Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Asal-Usul Kata Galau

Kata galau kembali ramai pada Pemilu 2024. Caleg galau perolehan suara di Sirekap naik-turun. Warganet galau pilih Komeng atau Jihan Fahira.

25 Februari 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA galau kembali ramai pada musim pemilihan umum baru-baru ini. Coba tengok judul-judul berita belakangan ini, seperti “Penghitungan Suara Pemilu 2024 Masih Berlangsung, Para Caleg Mulai Galau”, “Caleg Galau Suara di Sirekap Naik Turun”, “Curhat Warganet: Galau Pilih Komeng atau Jihan Fahira”.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kata galau memang sangat populer dalam setidaknya dua dasawarsa terakhir. Kata yang ramai dipakai kaum muda ini mewakili apa yang mereka hayati, pikirkan, dan rasakan yang, entah mengapa, seakan-akan selalu kacau. Perasaan itu akibat beragam hal, seperti cinta yang ditolak, pertengkaran dengan orang tua, atau uang saku yang makin kecil saja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di lingkup lebih luas, galau juga menghinggapi banyak orang dewasa yang merasa hidup mereka kian berat, seperti harga barang terus naik tapi pendapatan malah merosot. Bagi calon legislator (caleg), galau tampaknya mewakili kecemasan karena bakal tidak terpilih atau pusing memikirkan utang menumpuk atau aset yang hilang untuk modal kampanye. Atmosfer muram semacam itulah yang belakangan ini menjadi rabuk bagi kata galau untuk terus tumbuh subur dan merebak ke mana-mana.

Kamus kita pada mulanya mencatat makna galau berkaitan dengan pikiran. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ketiga (2002), misalnya, mencatat maknanya sebagai “kacau tidak keruan (pikiran)”. Namun belakangan ini aspek makna yang bersangkutan dengan perasaanlah yang makin kentara.

Sampai di sini, dapatlah saya ringkaskan bahwa dalam kenyataan praktik berbahasa, galau dipakai untuk melukiskan (1) pikiran kacau balau, keruh, kusut, ruwet. Pikiran itu kemudian mendatangkan (2) perasaan bingung, gundah, masygul, kecewa, dan sedih bercampur aduk. Galau tidak lagi berurusan semata dengan pikiran, melainkan berjalinan dengan perasaan.

Sudah sejak edisi pertama (1988) kamus kita merekam galau, tapi perumusannya agak kabur. Kata itu didefinisikan dalam bentuk berimbuhan bergalau sebagai “sibuk beramai-ramai; sangat ramai; kacau tidak (keruan)”. Rumusan yang kabur begitu juga takrif yang tidak kita dapati dalam kata dasar—relatif awet hingga dua edisi, edisi II (1991) dan III (2001).

Format penyajian itu tidak bisa tidak mengingatkan saya pada Kamus Umum Bahasa Indonesia Poerwadarminta, kamus babon yang boleh disebut menjadi batang tubuh kamus besar kita. Tapi, bagi saya, Poerwadarminta lebih terang. Ini antara lain karena ia menyertakan contoh kalimat. Kita baca selengkapnya begini: galau M bergalau: sibuk be-ramai2; sangat ramai; berkacau (tak keruan); mis. di sana-sini terdengar bisik-bisik desus ~; ~ pikiran dan pendapatnya, berkacau tak keruan; ~ anak2 di depan sekolah, be-ramai2.

Poerwadarminta memang tidak memberi definisi bentuk dasar galau. Namun, selain menyertakan contoh kalimat, yang menambah pengertian kita, ia memberi atribut M, kependekan dari Minangkabau. Keterangan ini penting tapi ditanggalkan oleh kamus besar.

Teman saya, Ramadhan Syukur dan Ismalinar Is, keduanya berdarah Minang, punya kemiripan pandangan dan pengalaman mengenai hal ini. Rupanya, bergalau diambil dari bagalau (menurut lidah Minang) yang artinya “ribut”, tapi bentuk galau itu sendiri sudah sangat jarang dipakai.

Tentu saja selalu ada ikhtiar menyempurnakan kamus besar kita. Definisi yang kabur itu sudah dibuat lebih jelas dalam kamus besar edisi IV (2008). Terakhir, dalam edisi daring (Februari 2023), kata itu didefinisikan singkat saja sebagai adjektiva: “kacau (tentang pikiran)”. Lalu disertakan juga beberapa kata turunan seperti bergalau, kegalauan, dan segalau. Walaupun begitu, aspek makna kata galau yang bertaut dengan perasaan tak kunjung kita lihat. Namun memang boleh segalau itu memikirkan makna galau dalam kamus kita?

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Galau"

Eko Endarmoko

Eko Endarmoko

Penyusun Tesamoko: Tesaurus Bahasa Indonesia

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus