APA saja yang kini tak dijamah oleh Operasi Tertib? Bermula
dengan bidang angkutan di jalaul raya, pelabuhan lalu imigrasi,
tangan Opstib yang diketuai Kas Kopkamtib Sudomo itu dengan
cepat juga beralih ke sektor perpajakan. Pada hari pertama
operasi, lima petugas dan Kantor Pajak Jakarta Barat tertangkap
basah tengah melakukan tawar menawar pajak dengan beberapa toko
di kompleks pertokoan Harco di Jl Hayam Wuruk Jakarta.
Dikemanakan kelima pegawai menengah perpajakan itu". "Yah
menunggu keputusan selanjutnya sementara ini telah saya
'rumah-sajakan' mereka" kata Dirjen Pajak Sutadi Suliarya
kepada TEMPO. Sutadi yang mengaku belum lagi diminta untuk
datang ke Sudomo, berharap agar di bidang yang satu ini Opstib
kudu berhai-hati. "Terutama yang menyangkut para wajib pajak,"
katanya.
Berbeda dengan opstib sebelumnya maka opstib di bidang
perpajakan ternyata memang menimbulkan masalah yuridis bagi
fihak Kopkamtib hingga Sudomo dkk agaknya mesti lebih
berhati-hati. Dalam acara ramah-tamah dengan para direksi
bankbank pemerintah awal pekan lalu, Sudomo mengemukakan bahwa
suatu pemikiran sedang dilakukan di mana orang atau perusahaan
yang menghindar membayar pajak dikenakan sanksi pidana dengan
ancaman hukuman penjara. Dan bukan seperti sekarang ini, "di
mana para penghindar pembayar pajak hanya dikenakan denda," kata
Sudomo.
Ancaman pidana bagi penghindar pajak sesungguhnya bukan
merupkan sesuatu yang baru. Di Amerika misalnya, itu sudah
merupakan hal yang rutin. Setiap penghindar pajak pasti akan
berurusan dengan FBI, dan akan dikejar-kejar ke mana pun
perginya selagi masih berada di daerah wewenangnya.
Di Indonesia, berdasarkan Ordonansi Pajak Perseroan keluaran
tahun 192:, yang diancam dengan hukuman pidana bukanlah si
penghindar pajak. Tapi tindakan wajib pajak yang ternyata
meberikan keterangan yang tak benar. Selain tercantum dalam
ordonansi yang hingga kini belum ada gantinya itu, ancaman
hukuman pidana bagi wajib pajak yang memberikan keterangan palsu
itu juga terdapat pada UU Pajak Atas Bunga Royalti dan Dividen
1970. Ancaman hukumannya adalah kurungan (penjara) dari enam
bulan sampai dua tahun.
Sadar bahwa pemikiran ini akan menghadapi aspek-aspek yuridis
yang bisa rumit. Sudomo dalam kesempatan yang sama
mellgenlukakan keinginannya untuk bertemu dengan Persatuan
Advokat Indonesia (Peradin) untuk "mengecek bagaimana sebenarnya
duduk perkaranya." Tapi belum lagi berlangsung pertemuan itu.
fihak Peradin minta agar para pegawai perpajakan yang ketangkap
basah itu sesegera mungkin diadili. "Jangan sampai menimbulkan
kesan bahwa mereka itu sebagai tumbal saja," kata Minang Warman
dari LBH DKI menyambung keterangan Yan Apul SH dari Klinik Hukum
Peradin Jaya. Kedua yuris itu mungkin saja masih teringat akan
kisah Sidik, ketika beberapa tahun lalu Menpan Sumarlin dengan
menyamar telah menangkap basah pegawai KBN II di Jl. Juanda,
Jakarta. Bagaimana nasib mereka yang dipecat di KBN itu atau
kena tindakan skorsing hingga sekarang masih belum jelas benar.
Tapi yang pasti, kelima pegawai yang dulu terlibat penyelewengan
itu belum lagi diajukan ke pengadilan.
Nafas Lega
Kembali pada pungli yang sudah merupakan kanker dalam tubuh
aparat perpajakan, beberapa pengusaha swasta yang dihubungi TEM
PO beranggapan, itu sebagian besar dimungkinkan oleh sikap
KaultorPajak sendiri. "Pembukuan kami selalu diperiksa oleh
akuntan publik, tapi apa mau dikata kalau kantor pajak tak mau
mengakui," kata seorang pengusaha bangunan di Jakarta. Padahal
sang akuntan ditunjuk oleh Inspeksi Pajak. Rupanya Kantor Pajak
belum lagi merasa puas sebelum memeriksa sendiri pembukuan
perusahaan yang bersangkutan untuk menetapkan pajak yang
terbayar. Sulitnya dalam pemeriksaan ini selalu timbul pembedaan
penafsiran tentang apa yang boleh dipotongkan dari laba kena
pajak dan yang tidak.
Sutadi Sukarya mengakui bahwa pemeriksaan ulang itu memang
terjadi. Dia sendiri belum memberi jalan keluar bagaimana
sebaiknya petugas pajak itu melayani suatu pembukuan yang sudah
diperiksa oleh akuntan publik. Tapi, baginya yang agaknya
penting adalah ini: "Saya harus mencapai sasaran Rp 800 milyar
dalam tahun anggaran ini," katanya. "Maka mungkin saja apa yang
sudatl diajukan oleh akuntan publik itu belum sempurna."
Ketidaksempurnaan itu jelas ada. Para akuntan itu dengan
sendirinya tak ingin memberatkan para langganannya. Tapi
sulitnya, kalau terjadi perbedaan penafsiran, maka biasanya
penafsiran petugas pajak itulah yang merupakan peraturan yang
mutlak yang mesti ditaati. Pengusaha yang tak puas boleh saja
naik banding ke 'mahkamah pajak'. Tapi menempuh prosedur itu
bisa membuat si pengusaha makan hati, karena putusan untuk naik
bandilnya tokh tak kunjung datang. Sementara si pengusaha harus
sudah membayar pajak seperti ditetapkan atas penafsiran si
petugas. Keadaan ini jelas memberi peluang untuk tawar-menawar
yang biasanya berekor pada pungli juga.
Yang kasihan dengan rencana Opstib itu tentunya adalah para
akuntan publik. Karena hasil pemeriksaannya umumnya tak segera
diakui oleh Kantor Pajak, maka kian banyak pengusaha yang
berfikir: Untuk apa menghabiskan uang dengan menyewa akuntan?
Lebih-lebih kini Opstib sendiri sedang memikirkan untuk
membentuk tim auditing yang akan terdiri dari para akuntan
negara dan tenaga ahli di luar pemerintah yang bertugas
memeriksa data-data yang disampaikan wajib pajak.
Apakah hasil tim audit Opstib itu nantinya dengan sendirinya
akan diakui oleh Kantor Pajak Bisakah Perpajakan diminta untuk
mengakui hasil pemeriksaan tim ilu, hingga petugas pajak tak
usah lagi memeriksa sendiri pembukuan si pengusaha? Sutadi
Sukarya angkat bahu ketika ditanya soal itu. Tapi dia
mengingatkan: "Hendaknya jangan sampai timbul kesan ada instansi
pajak yang lehih tinggi lagi dari Direktorat Pajak yang diakui
oleh undang-undang," katanya. Seakan menjawab Sutadi, Sudomo
sendiri akhir pekan lalu juga mengatakan bahwa "tugas Opstib
sekarang hanyalah membantu departemen dan instansi yang sudah
ada." Maka Sutadi dan anak buahnya bisa menarik nafas lega. Tak
prerogatif dengan demikian akan tetap berada di lingkungan
Kantor Pajak.
Sementara itu, kalau ancaman pidana nanti akan berlaku bagi si
penghindar pajak, yang harus diperhatikan adalah kemungkinan
terjadinya ekses. Sadar bahwa si wajib pajak bisa diancam
hukuman kurungan, bisa saja ketentuan itu dimanfaatkan oleh
petugas pajak untuk menakut-nakuti wajib pajak, terjadi lagi
pungli, atau kesempatan untuk itu. Maka pendekatan yang paling
baik dalam menghapus pungli di sektor perpajakan adalah dengan
meneliti kembali semua peraturan perpajakan, dibikin jelas apa
yang kurang jelas, disederhanakan apa yang masih rumit, bikin
tiap kata dalam undang-undang punya arti gamblang, hingga tak
mengambang. Pengalaman menunjukkan bahwa tindakan yang semrawut
pada akhirnya tak menghasilkan apa-apa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini