IA pernah disebut sebagai tokoh Jimmy Stewart dalam film
sutradara Frank Capra. Tinggi semampai, 193 cm. Seperti selalu
sendirian. Ia tinggal di sebuah kamar yang sewanya murah, dan
berkantor di sebuah ruangan sederhana tanpa sekretaris. Ia
bekerja 18 jam sehari. Ia tidak punya mobil, dan tak ingin
mempunyainya. Ia tak merokok. Ia tak minum alkohol, cuma
terkadang anggur dan bir sekali-sekali. Ia hampir tak pernah
muncul dalam pesta dan resepsi. Tapi ia pernah dinyatakan
sebagai satu dari 10 pemuda terkemuka Amerika di tahun 1967.
Ralph Nader, tentu saja. Nama ini di Indonesia masih belum
tenar, tapi mungkin segera bukan sesuatu yang asing. Laki-laki
yang kini berusia 44 tahun ini merupakan jawaban yang gigih
kepada kehidupan Amerika yang sekarang juga nampak sedang mulai
di Indonesia: kehidupan perdagangan barang konsumsi, yang tak
jarang begitu riuh-rendah dan kacau hingga melangkahi akal
sehat.
Sejak mahasiswa Nader ini sudah menampakkan wataknya yang
bandel: ia tak ikut mode. Ia tak hendak, seperti kawan-kawan
segenerasinya, memakai sepatu putih dan bersikap apatis dalam
soal sosial-politik. Ia berkampanye untuk mencegah kampusnya di
Princeton disemprot DDT (tapi gagal). Ia penganjur gagasan agar
para mahasiswa sadar akan hak-hak mereka yang sah -- karena ia
tahu betapa seringnya perlakuan sewenang-wenang terjadi di
universitas.
Tapi sebagaimana banyak mahasiswa yang kritis, Ralph cerdas. Ia
lulus magna cum laude di tahun 1955, dalam jurusan pemerintahan
dan ekonomi. Dari sini ia meneruskan ke jurusan hukum di
Universitas Harvard - sebuah sekolah yang pernah diejeknya
sebagai "pabrik perkakas yang mahal," karena jurusan ini hanya
menyiapkan para mahasiswanya untuk mempraktekkan hukum guna
kepentingan bank atau perusahaan.
Ralph lulus dengan pujian, meskipun ia kuliah sambil kerja
sambilan dan menjadi redaktur larvard Law Record. Dan ia tak
mempraktekkan pengetahuan hukumnya buat bank atau perusahaan. Ia
menghadapi mereka. Waktu masih di Harvard ia sudah menulis
sebuah kritik tentang mobil yang dibikin oleh
perusahaan-perusahaan besar di Detroit. Bukunya yang kemudian
dapat sambutan luas melanjutkan kritik itu: Unsafe at Any Speed
(Tak Aman Untuk Kecepatan Yang Bagaimanapun). Kampanyenya untuk
memperingatkan orang tentang tidak amannya mobil Amerika,
menyebabkan lahirnya undang-undang keselamatan lalulintas di
tahun 1966. Dan Ralph Nader membuat sejarah: ia, sendirian,
menghadapi industri raksasa yang telah jadi lepas dari kontrol.
Ia bertahan, dan menang, walaupun General Motors mencoba
membungkamnya dengan mengirim detektif dan kabarnya juga
wanita-wanita cantik . . .
Bapak si Ralph adalah seorang pendatang dari Libanon. Orang Arab
yang masih mendidik anaknya berbahasa Arab ini juga mengajarkan
kepada Ralph sesuatu yang penting, dalam rangka keyakinan
seorang Amerika: bahwa "bekerja untuk keadilan adalah berjaga
bagi demokrasi kita".
Demokrasi memang harus dijaga, antaranya dengan perjuangan
terus-menerus untuk keadilan. Tapi pertama-tama tentu orang akan
bertanya, cukupkah kebutuhan kita akan keselamatan demokrasi
itu. Pada saat pengertian "demokrasi" begitu abstrak, barangkali
kata "keselamatan demokrasi" hanya akan terdengar seperti
"keselamatan ilmu fisika". Tapi pada suatu saat ketika seorang
konsumen mati karena sebuah kendaraan yang dibikin seenaknya
oleh pabriknya, ketika ribuan ibu dijustai oleh sejumlah
perusahaan susu bubuk, ketika satu generasi digerogoti oleh satu
industri besar yang menghamburkan kotoran, ketika sejumlah
keluarga hancur oleh kesewenang-wenangan lain yang tak
terkontrol lagi -- pada saat itu kita mungkin berfikir: mungkin
yang jadi taruhan adalah keselamatan kita juga.
Pada saat itulah individu tidak nampak sebagai suatu titik yang
dipertentangkan dengan kebersamaan sosial. Pada saat itulah
individu tampak sebagai si lemah yang perlu dilindungi. Atau ia
adalah seorang lelaki kurus, yang berteriak kepada kekuat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini