Kementerian Penerangan Malaysia mencari musikus Indonesia lewat iklan di koran-koran. Banyak yang melamar. "Kita mendidik kader, orang lain yang memakai," kata Suka Hardjana. MUSIKUS Indonesia berbondong-bondong ke Malaysia. Sampai akhir pekan lalu, tatkala budayawan Indonesia sibuk dengan Kongres Kebudayaan, sudah lebih dari 150 musikus yang mendaftarkan diri ke Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta. Mereka memenuhi tawaran Kementerian Penerangan Malaysia dalam iklannya yang dipasang bulan lalu di dua koran yang terbit di Jakarta dan Yogya. Ini membuat Suka Hardjana campur aduk perasaannya. Di satu pihak ia senang karena banyak musikus Indonesia yang mendapat pekerjaan cukup baik. Di pihak lain konduktor Orkes Simfoni Jakarta itu sedih karena Indonesia kehilangan tenaga-tenaga yang sudah terdidik baik. "Kita sudah mendidik kader tapi orang lain yang memakainya," kata Suka Hardjana. Dibandingkan dengan pendapatan musikus di sini, pekerjaan yang ditawarkan oleh Kementerian Penerangan Malaysia itu memang menarik. Penghasilan bisa mencapai di atas 1.500 ringgit atau lebih dari Rp 1.500.000 belum termasuk tunjangan. Adapun gaji musikus orkes simfoni di sini paling tinggi Rp 90.000. Malaysia mencari musikus Indonesia, khususnya musikus instrumen gesek, dimaksudkan untuk dipekerjakan di orkestra Radio Talivisien Malaysia (RTM). Di Malaysia ada dua orkestra. Selain orkestra RTM milik Kementerian Penerangan, sebuah lagi milik Kerajaan. Mengapa Malaysia kekurangan musikus? Seperti lazimnya para seniman, ternyata banyak musikus Malaysia yang tidak betah bekerja di satu tempat. Ada beberapa musikus yang pindah kerja dari orkestra RTM ke beberapa hotel berbintang atau klub malam. Saat ini RTM hanya memiliki 18 musikus, padahal jumlah yang ideal ialah 38 sampai 40 orang. Menurut Direktur Musik RTM, Ahmad Dasilah, musikus gesek Indonesia memiliki keahlian yang dapat diandalkan. "Merekrut musikus Indonesia diharapkan bisa memacu gagasan untuk lebih mengembangkan orkestra RTM," kata Ahmad yang juga komposer itu. "Dalam tempo lima sampai sepuluh tahun kami akan mengembangkan orkestra RTM menjadi orkes simfoni dengan jumlah musikus sekitar 60 orang," tambahnya. Hijrahnya musikus Indonesia ke Malaysia ini merupakan yang kedua kalinya. Eksodus pertama tahun 1950-an ketika Bung Karno memerangi musik yang dinilai tak sesuai dengan kepribadian nasional. Ketika itu banyak musikus berbakat dari Indonesia lari ke sana. Antara lain, Saiful Bahri, pencipta lagu Semalam di Malaya, yang bahkan sempat menjadi konduktor orkestra RTM. Dahulu pindah karena politik, sekarang karena tawaran kerja yang menggiurkan. Bagi Sri Yogyawati, 42 tahun, keinginannya bekerja di orkestra RTM bukan hanya karena tawaran kerja yang lebih baik. Lulusan FSRD-ITB Jurusan Interior ini sebenarnya arsitek dan pernah bekerja di PT Pembangunan Jaya, tapi ia juga pianis. "Ini kesempatan baik untuk bergabung dengan orkestra yang serius. Jadi, saya tidak semata-mata mencari uang, tapi pengalaman," katanya. Kebetulan kini Sri banyak punya waktu luang untuk mengurus hobi bermusiknya. Halim Siregar, 45 tahun, juga ingin mencari pengalaman di Malaysia. "Di sini pencipta lagu dan musikus kurang bisa berkembang. Lagi pula, saya sudah jenuh main di hotel-hotel. Saya ingin mencari suasana lain," kata pemain keyboard yang belajar musik secara otodidak ini. Bermain di beberapa hotel berbintang di Jakarta, musikus seperti Halim bisa menghidupi keluarganya dengan perolehan Rp 1 juta sebulan, belum lagi penghasilannya sebagai guru privat melatih anak-anak bermain keyboard. Ternyata bahwa tidak semua musikus ingin hijrah ke negeri seberang. Misalnya, Sulistio Utomo, tamatan Institut Seni Indonesia Yogya pada 1989. Menggesek selo di Orkes Simfoni Jakarta sebagai tenaga honorer, Sulistio mendapatkan gaji Rp 40.000. Ia kemudian menambah penghasilan dengan bermain di Hotel Grand Hyatt. Sebulan ia bisa mengantongi sekitar Rp 1 juta. Walau gaji di Malaysia lebih besar dan walau Sulistio baru berusia 29 tahun, ia tak berniat hijrah karena, katanya, Indonesia juga sangat membutuhkan musikus untuk konser. "Kalau semua musikus lari, lalu bagaimana dengan kita sediri? Kita kan juga memerlukan konser, dan para musikus harus memikirkan soal itu," katanya bersemangat. Sulistio amat prihatin terhadap kecenderungan kepindahan rekanrekannya itu. Namun, ia tak dapat berbuat apa pun. "Kalau musikus kita mendapat penghasilan tetap minimal Rp 300.000 saja, kita bisa memiliki orkestrasi yang baik. Mereka bisa hidup dengan layak dan tenang, tak usah mencari pekerjaan sampingan," katanya. Di mata Suka Hardjana, eksodus para musikus itu membuktikan tidak adanya perhatian terhadap kehidupan para musikus Indonesia. Kerugian Indonesia bisa dihitung. Untuk mendidik musikus yang baik, minimal dibutuhkan Rp 50 juta. Hitung saja kalau yang lari 100 orang. "Tapi kerugian itu kan tidak bisa dinilai dengan uang. Apalagi mendidik seniman kan jauh lebih sulit," kata Suka Hardjana lagi. Akan halnya Orkes Simfoni Jakarta yang lahir pada 1908, meskipun yang tertua di Asia Tenggara, menurut Suka Hardjana nasibnya seperti sebuah dokar tua yang tidak terpelihara. Walaupun demikian, ia selalu mengingatkan: para musikus tentu tak mungkin makan partitur. Budiman S. Hartono, Siti Nurbaiti (Jakarta), Ekram H. Attamimi (Kuala Lumpur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini