Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Opstib kudu hati-hati

Opstib beralih ke sektor perpajakan, membuat sudomo lebih berhati-hati. wajib pajak yang memberi keterangan tak benar, menimbulkan masalah juridis bagi kopkamtib. (nas)

10 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA saja yang kini tak dijamah oleh Operasi Tertib? Bermula dengan bidang angkutan di jalaul raya, pelabuhan lalu imigrasi, tangan Opstib yang diketuai Kas Kopkamtib Sudomo itu dengan cepat juga beralih ke sektor perpajakan. Pada hari pertama operasi, lima petugas dan Kantor Pajak Jakarta Barat tertangkap basah tengah melakukan tawar menawar pajak dengan beberapa toko di kompleks pertokoan Harco di Jl Hayam Wuruk Jakarta. Dikemanakan kelima pegawai menengah perpajakan itu". "Yah menunggu keputusan selanjutnya sementara ini telah saya 'rumah-sajakan' mereka" kata Dirjen Pajak Sutadi Suliarya kepada TEMPO. Sutadi yang mengaku belum lagi diminta untuk datang ke Sudomo, berharap agar di bidang yang satu ini Opstib kudu berhai-hati. "Terutama yang menyangkut para wajib pajak," katanya. Berbeda dengan opstib sebelumnya maka opstib di bidang perpajakan ternyata memang menimbulkan masalah yuridis bagi fihak Kopkamtib hingga Sudomo dkk agaknya mesti lebih berhati-hati. Dalam acara ramah-tamah dengan para direksi bankbank pemerintah awal pekan lalu, Sudomo mengemukakan bahwa suatu pemikiran sedang dilakukan di mana orang atau perusahaan yang menghindar membayar pajak dikenakan sanksi pidana dengan ancaman hukuman penjara. Dan bukan seperti sekarang ini, "di mana para penghindar pembayar pajak hanya dikenakan denda," kata Sudomo. Ancaman pidana bagi penghindar pajak sesungguhnya bukan merupkan sesuatu yang baru. Di Amerika misalnya, itu sudah merupakan hal yang rutin. Setiap penghindar pajak pasti akan berurusan dengan FBI, dan akan dikejar-kejar ke mana pun perginya selagi masih berada di daerah wewenangnya. Di Indonesia, berdasarkan Ordonansi Pajak Perseroan keluaran tahun 192:, yang diancam dengan hukuman pidana bukanlah si penghindar pajak. Tapi tindakan wajib pajak yang ternyata meberikan keterangan yang tak benar. Selain tercantum dalam ordonansi yang hingga kini belum ada gantinya itu, ancaman hukuman pidana bagi wajib pajak yang memberikan keterangan palsu itu juga terdapat pada UU Pajak Atas Bunga Royalti dan Dividen 1970. Ancaman hukumannya adalah kurungan (penjara) dari enam bulan sampai dua tahun. Sadar bahwa pemikiran ini akan menghadapi aspek-aspek yuridis yang bisa rumit. Sudomo dalam kesempatan yang sama mellgenlukakan keinginannya untuk bertemu dengan Persatuan Advokat Indonesia (Peradin) untuk "mengecek bagaimana sebenarnya duduk perkaranya." Tapi belum lagi berlangsung pertemuan itu. fihak Peradin minta agar para pegawai perpajakan yang ketangkap basah itu sesegera mungkin diadili. "Jangan sampai menimbulkan kesan bahwa mereka itu sebagai tumbal saja," kata Minang Warman dari LBH DKI menyambung keterangan Yan Apul SH dari Klinik Hukum Peradin Jaya. Kedua yuris itu mungkin saja masih teringat akan kisah Sidik, ketika beberapa tahun lalu Menpan Sumarlin dengan menyamar telah menangkap basah pegawai KBN II di Jl. Juanda, Jakarta. Bagaimana nasib mereka yang dipecat di KBN itu atau kena tindakan skorsing hingga sekarang masih belum jelas benar. Tapi yang pasti, kelima pegawai yang dulu terlibat penyelewengan itu belum lagi diajukan ke pengadilan. Nafas Lega Kembali pada pungli yang sudah merupakan kanker dalam tubuh aparat perpajakan, beberapa pengusaha swasta yang dihubungi TEM PO beranggapan, itu sebagian besar dimungkinkan oleh sikap KaultorPajak sendiri. "Pembukuan kami selalu diperiksa oleh akuntan publik, tapi apa mau dikata kalau kantor pajak tak mau mengakui," kata seorang pengusaha bangunan di Jakarta. Padahal sang akuntan ditunjuk oleh Inspeksi Pajak. Rupanya Kantor Pajak belum lagi merasa puas sebelum memeriksa sendiri pembukuan perusahaan yang bersangkutan untuk menetapkan pajak yang terbayar. Sulitnya dalam pemeriksaan ini selalu timbul pembedaan penafsiran tentang apa yang boleh dipotongkan dari laba kena pajak dan yang tidak. Sutadi Sukarya mengakui bahwa pemeriksaan ulang itu memang terjadi. Dia sendiri belum memberi jalan keluar bagaimana sebaiknya petugas pajak itu melayani suatu pembukuan yang sudah diperiksa oleh akuntan publik. Tapi, baginya yang agaknya penting adalah ini: "Saya harus mencapai sasaran Rp 800 milyar dalam tahun anggaran ini," katanya. "Maka mungkin saja apa yang sudatl diajukan oleh akuntan publik itu belum sempurna." Ketidaksempurnaan itu jelas ada. Para akuntan itu dengan sendirinya tak ingin memberatkan para langganannya. Tapi sulitnya, kalau terjadi perbedaan penafsiran, maka biasanya penafsiran petugas pajak itulah yang merupakan peraturan yang mutlak yang mesti ditaati. Pengusaha yang tak puas boleh saja naik banding ke 'mahkamah pajak'. Tapi menempuh prosedur itu bisa membuat si pengusaha makan hati, karena putusan untuk naik bandilnya tokh tak kunjung datang. Sementara si pengusaha harus sudah membayar pajak seperti ditetapkan atas penafsiran si petugas. Keadaan ini jelas memberi peluang untuk tawar-menawar yang biasanya berekor pada pungli juga. Yang kasihan dengan rencana Opstib itu tentunya adalah para akuntan publik. Karena hasil pemeriksaannya umumnya tak segera diakui oleh Kantor Pajak, maka kian banyak pengusaha yang berfikir: Untuk apa menghabiskan uang dengan menyewa akuntan? Lebih-lebih kini Opstib sendiri sedang memikirkan untuk membentuk tim auditing yang akan terdiri dari para akuntan negara dan tenaga ahli di luar pemerintah yang bertugas memeriksa data-data yang disampaikan wajib pajak. Apakah hasil tim audit Opstib itu nantinya dengan sendirinya akan diakui oleh Kantor Pajak Bisakah Perpajakan diminta untuk mengakui hasil pemeriksaan tim ilu, hingga petugas pajak tak usah lagi memeriksa sendiri pembukuan si pengusaha? Sutadi Sukarya angkat bahu ketika ditanya soal itu. Tapi dia mengingatkan: "Hendaknya jangan sampai timbul kesan ada instansi pajak yang lehih tinggi lagi dari Direktorat Pajak yang diakui oleh undang-undang," katanya. Seakan menjawab Sutadi, Sudomo sendiri akhir pekan lalu juga mengatakan bahwa "tugas Opstib sekarang hanyalah membantu departemen dan instansi yang sudah ada." Maka Sutadi dan anak buahnya bisa menarik nafas lega. Tak prerogatif dengan demikian akan tetap berada di lingkungan Kantor Pajak. Sementara itu, kalau ancaman pidana nanti akan berlaku bagi si penghindar pajak, yang harus diperhatikan adalah kemungkinan terjadinya ekses. Sadar bahwa si wajib pajak bisa diancam hukuman kurungan, bisa saja ketentuan itu dimanfaatkan oleh petugas pajak untuk menakut-nakuti wajib pajak, terjadi lagi pungli, atau kesempatan untuk itu. Maka pendekatan yang paling baik dalam menghapus pungli di sektor perpajakan adalah dengan meneliti kembali semua peraturan perpajakan, dibikin jelas apa yang kurang jelas, disederhanakan apa yang masih rumit, bikin tiap kata dalam undang-undang punya arti gamblang, hingga tak mengambang. Pengalaman menunjukkan bahwa tindakan yang semrawut pada akhirnya tak menghasilkan apa-apa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus