Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Matinya "boss" bromocorah

Masyarakat jember sudah lama jengkel, karena banyak bromocorah sering mengganggu ketenteraman penduduk zaki, bossnya para bromocorah di jember ditemukan tewas terbunuh. (dh)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASYARAKAT Jember sudah lama jengkel. Sejak empat-lima tahun terakhir, bromocorah sering mengganggu ketenteraman penduduk. "Padahal bagi seorang Madura, bila orang lain berhasil memasuki rumahnya dan mengambil haknya -- itu penghinaan" kata seorang camat. Bupati Soepono yang cukup lama bertugas di Jember bahkan menyebutkan ada sementara pamong desa yang tidak berani menghadapi bromocorah yang dianggap dugdeng (kebal). "Ada bromocorah yang mengambil kambing di siang hari, kambing itu dituntun begitu saja. Dan penduduk tak berani apa-apa," kata Soepono. Menurut Soepono, bromocorah itu juga berdatangan dari kabupaten sekitar Jember, seperti Lumajang, Bondowoso dan Probolinggo. Ia sudah beberapa kali berembuk dengan Muspida dan memerintahkan melakukan pengamanan swakarsa -- tanpa menunggu komando aparat keamanan. "Setiap rumah diperintahkan memasang kentongan. Dengan begitu rakyat bisa menjaga keamanan dukuh masing-masing," kata Soepono seusai mengikuti raker gubernur dan bupati/walikota di Jakarta pekan lalu. Tim keamanan gabungan juga dibentuk, selain memberikan penyuluhan juga melakukan patroli. "Tapi begitu tim turun ke satu kecamatan, di kecamatan lain muncul pencurian atau pembunuhan," tambahnya. Dengan kata lain, peristiwa yang susul-menyusul itu nampaknya tidak lagi keburu diselesaikan satu-satu. Suasana tidak aman memang menyelimuti hampir semua desa di Jember. Misalnya Desa Petung di Kecamatan Bangsalsari. Menurut catatan seorang pamong, tak kurang dari 38 bromocorah tinggal di desa ini. "Sebagai pamong, saya jadi malu, karena hampir setiap malam ada pencurian," kata Nawawi, Carik II Desa Petung. Di desa yang berpenduduk hampir 7.000 jiwa ini pernah muncul pameo bahasa Madura dekik malam sapa se olle arisan (nanti malam siapa yang dapat giliran kecurian). Sepertiga tanah desa ini milik perkebunan. Sebagian besar penduduk hidup sebagai buruh tani yang miskin. Di desa inilah tinggal Zaki, yang dianggap boss-nya para bromocorah yang pengaruhnya konon sampai Lumajang-Probolinggo-Bondowoso. Orang Jember mengenal Zaki, 25 tahun, selalu mengenakan pakaian hitam-hitam, berikat kepala mirip Pak Sakerah -- tokoh legendaris dalam cerita ludruk. Kumis tebal melintang, menyandang clurit (sabit melengkung) ukuran besar yang disebut nonridang. Tapi si boss kini telah tiada. Ia telah terbunuh akhir tahun lalu. Malam itu menjelang Isya, istri Zaki mendengar pintu diketuk orang. "Tapi begitu pintu dibuka, saya mendengar tembakan dua kali," tutur Zainab, janda 36 tahun yang dikawini Zaki tiga tahun lalu. Sebuah ambulans menjemput jasadnya kemudian. Tapi keesokan harinya mayat Zaki itu dipulangkan. Begitu saja. Keluarganya tak pernah diberitahu atau dipanggil untuk pemeriksaan. "Mas Zaki meninggal tepat di hari ulang tahunnya," ucap Zainab sedih. Kasus pembunuhan itu ternyata tidak diusut secara tuntas. "Dengan tidak ditanganinya kasus itu secara tuntas, masyarakat menganggap pihak berwajib seolah merestuinya," kata Basuki Arif, tokoh masarakat Rambipuji (Jember) yang pernah membela para petani Jenggawah. Tapi hampir semua penduduk Petung sebagaimana diceritakan oleh seorang pamong desa -- tahu belaka, bahwa yang menembak Zaki adalah seorang petugas polisi. Malam itu menurut penduduk Petung, tak kurang dari tujuh orang anggota polisi menggerebek gubuk Zaki. Kasus lain yang juga tidak diusut secara tuntas terjadi pertengahan tahun lalu. Tujuh penduduk Kaliwining, dipimpin oleh Ponidi, membunuh Mbok Juma'i. Janda 40 tahun ini dituduh sebagai penyantet, hanya lantaran mertua perempuan Ponidi sakit-sakitan. Kosek (Komando Sektor Kepolisian) Rambipuji yang dilapori keluarga korban memanggil Ponidi. Tapi bekas penjaga kebun tebu itu mengelak. Bahkan kemudian ia membawa serta puluhan penduduk yang mengakui ikut-serta membunuh si korban. Belakangan diketahui mereka ke Kosek karena takut pada Ponidi. Begitu Mbok Juma'i terbunuh, Basuki Arif langsung melapor kepada staf intelijen Kores 1033 Jember. "Ketika itu dijanjikan akan diusut, tapi nyatanya tenang-tenang saja," katanya. Basuki lantas melaporkannya ke berbagai pihak, termasuk DPR-RI. "Kalau pembunuhan seperti itu dibiarkan, bisa merembet ke desa-desa lain. Dan akhirnya akan terjadi carok antar kelompok," kata Basuki lagi. Carok adalah perkelahian massal berdarah ala Madura. Ramalan Basuki ternyata benar-benar terjadi. Yang pertama menjadi sasaran pada tengah malam 10 Januari lalu ialah Mohamad. Segerombol penduduk mengepung rumah Mohamad, bromocorah, di Desa Tugusari Kecamatan Bangsalsari. Ia berusaha melarikan diri, tapi nyawanya keburu dihabisi di tepi selokan sawah. Menurut Kadapol X Ja-Tim, Mayjen Pol. Hartawan, salah satu sebab pengeroyokan terhadap bromocorah juga karena adanya semacam persaingan di antara mereka. Misalnya bromocorah kelas teri yang tertangkap memberi informasi kepada polisi mengenai perbuatan bromocorah kelas kakap. "Merasa dimata-matai, bromocorah kecil itu lantas dibunuh," kata Hartawan. Soedomo sendiri mengakui bahwa aparat keamanan juga memanfaatkan bromocorah sebagai informan. "Itu kan merupakan kebiasaan universal dalam dunia intelijen menangkap maling dengan mempergunakan maling," komentar Pangkopkamtib. Tapi kabar bentrokan itu dengan cepat menyebar luas, mendorong kelompok-kelompok lain mengikuti jejak kelompok pertama. Bahkan kemudian, tidak hanya bromocorah yang menjadi sasaran, juga orang-orang yang dituduh sebagai tukang santet. Selama satu setengah bulan tindakan main hakim sendiri itu berlangsung. Puluhan orang jatuh sebagai korban, tanpa secuil pun kabar tersiar keluar. Dan ketika tiga anggota DPR-RI asal Ja-Tim pertengahan bulan lalu mengungkapkannya, semuanya kaget. Tapi mengapa kemudian tukang santet juga menjadi sasaran? Setelah terbunuhnya Mbok Juma'i pertengahan tahun lalu, rupanya orang mulai berani menghadapi tukan santet, entah karena benar-benar berpraktek mencelakakan orang, atau hanya sebagai alasan untuk melepaskan dendam. Dari duabelas tukang santet yang terbunuh, seorang di antaranya Pak Djati, 52 tahun, dari Dukuh Andongsari Desa Tugusari. Ia tewas 25 Januari lalu, dikeroyok sekitar 150 orang. Menurut Kepala Desa Tugusari, di wilayahnya terdapat 10 tukan santet. Korban lainnya K. Hafsah, 55 tahun, petani yang juga guru ngaji di Desa Karangpiring, Kecamatan Sukorambi. Anggota NU ini tewas tengah malam 13 Februari lalu dikeroyok massa. Kepalanya pecah. Menurut pihak kepolisian, Hafsah dituduh tukang santet. Tapi anak maupun cucu Hafsah membantah. "Kalau ia benar tukang sihir, masa ia mengajar anak-anak mengaji -- yang bisa melemahkan sihirnya," kata Hasan, cucu kiai almarhum. Tapi Kadapol X Mayjen Pol. Hartawan membantah ada kiai dan guru mengaji yang ikut terbunuh. Adakah santet itu? Tak kurang dari Pangdam VIII, Mayjen Witarmin mengakui, sejak kecil saya mendengar hal itu, tapi orang yang ber-Tuhan, tentu tidak mempercayainya." Tapi Bupati Soepono bahkan mengalaminya sendiri, menjelang pelantikannya sebagai bupati dua tahun lalu. "Ketika itu terdengar ledakan-ledakan di atas rumah saya, siang dan malam. Beberapa kawan menyebut, mungkin itu santet. Saya lantas disarankan untuk lek-lekan (bergadang) untuk menolak santet itu," katanya. Dan Soepono tak cedera sedikit pun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus