MASYARAKAT Jember sudah lama jengkel. Sejak empat-lima tahun
terakhir, bromocorah sering mengganggu ketenteraman penduduk.
"Padahal bagi seorang Madura, bila orang lain berhasil memasuki
rumahnya dan mengambil haknya -- itu penghinaan" kata seorang
camat.
Bupati Soepono yang cukup lama bertugas di Jember bahkan
menyebutkan ada sementara pamong desa yang tidak berani
menghadapi bromocorah yang dianggap dugdeng (kebal). "Ada
bromocorah yang mengambil kambing di siang hari, kambing itu
dituntun begitu saja. Dan penduduk tak berani apa-apa," kata
Soepono.
Menurut Soepono, bromocorah itu juga berdatangan dari kabupaten
sekitar Jember, seperti Lumajang, Bondowoso dan Probolinggo. Ia
sudah beberapa kali berembuk dengan Muspida dan memerintahkan
melakukan pengamanan swakarsa -- tanpa menunggu komando aparat
keamanan.
"Setiap rumah diperintahkan memasang kentongan. Dengan begitu
rakyat bisa menjaga keamanan dukuh masing-masing," kata
Soepono seusai mengikuti raker gubernur dan bupati/walikota di
Jakarta pekan lalu. Tim keamanan gabungan juga dibentuk, selain
memberikan penyuluhan juga melakukan patroli.
"Tapi begitu tim turun ke satu kecamatan, di kecamatan lain
muncul pencurian atau pembunuhan," tambahnya. Dengan kata lain,
peristiwa yang susul-menyusul itu nampaknya tidak lagi keburu
diselesaikan satu-satu. Suasana tidak aman memang menyelimuti
hampir semua desa di Jember.
Misalnya Desa Petung di Kecamatan Bangsalsari. Menurut catatan
seorang pamong, tak kurang dari 38 bromocorah tinggal di desa
ini. "Sebagai pamong, saya jadi malu, karena hampir setiap malam
ada pencurian," kata Nawawi, Carik II Desa Petung. Di desa yang
berpenduduk hampir 7.000 jiwa ini pernah muncul pameo bahasa
Madura dekik malam sapa se olle arisan (nanti malam siapa yang
dapat giliran kecurian).
Sepertiga tanah desa ini milik perkebunan. Sebagian besar
penduduk hidup sebagai buruh tani yang miskin.
Di desa inilah tinggal Zaki, yang dianggap boss-nya para
bromocorah yang pengaruhnya konon sampai
Lumajang-Probolinggo-Bondowoso. Orang Jember mengenal Zaki, 25
tahun, selalu mengenakan pakaian hitam-hitam, berikat kepala
mirip Pak Sakerah -- tokoh legendaris dalam cerita ludruk.
Kumis tebal melintang, menyandang clurit (sabit melengkung)
ukuran besar yang disebut nonridang.
Tapi si boss kini telah tiada. Ia telah terbunuh akhir tahun
lalu. Malam itu menjelang Isya, istri Zaki mendengar pintu
diketuk orang. "Tapi begitu pintu dibuka, saya mendengar
tembakan dua kali," tutur Zainab, janda 36 tahun yang dikawini
Zaki tiga tahun lalu.
Sebuah ambulans menjemput jasadnya kemudian. Tapi keesokan
harinya mayat Zaki itu dipulangkan. Begitu saja. Keluarganya tak
pernah diberitahu atau dipanggil untuk pemeriksaan. "Mas Zaki
meninggal tepat di hari ulang tahunnya," ucap Zainab sedih.
Kasus pembunuhan itu ternyata tidak diusut secara tuntas.
"Dengan tidak ditanganinya kasus itu secara tuntas, masyarakat
menganggap pihak berwajib seolah merestuinya," kata Basuki Arif,
tokoh masarakat Rambipuji (Jember) yang pernah membela para
petani Jenggawah.
Tapi hampir semua penduduk Petung sebagaimana diceritakan oleh
seorang pamong desa -- tahu belaka, bahwa yang menembak Zaki
adalah seorang petugas polisi. Malam itu menurut penduduk
Petung, tak kurang dari tujuh orang anggota polisi menggerebek
gubuk Zaki.
Kasus lain yang juga tidak diusut secara tuntas terjadi
pertengahan tahun lalu. Tujuh penduduk Kaliwining, dipimpin oleh
Ponidi, membunuh Mbok Juma'i. Janda 40 tahun ini dituduh sebagai
penyantet, hanya lantaran mertua perempuan Ponidi sakit-sakitan.
Kosek (Komando Sektor Kepolisian) Rambipuji yang dilapori
keluarga korban memanggil Ponidi. Tapi bekas penjaga kebun tebu
itu mengelak. Bahkan kemudian ia membawa serta puluhan penduduk
yang mengakui ikut-serta membunuh si korban. Belakangan
diketahui mereka ke Kosek karena takut pada Ponidi.
Begitu Mbok Juma'i terbunuh, Basuki Arif langsung melapor kepada
staf intelijen Kores 1033 Jember. "Ketika itu dijanjikan akan
diusut, tapi nyatanya tenang-tenang saja," katanya. Basuki
lantas melaporkannya ke berbagai pihak, termasuk DPR-RI.
"Kalau pembunuhan seperti itu dibiarkan, bisa merembet ke
desa-desa lain. Dan akhirnya akan terjadi carok antar kelompok,"
kata Basuki lagi. Carok adalah perkelahian massal berdarah ala
Madura. Ramalan Basuki ternyata benar-benar terjadi.
Yang pertama menjadi sasaran pada tengah malam 10 Januari lalu
ialah Mohamad. Segerombol penduduk mengepung rumah Mohamad,
bromocorah, di Desa Tugusari Kecamatan Bangsalsari. Ia berusaha
melarikan diri, tapi nyawanya keburu dihabisi di tepi selokan
sawah.
Menurut Kadapol X Ja-Tim, Mayjen Pol. Hartawan, salah satu
sebab pengeroyokan terhadap bromocorah juga karena adanya
semacam persaingan di antara mereka. Misalnya bromocorah kelas
teri yang tertangkap memberi informasi kepada polisi mengenai
perbuatan bromocorah kelas kakap. "Merasa dimata-matai,
bromocorah kecil itu lantas dibunuh," kata Hartawan.
Soedomo sendiri mengakui bahwa aparat keamanan juga memanfaatkan
bromocorah sebagai informan. "Itu kan merupakan kebiasaan
universal dalam dunia intelijen menangkap maling dengan
mempergunakan maling," komentar Pangkopkamtib.
Tapi kabar bentrokan itu dengan cepat menyebar luas, mendorong
kelompok-kelompok lain mengikuti jejak kelompok pertama. Bahkan
kemudian, tidak hanya bromocorah yang menjadi sasaran, juga
orang-orang yang dituduh sebagai tukang santet.
Selama satu setengah bulan tindakan main hakim sendiri itu
berlangsung. Puluhan orang jatuh sebagai korban, tanpa secuil
pun kabar tersiar keluar. Dan ketika tiga anggota DPR-RI asal
Ja-Tim pertengahan bulan lalu mengungkapkannya, semuanya kaget.
Tapi mengapa kemudian tukang santet juga menjadi sasaran?
Setelah terbunuhnya Mbok Juma'i pertengahan tahun lalu, rupanya
orang mulai berani menghadapi tukan santet, entah karena
benar-benar berpraktek mencelakakan orang, atau hanya sebagai
alasan untuk melepaskan dendam.
Dari duabelas tukang santet yang terbunuh, seorang di antaranya
Pak Djati, 52 tahun, dari Dukuh Andongsari Desa Tugusari. Ia
tewas 25 Januari lalu, dikeroyok sekitar 150 orang. Menurut
Kepala Desa Tugusari, di wilayahnya terdapat 10 tukan santet.
Korban lainnya K. Hafsah, 55 tahun, petani yang juga guru ngaji
di Desa Karangpiring, Kecamatan Sukorambi. Anggota NU ini tewas
tengah malam 13 Februari lalu dikeroyok massa. Kepalanya pecah.
Menurut pihak kepolisian, Hafsah dituduh tukang santet.
Tapi anak maupun cucu Hafsah membantah. "Kalau ia benar tukang
sihir, masa ia mengajar anak-anak mengaji -- yang bisa
melemahkan sihirnya," kata Hasan, cucu kiai almarhum. Tapi
Kadapol X Mayjen Pol. Hartawan membantah ada kiai dan guru
mengaji yang ikut terbunuh.
Adakah santet itu? Tak kurang dari Pangdam VIII, Mayjen Witarmin
mengakui, sejak kecil saya mendengar hal itu, tapi orang yang
ber-Tuhan, tentu tidak mempercayainya."
Tapi Bupati Soepono bahkan mengalaminya sendiri, menjelang
pelantikannya sebagai bupati dua tahun lalu. "Ketika itu
terdengar ledakan-ledakan di atas rumah saya, siang dan malam.
Beberapa kawan menyebut, mungkin itu santet. Saya lantas
disarankan untuk lek-lekan (bergadang) untuk menolak santet
itu," katanya. Dan Soepono tak cedera sedikit pun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini