Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Santet: di mana-mana

Ilmu santet, ilmu hitam untuk mencelakakan orang lain terdapat dibeberapa daerah di indonesia. ilmu hitam itu sudah berumur begitu tua. (dh)

7 Maret 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ILMU santet, ilmu hitam untuk mencelakakan orang lain terdapat di mana-mana. Bukan saja di Asia, tapi juga di Eropa, di Afrika, santet telah berkembang-biak, dan membikin gara-gara. Di Indonesia, ilmu hitam itu sudah berumur begitu tua, dan sudah menjadi "kebudayaan bangsa". Suripan Sadi Hutomo, seorang ahli sastra Jawa di IKIP Surabaya menyebut ilmu santet sebagai "salah satu milik budaya bangsa kita." Suripan salah seorang dari sedikit peneliti yang mencoba menelusuri ilmu santet ini, mengaku terus terang, tak hendak ingin mempublikasikan hasil penelitiannya. Karena, katanya khawatir para ilmuwan tak bisa menerima ilmu hitam itu sebagai suatu "ilmu yang nyata". Alasan yang sama pernah diungkapkan seorang dosen dari Universitas Udayana Denpasar. Tapi Suripan menyebut: "bahwa ilmu santet itu ada dan bisa dipelajari, cuma sulit diuraikan secara ilmiah." Suripan sendiri, mulai tertarik pada ilmu aneh ini karena ia pernah diancam. Ketika itu, awal 1970-an, ia jatuh hati pada gadis Blitar yang tinggal di Banyuwangi. "Hati-hati, kamu bisa disantet orang .. . " begitu peringatan bernada ancaman. "Justru adanya peringatan mengancam ini, saya menjadi tertarik mempelajari ilmu santet," lanjut Suripan. Untuk apa? Di samping penelitian, Suripan mengaku lebih banyak untuk "menjaga diri jika disantet". Juru santet ada, karena ada orang yang membutuhkannya. Umumnya untuk melampiaskan sakit hati, rasa dengki dan sejenisnya. Mungkin karena rebutan warisan atau harta, bisa terjadi lantaran sekedar iri, dan yang paling banyak soal perempuan. Di Bali dan Lombok, sering terdengar seorang gadis rupawan tiba-tiba jadi gila mendadak. Atau sakit yang tak jelas di tangan seorang dokter. Keluarga sang gadis menyelidiki, adakah dara ini diincar lebih dari satu pria. Kalau ya, maka persaingan antar lelaki ini jelas tidak fair. Salah satunya memakai santet -- di Bali jenis santet ini disebut bebaii. Korban bebaii ini bisa lumpuh, berteriak-teriak sepanjang hari, atau memukul-mukulkan kepalanya di dinding. Pernah terjadi, di sebuah desa di Kabupaten Karangasem, perut sang gadis tiba-tiba membesar. Dikira hamil, ternyata isinya serabut kelapa. "Bebaii seperti ini didatangkan dari Lombok," kata seorang ulama di Bali. Untuk menyembuhkan korban bebaii, harus menempuh liku yang panjang. Keluarga korban harus mencari dukun khusus yang bisa menerangkan, siapa penyantetnya. Dukun khusus ini disebut balian. Dari sini keluarga korban menghubungi juru santet yang "punya" bebaii itu. Tentu tak mudah diakuinya, tapi biasanya tergantung dari kesanggupan membayar. Jika beres, korban bebaii itu disembuhkan -- tapi juru santet ini tetap merahasiakan siapa yang menyuruh memasang bebaii buat sang gadis. Ini semacam kode etik dalam dunia ilmu hitam di Bali, karena itu jarang terjadi balas dendam. Sementara untuk melampiaskan dendam kepada juru santetnya sendiri, risikonya sangatlah besar. Sebab juru santet biasanya berdiam berkelompok, di sebuah desa yang "angker". Sebelum tahun 1970-an, perkampungan santet terkenal di Bali adalah Desa Sanur. Kegiatan pariwisata agaknya telah menggusur para santet ini. Sekarang, perkampungan santet yang dianggap "paling jitu" terdapat di sebuah desa dekat Danau Batur, Kabupaten Bangli. SEPERTI halnya Bali, juru santet di Banten juga mengelompok. Yang dikenal "paling angker" adalah wilayah Kecamatan Bojonegara di Banten Utara, yang sebagian besar penduduknya berpenghasilan rendah sebagai petani dan nelayan miskin. Di sini ada dua lokasi yang dianggap basis juru santet, yaitu Desa Argawana dan Margasari. Tapi Satii, Kepala Desa Argawana membantahnya. "Itu tak benar. Sekarang semuanya sudah sadar," katanya. Memang sulit untuk menunjuk hidung, namun dengan meledaknya "kasus Jember", Hamim, petugas Babinsa Bojonegara, telah memperketat pengawasan terhadap tujuh orang yang dikenal sebagai tukang teluh -- istilah santet di Banten. Mereka itu: Rasidi Rahman, Sanidin, Nyai Keminah, Gojali, Yasin, Mat Maani dan Wiwi. "Dulu ada delapan orang juru teluh paling beken, seorang yaitu Unen telah meninggal," tutur Lettu Arlan, Danramil Bojonegara. Juru teluh di kawasan ini, pada 1979 pernah membuat pernyataan di Kores 814 Cilegon, untuk tidak melakukan lagi praktek sesat itu. "Nyatanya dilanggar sendiri," kata Hamim, 43 tahun, yang sudah berdinas enam tahun di sini. Memang "memberantas teluh sama seperti memberantas judi, sulit," tambahnya. Tapi, Nyai Keminah, perempuan 80 tahun, di rumahnya Kampung Regas Auran, Margasari, yang kabarnya salah seorang di antara mereka, cuma mengaku sebagai dukun biasa. Spesialis bayi dan anak-anak serta mengurut mereka yang terkilir. Namun, konon Hamim, petugas Babinsa itu, pernah menemukan buku kecil berukuran 7 x 10 cm bertulisan Arab, ditaruh di bawah bantal Nyai Keminah. "Buku itu berisi beberapa petunjuk berbuat kejahatan dan pencegahannya," kata Hamim. Kesimpulannya, yang diobati Nyai Keminah adalah orang yang pernah ia sakiti sebelumnya. Tentu saja si Nyai membantah. "Biar disambar geledek, saya belum pernah melakukan pekerjaan itu," katanya. Di Banten ada lagi praktek sejenis teluh yang dikenal dengan sebutan lenggor. Konon tempatnya di Desa Malimping, masih di Kec. Bojonegara, dilakukan oleh seorang juru kunci sebuah makam yang dikeramatkan. Seseorang yang ingin mencelakakan orang lain, tinggal datang ke juru kunci (kuncen) itu. Sebutkan saja nama orang yang ingin dicelakai, lengkap dengan hari kelahirannya dan orang tuanya. Pulang dari makam itu, si pencari lenggor, tinggal menunggu: orang yang dicelakainya menjadi sinting, berpakaian tak keruan atau berteriak-teriak. LALU ada lagi jenis lainnya, terutama untuk menaklukkan hati wanita. Di Pandeglang, Banten, Jabar disebut kemat. Si pencari kemat datang ke dukun, kemudian menyebut nama wanita yang akan dijadikan mangsa. Pulang dari dukun, wanita itu sudah tergila-gila kepada si pencari kemat. Ini ilmu menggaet wanita jarak jauh, sedang yang memakai perantara kembang atau minyak wangi disebut pelet. Di Bali ilmu ini disebut pangeger. Wanita yang kena "ilmu" ini bisa mondar-mandir mencari si pemasangnya. Adakah cara lain, untuk membentengi diri dari ilmu santet, teluh, bebaii dan entah apa lagi namanya ini, selain lari ke dukun serupa? Masyarakat Jawa percaya, halaman rumah yang ditanami pepaya gantung akan sulit dimasuki santet. Masyarakat Bali, biasanya memakai bawang merah yang dioleskan di pintu rumah untuk melawan segala ilmu hitam. Sedang untuk menghilangkam ilmu yang dimiliki juru santet, ada juga caranya. Yakni, mengolesi tubuh juru santet dengan minyak babi, jika perlu dipaksa meminumnya. Di Bali, yang penduduknya biasa makan daging babi, juru santet dipaksa minum air kelapa gading untuk melenyapkan ilmu sang dukun. Pemberantasan seperti ini, pernah dilakukan oleh Sersan Mayor A. Nioelik, staf Koramil Sumberjambe, Kabupaten Jember, menjelang Pemilu 1977. Saat itu, dalam rangka "mengamankan Pemilu", tak kurang dari 50 dukun santet dikumpulkan di Kodim Jember, untuk dipaksa agar melepas ilmunya. Air kencing dan kotoran masing-masing dukun santet dicampuri minyak babi. Adonan ini dimakan para dukun. "Hasilnya positif, ilmu santet yang dimilikinya hilang setelah menelan campuran itu," kata Nioelik. Kasus pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai juru santet seperti di Jember, bukanlah yang pertama. Tubagus Ronny Nitibaskara, sarjana Kriminologi FIS-UI menyebut, pembunuhan tukang santet sebelumnya pernah terjadi di Pulau Seribu, Banten, Ambon dan Ciamis. Di Bali sendiri, beberapa tukang santet juga dibunuh massa ketika meletusnya G 30 S/PKI. Tidak diketahui, berapa jatuh korban. RONNY Nitibaskara kini sedang menyiapkan disertasi untuk meraih doktor dengan ilmu santet ini. Dengan judul Paktek Black Magic di Banten Selatan, Ronny yang lahir di Banten 36 tahun lalu, mengadakan penelitian di daerahnya. Diketahui, ada dukun santet yang punya buku berisi nama-nama orang yang dijadikan korban, berdasarkan pesanan orang lain. "Saya menemui sebuah dokumen bekas tukang santet yang tobat. Jelas tercantum siapa dan alamat korbannya," kata Ronny. Dukun ini selama praktek di daerah Parung (Bogor) telah menghilangkan 600 nyawa. Masih dalam penelitian Ronny Nitibaskara, ilmu santet tumbuh subur dimasyarakat agraris. "Tapi itu tidak mesti," ujarnya, "bukan tak mungkin banyak orang kota yang berpendidikan tinggi meminta tolong tukang santet untuk membunuh lawannya." Ronny yang kini Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni FIS-UI mengkonstatir, ilmu hitam di bagian timur Indonesia lebih subur dibanding wilayah barat. Tak disebut apa alasannya, tapi mirip dengan penelitian Suripan Sadi Hutomo: keampuhan ilmu hitam di sebuah daerah (pulau) lebih nampak pada bagian timurnya, karena mengikuti kodrati perjalanan matahari. Banyuwangi dan Jember untuk Jawa, Karangasem untuk Bali memang membuktikan hal itu, tetapi di Lombok ilmu ini justru berkembang hebat di Lombok Barat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus