ILMU santet, ilmu hitam untuk mencelakakan orang lain terdapat
di mana-mana. Bukan saja di Asia, tapi juga di Eropa, di
Afrika, santet telah berkembang-biak, dan membikin gara-gara.
Di Indonesia, ilmu hitam itu sudah berumur begitu tua, dan sudah
menjadi "kebudayaan bangsa". Suripan Sadi Hutomo, seorang ahli
sastra Jawa di IKIP Surabaya menyebut ilmu santet sebagai "salah
satu milik budaya bangsa kita."
Suripan salah seorang dari sedikit peneliti yang mencoba
menelusuri ilmu santet ini, mengaku terus terang, tak hendak
ingin mempublikasikan hasil penelitiannya. Karena, katanya
khawatir para ilmuwan tak bisa menerima ilmu hitam itu sebagai
suatu "ilmu yang nyata". Alasan yang sama pernah diungkapkan
seorang dosen dari Universitas Udayana Denpasar. Tapi Suripan
menyebut: "bahwa ilmu santet itu ada dan bisa dipelajari, cuma
sulit diuraikan secara ilmiah."
Suripan sendiri, mulai tertarik pada ilmu aneh ini karena ia
pernah diancam. Ketika itu, awal 1970-an, ia jatuh hati pada
gadis Blitar yang tinggal di Banyuwangi. "Hati-hati, kamu bisa
disantet orang .. . " begitu peringatan bernada ancaman. "Justru
adanya peringatan mengancam ini, saya menjadi tertarik
mempelajari ilmu santet," lanjut Suripan. Untuk apa? Di samping
penelitian, Suripan mengaku lebih banyak untuk "menjaga diri
jika disantet".
Juru santet ada, karena ada orang yang membutuhkannya. Umumnya
untuk melampiaskan sakit hati, rasa dengki dan sejenisnya.
Mungkin karena rebutan warisan atau harta, bisa terjadi lantaran
sekedar iri, dan yang paling banyak soal perempuan.
Di Bali dan Lombok, sering terdengar seorang gadis rupawan
tiba-tiba jadi gila mendadak. Atau sakit yang tak jelas di
tangan seorang dokter. Keluarga sang gadis menyelidiki, adakah
dara ini diincar lebih dari satu pria. Kalau ya, maka persaingan
antar lelaki ini jelas tidak fair. Salah satunya memakai santet
-- di Bali jenis santet ini disebut bebaii.
Korban bebaii ini bisa lumpuh, berteriak-teriak sepanjang hari,
atau memukul-mukulkan kepalanya di dinding. Pernah terjadi, di
sebuah desa di Kabupaten Karangasem, perut sang gadis tiba-tiba
membesar. Dikira hamil, ternyata isinya serabut kelapa. "Bebaii
seperti ini didatangkan dari Lombok," kata seorang ulama di
Bali.
Untuk menyembuhkan korban bebaii, harus menempuh liku yang
panjang. Keluarga korban harus mencari dukun khusus yang bisa
menerangkan, siapa penyantetnya. Dukun khusus ini disebut
balian. Dari sini keluarga korban menghubungi juru santet yang
"punya" bebaii itu. Tentu tak mudah diakuinya, tapi biasanya
tergantung dari kesanggupan membayar.
Jika beres, korban bebaii itu disembuhkan -- tapi juru santet
ini tetap merahasiakan siapa yang menyuruh memasang bebaii buat
sang gadis. Ini semacam kode etik dalam dunia ilmu hitam di
Bali, karena itu jarang terjadi balas dendam. Sementara untuk
melampiaskan dendam kepada juru santetnya sendiri, risikonya
sangatlah besar. Sebab juru santet biasanya berdiam berkelompok,
di sebuah desa yang "angker".
Sebelum tahun 1970-an, perkampungan santet terkenal di Bali
adalah Desa Sanur. Kegiatan pariwisata agaknya telah menggusur
para santet ini. Sekarang, perkampungan santet yang dianggap
"paling jitu" terdapat di sebuah desa dekat Danau Batur,
Kabupaten Bangli.
SEPERTI halnya Bali, juru santet di Banten juga mengelompok.
Yang dikenal "paling angker" adalah wilayah Kecamatan Bojonegara
di Banten Utara, yang sebagian besar penduduknya berpenghasilan
rendah sebagai petani dan nelayan miskin. Di sini ada dua lokasi
yang dianggap basis juru santet, yaitu Desa Argawana dan
Margasari.
Tapi Satii, Kepala Desa Argawana membantahnya. "Itu tak benar.
Sekarang semuanya sudah sadar," katanya. Memang sulit untuk
menunjuk hidung, namun dengan meledaknya "kasus Jember", Hamim,
petugas Babinsa Bojonegara, telah memperketat pengawasan
terhadap tujuh orang yang dikenal sebagai tukang teluh --
istilah santet di Banten. Mereka itu: Rasidi Rahman, Sanidin,
Nyai Keminah, Gojali, Yasin, Mat Maani dan Wiwi. "Dulu ada
delapan orang juru teluh paling beken, seorang yaitu Unen telah
meninggal," tutur Lettu Arlan, Danramil Bojonegara.
Juru teluh di kawasan ini, pada 1979 pernah membuat pernyataan
di Kores 814 Cilegon, untuk tidak melakukan lagi praktek sesat
itu. "Nyatanya dilanggar sendiri," kata Hamim, 43 tahun, yang
sudah berdinas enam tahun di sini. Memang "memberantas teluh
sama seperti memberantas judi, sulit," tambahnya.
Tapi, Nyai Keminah, perempuan 80 tahun, di rumahnya Kampung
Regas Auran, Margasari, yang kabarnya salah seorang di antara
mereka, cuma mengaku sebagai dukun biasa. Spesialis bayi dan
anak-anak serta mengurut mereka yang terkilir.
Namun, konon Hamim, petugas Babinsa itu, pernah menemukan buku
kecil berukuran 7 x 10 cm bertulisan Arab, ditaruh di bawah
bantal Nyai Keminah. "Buku itu berisi beberapa petunjuk berbuat
kejahatan dan pencegahannya," kata Hamim. Kesimpulannya, yang
diobati Nyai Keminah adalah orang yang pernah ia sakiti
sebelumnya. Tentu saja si Nyai membantah. "Biar disambar
geledek, saya belum pernah melakukan pekerjaan itu," katanya.
Di Banten ada lagi praktek sejenis teluh yang dikenal dengan
sebutan lenggor. Konon tempatnya di Desa Malimping, masih di
Kec. Bojonegara, dilakukan oleh seorang juru kunci sebuah makam
yang dikeramatkan. Seseorang yang ingin mencelakakan orang lain,
tinggal datang ke juru kunci (kuncen) itu. Sebutkan saja nama
orang yang ingin dicelakai, lengkap dengan hari kelahirannya dan
orang tuanya. Pulang dari makam itu, si pencari lenggor, tinggal
menunggu: orang yang dicelakainya menjadi sinting, berpakaian
tak keruan atau berteriak-teriak.
LALU ada lagi jenis lainnya, terutama untuk menaklukkan hati
wanita. Di Pandeglang, Banten, Jabar disebut kemat. Si pencari
kemat datang ke dukun, kemudian menyebut nama wanita yang akan
dijadikan mangsa. Pulang dari dukun, wanita itu sudah
tergila-gila kepada si pencari kemat. Ini ilmu menggaet wanita
jarak jauh, sedang yang memakai perantara kembang atau minyak
wangi disebut pelet. Di Bali ilmu ini disebut pangeger. Wanita
yang kena "ilmu" ini bisa mondar-mandir mencari si pemasangnya.
Adakah cara lain, untuk membentengi diri dari ilmu santet,
teluh, bebaii dan entah apa lagi namanya ini, selain lari ke
dukun serupa? Masyarakat Jawa percaya, halaman rumah yang
ditanami pepaya gantung akan sulit dimasuki santet. Masyarakat
Bali, biasanya memakai bawang merah yang dioleskan di pintu
rumah untuk melawan segala ilmu hitam.
Sedang untuk menghilangkam ilmu yang dimiliki juru santet, ada
juga caranya. Yakni, mengolesi tubuh juru santet dengan minyak
babi, jika perlu dipaksa meminumnya. Di Bali, yang penduduknya
biasa makan daging babi, juru santet dipaksa minum air kelapa
gading untuk melenyapkan ilmu sang dukun.
Pemberantasan seperti ini, pernah dilakukan oleh Sersan Mayor A.
Nioelik, staf Koramil Sumberjambe, Kabupaten Jember, menjelang
Pemilu 1977. Saat itu, dalam rangka "mengamankan Pemilu", tak
kurang dari 50 dukun santet dikumpulkan di Kodim Jember, untuk
dipaksa agar melepas ilmunya. Air kencing dan kotoran
masing-masing dukun santet dicampuri minyak babi. Adonan ini
dimakan para dukun. "Hasilnya positif, ilmu santet yang
dimilikinya hilang setelah menelan campuran itu," kata Nioelik.
Kasus pembunuhan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai juru
santet seperti di Jember, bukanlah yang pertama. Tubagus Ronny
Nitibaskara, sarjana Kriminologi FIS-UI menyebut, pembunuhan
tukang santet sebelumnya pernah terjadi di Pulau Seribu, Banten,
Ambon dan Ciamis. Di Bali sendiri, beberapa tukang santet juga
dibunuh massa ketika meletusnya G 30 S/PKI. Tidak diketahui,
berapa jatuh korban.
RONNY Nitibaskara kini sedang menyiapkan disertasi untuk meraih
doktor dengan ilmu santet ini. Dengan judul Paktek Black Magic
di Banten Selatan, Ronny yang lahir di Banten 36 tahun lalu,
mengadakan penelitian di daerahnya. Diketahui, ada dukun santet
yang punya buku berisi nama-nama orang yang dijadikan korban,
berdasarkan pesanan orang lain. "Saya menemui sebuah dokumen
bekas tukang santet yang tobat. Jelas tercantum siapa dan alamat
korbannya," kata Ronny. Dukun ini selama praktek di daerah
Parung (Bogor) telah menghilangkan 600 nyawa.
Masih dalam penelitian Ronny Nitibaskara, ilmu santet tumbuh
subur dimasyarakat agraris. "Tapi itu tidak mesti," ujarnya,
"bukan tak mungkin banyak orang kota yang berpendidikan tinggi
meminta tolong tukang santet untuk membunuh lawannya."
Ronny yang kini Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Alumni
FIS-UI mengkonstatir, ilmu hitam di bagian timur Indonesia lebih
subur dibanding wilayah barat. Tak disebut apa alasannya, tapi
mirip dengan penelitian Suripan Sadi Hutomo: keampuhan ilmu
hitam di sebuah daerah (pulau) lebih nampak pada bagian
timurnya, karena mengikuti kodrati perjalanan matahari.
Banyuwangi dan Jember untuk Jawa, Karangasem untuk Bali memang
membuktikan hal itu, tetapi di Lombok ilmu ini justru berkembang
hebat di Lombok Barat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini