Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYANDANG nama ”Mas” tak otomatis membuat sebuah kelompok usaha akan terus bersinar terang. Rapor perilaku Raja Garuda Mas dan Domba Mas, misalnya, terlihat kusam di mata PT Bank Mandiri Tbk., sang kreditor. Setidaknya itulah penilaian teranyar Agus Martowardojo, Rabu pekan lalu.
Nakhoda Bank Mandiri ini sedang gundah. Dari total non-performing loans alias kredit seret bank pelat merah ini yang Rp 27,1 triliun, sebagian besar dipunyai para pengutang kakap yang tak punya itikad baik menyelesaikan kewajibannya. Padahal, kata Agus, ”Jika saja lima atau enam utang kakap diselesaikan, tingkat NPL Bank Mandiri (kini 26,6 persen) akan kembali normal.”
Dalam buku utang terbaru Bank Mandiri, Raja Garuda (milik Sukanto Tanoto) dan Domba Mas (Susanto Liem) termasuk dua dari enam debitor top di bank beraset lebih dari Rp 260 triliun ini. Empat lainnya adalah Argo Pantes (The Nin King), Kiani (Prabowo Subianto), A. Latief Corporation (Abdul Latief), dan Djajanti (Burhan Uray).
Mata Agus khusus tertuju kepada RGM dan Domba Mas, sebab kedua kelompok usaha ini masih punya perusahaan kinclong. Argo Pantes saja, yang prospek usahanya kini pudar, masih kooperatif: bersedia menyerahkan aset tanah dan bangunan milik 11 unit usa-hanya sebagai alat pembayaran.
Kasus kredit macet di kedua grup itu sebetulnya sudah lama mengundang kontroversi. Tentang kredit Mandiri ke Domba Mas tiga tahun lalu, misalnya, Kejaksaan—berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan tahun lalu—menilai tak sesuai prosedur.
Utang Domba Mas bermula dari pembelian aset kredit milik Badan Penyehatan Perbankan Nasional pada 2003. Saat itu, Mandiri membeli tagihan atas utang PT Domas Agrointi Prima (perusahaan sawit Domba Mas Group) dari BPPN senilai Rp 1,8 triliun. Padahal, kategorinya tergolong tak lancar.
Belakangan, PT Domas mendapat kucuran kredit dari Bank Mandiri US$ 79 juta untuk membangun kompleks pabrik oleochemical terpadu di Kuala Tanjung, Kabupaten Asahan, Sumatera Utara. Namun, niat mengoperasikan pabrik ini pada kuartal ketiga 2004 tak tercapai. Buntutnya, pembayaran kredit ke Mandiri pun tersendat.
Nada protes sebetulnya sejak jauh-jauh hari sudah nyaring disuarakan LSM Gerakan Rakyat Antikorupsi (Gerak). Domba Mas sejatinya perusahaan produsen lensa dan bingkai kacamata yang tak punya jejak rekam di bisnis sawit. Namun, direksi Mandiri saat itu E.C.W. Neloe berkukuh menyatakan perusahaan itu tak bermasalah.
Kontroversi ini belakangan surut dengan munculnya Procter & Gamble (P&G). Raksasa produsen dan distributor kebutuhan rumah tangga ini sepakat untuk memborong 200 ribu ton produk oleochemical Domba Mas (diproduksi PT Domas dan PT Sawitmas Agro Perkasa) selama 10 tahun senilai lebih dari US$ 1 miliar.
Jaminan ini meruapkan keraguan atas Domba Mas. Tapi, menurut Direktur Pengelola Bank Mandiri, Riswinandi, dari 11 anak perusahaan Domba Mas yang berutang, baru PT Domas yang membayar sebesar Rp 890 miliar Oktober tahun lalu. Sedangkan Rp 1,99 miliar sisanya masih bermasalah.
Janjinya, pembayaran kembali akan dilakukan pada Desember 2005 (Rp 285 miliar) dan Maret 2006. Namun, hingga kini janji itu hanya tebu di bibir. ”Karena itu, kami masukkan lagi ke kelompok tak beritikad baik,” kata Riswinandi.
Subiyanto S.P., salah seorang Direktur Domba Mas, mengakui tersendatnya pembayaran utang ke Mandiri. Ini disebabkan kas perusahaan yang belum memadai. Ia pun yakin jika PT Domas telah mulai berproduksi—targetnya pertengahan tahun ini—pemegang saham akan membayar sisa utang Domba Mas. ”Kami punya komitmen dan itikad baik untuk menyelesaikannya,” ujarnya.
Bagaimana dengan Raja Garuda Mas? Produsen penghasil kertas dan bubur kertas ini hingga kini tercatat masih punya utang macet Rp 5,3 triliun ke Bank Mandiri. Utang ini bagian dari kredit sindikasi bank (termasuk BNI, Panin, Niaga, dan Danamon) senilai total US$ 1,5 miliar atau sekitar Rp 14 triliun ke sejumlah anak usahanya, termasuk PT Riau Andalan Pulp and Paper, PT Riau Andalan Kertas, dan PT Riau Prima Energi.
Cicilan RGM ke Mandiri sebetulnya tergolong lancar, tapi karena macet di salah satu bank, menurut aturan Bank Indonesia, otomatis kredit ini pun dikategorikan macet di semua bank. Yang kini dipersoalkan Mandiri adalah besaran angsuran utang yang dinilai tak lagi memadai. Salah satu toloknya: harga kertas dan pulp membubung di pasar dunia: dari US$ 400 per ton pada 2002 menjadi US$ 700 di pasar Amerika.
Kabarnya, akibat lonjakan harga ini pendapatan RGM kini mencapai US$ 1 miliar per tahun. Namun, seperti pernah dituturkan Direktur BNI, Tjahjana Tjakrawinata, yang dipakai untuk bayar utang cuma US$ 61,2 juta (Tempo, 23 April 2006). Tak mengherankan jika Sukanto pun bisa bebas melebarkan sayap bisnisnya ke sejumlah negara, termasuk Cina, Brasil, dan Finlandia.
Dari sini, direksi Mandiri kini meminta setoran lebih dari RGM. Agus mematok angka US$ 120 juta per tahun. ”Diharapkan sebelum akhir Juli sudah tercapai kesepakatan,” katanya. Hanya dengan itu, RGM pun akan kembali masuk daftar debitor beritikad baik.
Deputi Presiden RGM Indonesia, Ibrahim Hasan, menolak stempel itu. Alasannya, pembayaran pokok dan bunga utang dilakukan sesuai jadwal. Soal tambahan cicilan, ia menegaskan telah dinegosiasikan sejak akhir 2004. Pertanyaannya, kapan negosiasi bisa rampung?
Metta Dharmasaputra, Yura Syahrul, Suryani Ika Sari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo