Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Qaris Tajudin*
BUSANA adalah cerminan kepribadian pemakainya. Orang yang mengagumi militerisme seperti Ahmad Dhani tak keberatan memakai kostum Nazi. Seniman kreatif seperti Eugene Panji, pada hari resepsi pernikahannya, lebih nyaman memakai celana pendek dibanding memakai setelan jas ala James Bond. "Style is an expression of individualism," kata perancang John Fairchild.
Tidak semua orang mampu mengekspresikan kepribadian mereka dalam berpakaian. Sebagian orang tenggelam dalam busana yang terpaksa disesuaikan dengan selera orang banyak. Hanya mereka yang ekstra-percaya diri yang mampu berpakaian sesuai dengan panggilan hati.
Itulah kenapa sejumlah pemimpin memiliki busana sendiri. Sukarno memilih setelan putih dan kopiah. Bekas Presiden Afganistan Hamid Karzai punya jubah kerang hijau. Che Guevara terkenal dengan baret berbintang. Yasser Arafat dengan kafiyeh. Mustafa Kemal Ataturk dengan kemeja kerah wing dan dasi ikatan oriental.
Indonesia punya Joko Widodo. Sehari-hari ia nyaman dengan kemeja putih dan celana hitam. Ia memakai sepatu kets semata kaki yang bahkan ia pakai untuk bermain bola pada peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus lalu.
Ia jarang terlihat mengenakan jas. Salah satu kesempatan langka itu adalah ketika ia bertandang ke kantor redaksi Tempo setelah pemilihan umum 9 Juli lalu. Untuk kepentingan pemotretan, kami memintanya mengenakan setelan jas. Bergaya sebagai presiden, ia difoto di depan bendera bahkan dijunjung seperti layaknya pemain musik heavy metal di sebuah konser. Tapi Jokowi tak tampak nyaman dengan busana itu. Jas dan dasi adalah benda asing di tubuhnya. Ada jarak antara "yang dipakai" dan "yang memakai"-seperti upaya pencangkokan yang gagal.
Kita memang terbiasa melihat Jokowi dengan kemeja putih atau kotak-kotak. Tapi bukan perubahan penampilan itu yang membuatnya jadi asing. Orang bisa saja datang dengan penampilan baru, tapi kita tetap bisa mengaguminya.
Saya teringat Coco Chanel. Perancang asal Prancis itu pernah menyebut dua tujuan mode: kenyamanan dan cinta. "Keindahan datang," kata Coco, "saat kedua hal itu dapat dicapai." Dengan jas dan dasi di tubuh Jokowi, harus diakui kedua tujuan mode itu tak tercapai.
Persoalannya, sebagai presiden, Jokowi bakal sering memakai jas dan dasi. Ia akan menerima tamu negara, berkunjung ke luar negeri, menghadiri konferensi tingkat tinggi, dan segala acara resmi lain. Jadi akankah kita menyaksikan "cangkokan yang gagal" itu setiap hari di layar televisi? Tak sampai hati saya membayangkannya.
Karena itu, dalam memilih busana, Jokowi sebaiknya mengikuti kata hati. Ia tentu sebaiknya tak sering-sering berkemeja putih atau kotak-kotak lagi. Kedua busana itu cukuplah ia kenakan pada masa kampanye saja. Sebagai presiden, ia bagus mengenakan kemeja batik.
Mengganti setelan jas dengan batik tidak melanggar apa pun-baik hukum maupun etika. Tak satu pun undang-undang yang mewajibkan presiden memakai jas. Seorang presiden juga tak akan dianggap tak etis jika memakai batik saat menerima atau menjadi tamu negara. Mendiang Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela dulu selalu memakai batik.
Kalaupun ada yang perlu diperbaiki adalah soal ukuran. Kebanyakan kemeja batik yang dipakai Jokowi kebesaran satu nomor. Tak mudah memang mencari batik ready to wear yang pas dengan badan singset Jokowi. Karena itu lebih tepat jika kemeja yang dipakainya nanti dibuat khusus agar pas dengan badannya. Koleksi batik yang sedikit besar bisa kembali dipakai jika protokol Istana memintanya memakai rompi antipeluru di balik kemeja.
Memakai batik dengan potongan, corak, dan ukuran yang tepat tidak hanya akan membuat Jokowi terhindar dari setelan jas yang "menyiksa", tapi juga dapat menegaskan kepribadiannya. Kata William Shakespeare, "The apparel oft proclaims the man." l
*Penulis fashion, wartawan Tempo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo