Saya tertarik pada tulisan Muhammad Ali yang berjudul "Sikap Hidup: Jangan Berkiblat ke Barat" (TEMPO, 6 April 1991, Komentar). Hal-hal yang ditulis oleh Muhammad Ali itu hanya menyoroti sisi buruk dari dunia Barat, yang kebanyakan diungkapkan secara hitam-putih dan sangat berlebihan sehingga tak ada unsur obyektivitas dalam cara memandangnya, dan justru mengesankan bahwa itu berasal dari kekurangtahuannya tentang apa yang sebenarnya terjadi di dunia Barat. Kata "Barat" itu sendiri sekarang semakin absurd adanya seperti yang pernah ditulis oleh Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir di TEMPO, 13 April 1991. Tapi, baiklah, Barat itu kita identikkan dengan negara-negara Amerika Serikat, Eropa Barat, Kanada, Australia, dan Selandia Baru, yakni negara-negara industri maju dengan segala tetek-bengeknya. Betapa banyak manfaat yang dapat kita ambil dari masyarakat Barat itu. Misalnya tentang kesadaran mereka membayar pajak yang begitu tinggi demi suatu sistem pemerataan sosial ekonomi yang mereka buat. Di Belanda, misalnya, semua warga negara yang berusia minimal 18 tahun dan masih menuntut ilmu atau belum bekerja mendapat tunjangan minimal dari pemerintah. Demikian juga mereka yang sudah memasuki usia pensiun, tanpa peduli apakah bekas pegawai negeri atau bukan, karena pajak yang telah dibayarnya juga termasuk jaminan di hari tua. Juga ada berbagai macam jaminan dari pemerintah, seperti pemberian pengobatan bagi si sakit, pemberian alat-alat pembantu perlengkapan tubuh seperti hearing aid dan kaca mata, serta biaya sekolah untuk semua warga negara di bawah usia 18 tahun. Apabila Muhamad Ali pernah tinggal di Amsterdam, barangkali ia akan merasa kagum sekaligus "haru" melihat ribuan orang bersepeda angin dan berjalan kaki. Hanya sedikit sekali mobil pribadi melintas di jalan raya di kota itu. Juga "kerukunan" antara trem, mobil, sepeda, dan pejalan kaki dapat ditemui di sana. Ada juga bangunan-bangunan berkubah, tempat orang Islam bersembahyang. Tapi, tentu saja, di masjid-masjid itu orang tidak perlu pengeras suara yang kadang memekakkan telinga. Memang keadaan seperti itu lahir dari toleransi sebagai konsekuensi demokrasi yang mereka anut. Moh. Ali menyebutkan, "Di situ merajalela banditisme, perkosaan, berbagai skandal, pecandu-pecandu narkotik dan heroin (heroin adalah salah satu jenis narkotik) berkeliaran secara bebas, koboi-koboi perang, para pembunuh bayaran, kaum homo, lesbian, rasialisme, bikini, kaum nudis, New Nazi, penyebar AIDS, dan sebagainya. Agama dan susila di sana praktis telah lumpuh...." Tampaknya, ia terlampau berlebihan dalam memberikan penilaian. Ini sangat berbahaya karena kebanyakan dari masyarakat kita tidak tahu seperti apa gambaran negeri-negeri Barat itu sehingga bila dibiarkan gambaran yang mereka-reka sendiri dari membaca tulisan Moh. Ali, misalnya, akan semakin berlebihan pula. Kita tak boleh munafik. Agama pun melarangnya dengan ancaman neraka. Perkosaan, skandal, banditisme, pecandu narkotik, kaum homo, lesbian, rasialisme, pembunuh bayaran, dan sebagainya bukanlah monopoli dunia Barat, tapi hal itu bisa terjadi di mana saja, kapan saja. Juga di Indonesia. Itu semua bersumber dari karakter manusia itu sendiri serta perkembangan jiwanya, dan bukan terlahir dari suatu sistem kenegaraan secara langsung tapi sebagai akibat adanya industrialisasi di mana terjadi pergeseran nilai budaya. Jadi, bukan "Barat"-nya, melainkan, itu tadi, karakter dan perkembangan jiwa seseorang dan juga industrialisasi. Siapa yang Anda maksud sebagai "berkeliaran secara bebas"? Ah, barangkali Moh. Ali waktu itu baru saja menonton sebuah film Barat atau film keras buatan negeri non-Barat. Padahal, film tidak selalu menggambarkan masyarakat pembuat film itu. Film tidak selalu bercerita tentang kisah nyata, melainkan bisa juga tentang hal-hal yang sama sekali bertentangan dengan kenyataan walaupun kelihatannya masuk akal. Tapi juga bisa campuran antara keduanya, tergantung maunya si pembuat skenario. Semua ini sekaligus menjawab penilaian Anda tentang kebebasan seks yang Anda lihat di film-film Barat. Kebebasan bergaul dan pergaulan bebas tidaklah sama artinya. Kebebasan bergaul mutlak diperlukan oleh manusia yang berakal budi. Misalnya demi pertukaran pendapat, dan mencari identitas diri. Sedangkan pergaulan bebas memang cenderung berkonotasi free sex. Kebebasan bergaul juga merupakan konsekuensi demokrasi, yakni pemberian hak yang sama kepada semua warga negara. Maka, timbullah apa yang disebut emansipasi wanita. Di negeri Timur pembuatan film porno dan gambar-gambar porno atau semiporno juga dilakukan, baik secara legal maupun ilegal, seperti di Muangthai, Taiwan, Jepang dan, barangkali, Indonesia. Lalu, apakah yang tergambar di pikiran Anda tentang masyarakat Barat tentang seks? Apakah hanya dengan mendekati seorang kawan perempuan, kemudian bilang, "Mari kita tidur", kemudian si dia mau? Bila demikian, gambaran Anda salah besar. Mereka juga punya etika dan mereka juga manusiawi. Tanggung jawab moral juga tinggi di sana, terbukti bila si wanita pasangan kumpul kebonya hamil, ya kawin. Lain dengan yang beberapa kali terbukti di negeri Timur, seperti janda hamil tanpa diketahui siapa ayah si calon bayi. Atau pulangnya seorang TKW dalam keadaan hamil padahal dia masih berstatus gadis, atau adanya TKW yang pulang karena "barang" miliknya rusak. Tanpa melihat dari segi agama, secara manusiawi hal seperti itu jelas cermin ketidakberadaban sementara manusia yang hidup di bumi kita tercinta ini. MA'MUN HIDAYAT RT 05 RW 04 Desa Tambaksari Kec. Kedungreja, Kab. Cilacap Jawa Tengah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini