Blek ketekuk-tekuk Guru tablek ambune penguk (Kaleng terlipat-lipat Guru tablig baunya apak) KAPANKAH Islam dan negara bertemu? Sepanjang zaman Orde Lama hubungan keduanya penuh gejolak. Zaman itu oleh Clifford Geertz disebut masa kejayaan aliran (orientasi ideologi-kultural) akibat menajamnya pertarungan ideologi-politik dalam masyarakat kita. Ayah dan anak berbeda aliran, tak menjadi soal. Keretakan keluarga gara-gara membela partai pernah terjadi. Dan dalam situasi itu diam-diam berlaku prinsip: barang apa merugikan Islam menguntungkan PKI, dan sebaliknya. Islam-PKI merupakan musuh bebuyutan. Ejek-mengejek merupakan warna hidup. Menjelekkan musuh dianggap kebajikan partai. Melihat penampilan Islam yang agraris-tradisional itu, PKI melecehkannya: blek ketekuk-tekuk, guru tablek ambune penguk. Guru tablig itu juru dakwah, yang menyiarkan Islam. Kekuatan Islam disepelekan karena pemeluknya petani yang tak makan sekolahan. Kecuali itu, secara langsung negara menuding Islam mbeguguk nguthowaton (keras kepala, melawan kekuasaan resmi negara) ketika pemberontakan DI-TII. Nama baik Islam rontok di mata negara. Pembubaran Masyumi merupakan awal kebangkrutan Islam secara politis. Islam dan negara selalu berselisih jalan. Belum pernah mereka "bertemu" dalam kepentingan. Kontribusi Islam yang menonjol sebagai daya resistensi menghadapi bahaya politik PKI di tahun 1960-an, sampai saat akhir pembubaran partai itu, tak dengan sendirinya merehabilitasi nama Islam. Setelah Orde Baru muncul pun gerak-gerik Islam masih bisa diwaspadai. Citra Islam sebagai potential danger atau potential threat menjadi semacam doktrin bagi aparat keamanan. Sikap negara terhadap Islam tidak rileks. Sesekali Islam bahkan dijebak. Secara politis kemudian dipukul. Boleh dikata Islam terlucuti fungsi sosial-politiknya. Kekuatan itu lumpuh hampir total. Namun, masih bisa waspada terhadap gerak-gerik negara. Islam lalu, tak bisa lain, menjadi reaksioner. Sikapnya tidak taktis. Tak jarang memberi kesan fundamentalis (dalam konotasi negatifnya). Ia belum tampak dewasa. Dengan ini semua, alasan negara untuk tak suka pada Islam menjadi kuat, dan "sah". Negara yang sedang khusyuk membangun tak mau direcoki oleh tetek-bengek ideologi yang mengganggu stabililas. Trauma terhadap masa lalu membuat negara selalu siaga. Hubungan saling mengintai dan curiga, bukan saling percaya, masih terus berlanjut jadinya. Di Masjid Istiqlal, tempat festival diselenggarakan, saya mencari serban Kanjeng Sunan Kalijogo. Ini kalau ada peninggalan tasbih beliau. Ini serius, sebab sebelum sempat ke sana, saya dengar segala macam khazanah budaya Islam dipamerkan. Tapi apa boleh buat, barang-barang itu tak saya temukan. Festival sebulan suntuk yang disebut "pesta budaya rakyat yang bernapaskan Islam" itu menggugah keharuan saya. Sambil mengingat blek ketekuk itu saya berpikir: anak cucu para guru tablig yang baunya penguk itu ternyata ini mampu menggelar pameran akbar. Mereka bukan lagi petani seperti para leluhur, melainkan pengusaha, dosen, peneliti, tentara, polisi, wartawan, politikus, penerbit, pejabat tinggi, dan oang-orang kantoran, para penyangga tegaknya birokrasi pemerintah atau swasta. Mereka bukan kaum sarungan dengan peci kusam, melainkan generasi yang akrab dengan jeans, Levi's, dan hamburger serta Coca-Cola. Anak cucu guru tablig yang baunya penguk itu sekarang tak cuma berdakwah di masjid dan surau-surau tua di kampung, tapi juga di hotel-hotel mewah. Mereka tak cuma berjalan kaki, tapi dijemput dan ada yang naik Mercy sendiri. Para pendengar mereka, yang sadar bahwa mereka memerlukan siraman rohani itu, rela membayar seperti ketika pergi ke dokter gigi. Kini keturunan para guru tablig yang penguk itu ada yang jadi ustad beken, yang sekali nongol di mimbar dibayar sejuta lebih, didengar kepala negara, menteri-menteri, dan bukan cuma petani. Kapankah Islam dan negara bertemu? Mudahnya: baru akhir-akhir ini. Dan ini kejutan: suatu fenomena yang tak punya presedence dalam sejarah politik kita. Namun, ini bukan wahyu yang jatuh dari langit, melainkan hasil dialog panjang dalam pergaulan politik yang dulu sering merisaukan itu. Meskipun demikian, realitas yang tak mulus di masa lalu, kini dilupakan. Biarlah itu semua tersimpan dalam arsip sejarah. Dan biarlah mereka sekarang berbulan madu. Sambil berbulan madu ini mereka menyanyikan lagu Kemesraan. Mungkin banyak yang mengharap kelanggengan hubungan itu. Namun, masa bulan madu ada batasnya. Lagi pula, baik secara politis maupun kultural, Islam sebenarnya berdiri di atas pijakan yang masih belum rata. Maka, syair lagu yang dinyanyikan sebagian umat Islam, dalam duet Islam negara itu, terdengar menyimpang: kemesraan ini, janganlah cepat berlalu, kemesraan ini, jangan cuma sebelum pemilu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini