Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETIAP kebijakan pemerintah untuk menolong pengusaha kecil dan menengah patut didukung. Tapi kebijakan terbaru Bank Indonesia yang melonggarkan aturan kredit untuk kelompok yang biasa disebut UKM itu bukan resep yang tepat untuk mendorong bertumbuhnya usaha. Kalau ingin anak pandai matematika, jangan dia disuruh belajar ilmu hayat.
Bisa diduga, ketentuan itu dikeluarkan dengan agak terpaksa. Sebelum ketentuan keluar, orang tahu betapa Wakil Presiden Jusuf Kalla mendamprat kalangan perbankan dalam dua kesempatan terpisah. Kalla, yang juga seorang pengusaha besar, gusar melihat sulitnya kredit bank mengucur dan tingginya bunga pinjaman. Padahal dunia usaha sangat butuh kredit, begitu pandangan Kalla.
Pikiran begini selintas terkesan tidak salah. Apalagi didukung data bahwa bank-bank cenderung mau main aman dengan menaruh duitnya di sertifikat Bank Indonesia (SBI). Sampai awal Maret yang lalu, total dana bank yang disimpan di SBI memang kelewat besar, sekitar Rp 230 triliun.
Bank Indonesia kena getah. Lembaga pengawas perbankan itu dinilai Wakil Presiden terlalu rigid menerapkan aturan penyaluran kredit. Tidak cuma itu. Saking bersemangatnya, di depan forum Kamar Dagang Indonesia, Kalla sampai perlu memilih kalimat ”perampokan harta negara” untuk tindakan bank menyimpan dana dalam bentuk SBI tadi.
Barangkali inilah pertama kali orang kedua Republik bereaksi sedemikian keras dalam soal kredit. Tidak masuk akal kalau Bank Indonesia tidak terpengaruh. Setelah beberapa kali menurunkan tingkat suku bunga, bank sentral itu melonggarkan aturan kredit bank. Kebijakan terbaru, yang dituangkan dalam Peraturan BI Nomor 9/6/2007, dimaksudkan mempermudah ekspansi kredit untuk UKM.
Secara gampang aturan baru itu bisa dijelaskan begini. Pengucuran kredit di bawah Rp 500 juta tidak mengharuskan bank melihat prospek bisnis dan arus kas perusahaan. Bank cukup melihat kemampuan perusahaan membayar cicilan pokok dan bunga kredit tepat waktu. Besar kucuran kredit bisa mencapai Rp 10-20 miliar.
Tapi masalah utama dunia usaha bukan hanya kredit untuk modal kerja. Mungkin akan banyak akad kredit disetujui, tapi belum tentu dicairkan oleh pengusaha. Kalangan pebisnis melihat sektor riil belum bergairah. Itu sebabnya kebutuhan kredit masih rendah. Sampai Januari lalu, jumlah kredit yang sudah disetujui bank tapi belum dicairkan pengusaha mencapai Rp 179 triliun. Data ini membuktikan bahwa persoalan pokok dunia usaha bukan pada sektor moneter—misalnya suku bunga dan kemudahan penyaluran kredit. Soal utama tetap sektor riil yang lamban berderak.
Maka, revisi kebijakan BI tidak akan banyak gunanya sepanjang sektor riil terbengkalai. Revisi itu bahkan berbau politis dan terkesan sekadar pemuas hati pejabat pemerintah. Malah revisi itu bisa berbahaya. Mengesampingkan asas kehati-hatian berpotensi mengundang ”gunungan” kredit macet. Negeri ini bisa kembali jatuh terperosok ke lubang yang sama: krisis moneter.
Prioritas bagi pemerintah jelas: menggerakkan roda perekonomian. Pemerintah wajib menyelesaikan setumpuk pekerjaan rumah yang tertunda. Perbaikan infrastruktur, pemberantasan pungutan liar, mempermudah proses perizinan usaha, serta penyelesaian Undang-Undang Pajak dan Tenaga Kerja—yang hingga kini masih tersangkut di DPR—adalah beberapa di antaranya. Bekerja keras untuk memberesi itu semua jauh lebih efektif mendorong roda ekonomi ketimbang sekadar menuduh bank merampok harta negara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo