiwa juga
agak jauh dan berat, "hingga bantuan keamanan sering mengalami
hambatan."
Tapi baik Witarmin maupun Hartawan menolak kesan seolah-olah
aparat keamanan tidak bertindak, berpangkutangan, hingga
kecolongan. "Dalam sebulan ini saja sudah 225 orang yang diduga
mencuri ternak sapi ditahan. Dan sebagai barang bukti ada 87
ekor sapi yang disita," kata Hartawan.
Witarmin juga menegaskan bahwa aparatnya tidak tinggal santai.
Ia mengeluarkan tiga buah buku laporan stensilan ukuran folio
bersampul merah muda dan kuning dari tasnya. "Ini proses verbal
dari peristiwa yang terjadi di tiga tempat pada akhir November
1980," katanya sambil membalik-balik buku dan dilengkapi
foto-foto itu.
Dua di antara tiga tempat itu -- Surabaya dan Kalisat (Jember)
-- mirip pengrusakan seperti peristiwa anti-Cina di Ja-Teng
"Sudah 100 orang yang ditangkap," katanya. "Bayangkan betapa
pedihnya petugas yang merasa sudah berbuat dengan baik tapi
lantas disebut berpangku-tangan. Tanpa dicek lagi, tuduhan itu
dijeplakkan (diomongkan) begitu saja," tambahnya dengan nada
tinggi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini